3. Win-win Solution

1212 Kata
Seto dan Luna mengantarkan Diah sampai di depan pagar. Seto juga sempat berkenalan dengan Tiara, calon adik iparnya. Gadis itu manis dan sopan. Saking sopannya, Tiara sama sekali tidak berani memandangnya, melainkan terus menundukkan kepala. Selepas mereka pergi, Seto bergegas kembali ke dalam. Pikirannya bekerja bak benang kusut. Ingin rasanya ia menyumpahi Luna. Entah apa maksud Luna sebenarnya. Apakah itu adalah tindakan spontan atau memang Luna diam-diam selama ini naksir kepada dirinya? Namun, rasanya itu juga tidak mungkin. Sikap Luna sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan khusus.  “Lo gila, ya, Na!” bentaknya sembari menyeret Luna masuk. “Kenapa lo terima permintaan Ibu? Lo naksir sama gue?” “Jangan mimpi gue naksir sama lo!” sambar Luna sambil mendengus. Mulutnya mengerucut kesal, lalu ia membuang muka. “Lalu apa alasannya? Lo kebelet kawin?” cecar Seto kesal. “Asal lo tahu, ya. Gue nggak berminat kawin sama lo. Kalau lo mau, gue bisa jodohin lo sama teman-teman klub gue. Lo mau bujang lapuk, duda atau brondong? Semuanya ada!” Luna mengernyitkan dahinya. Kebelet kawin? Tidak juga. Pikirnya, wajar bila Seto marah. Ia memang nekat menganggukkan kepala dan Seto tidak perlu tahu apa alasannya. “Kalau lo nggak mau kita nikah, lo bisa bilang langsung sama Umi. Itu aja, kok, repot?” Jawaban santai Luna membuat Seto ingin menggaruk-garuk tembok. Apalagi ketika melihat tampang tak berdosa Luna,seolah-olah pernikahan adalah sebuah permainan belaka. Seto meremas rambutnya gusar.  “Ibu ini sudah tua, Bang. Ibu hanya ingin anak-anak Ibu berkumpul di rumah. Barangkali kalau Abang menikah, apalagi kalau nanti kalian punya anak, kalian bisa meluluhkan kerasnya hati Bapak.” Lidah Seto mendadak kelu. Ibunya memohon dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, ibunya menyimpan sesak yang sama, memilih antara anak dan suami adalah sebuah pilihan yang sulit. Bila melawan titah ayahnya, maka dosa ibunya akan bertambah. Ah, terkadang perkara dosa itu merepotkan sekali! Dari sudut pandang ibunya, permintaan tersebut terdengar masuk akal. Terkadang kehadiran cucu dapat meruntuhkan ego orang tua. Contohnya saja, banyak orang tua yang berdamai dengan pernikahan anak-anaknya—yang awalnya tidak mereka restui—setelah melihat wajah polos cucu mereka.  Masalahnya, bagaimana mungkin Seto melakukan proses pembuatan cucu tersebut bersama Luna, bila memandang si perawan tua itu saja darahnya sama sekali tidak berdesir?  Demi Tuhan, mereka hanya berteman! Bukan hanya untuk setahun dua tahun, tapi sejak mereka sama-sama baru pandai merangkak. Teman seperti apa yang bernafsu pada temannya sendiri? Hubungan seperti apa yang mereka harapkan? Seto adalah lelaki dewasa. Ia mengakui, proses pembuatan cucu itu sendiri adalah sebuah kenikmatan duniawi yang tiada tara. Namun, tidak bersama Luna. Yang benar saja! Ia beralih menatap Luna dengan saksama. Bibir Luna tidak menggoda, malah terlihat agak pucat. Sehari-hari Luna tampil polos. Hanya ketika berangkat bekerja, Luna memoles bedak dan lipstik seadanya. Dua buah jerawat kemerahan menghiasi keningnya. Biasanya jerawat itu muncul menjelang tanggal sepuluh, sebelum jadwal bulanan Luna. Kenapa ia bisa tahu? Karena setiap palang merah itu menghadang, Luna selalu mengeluh sakit perut. Bahkan tak jarang Seto ditelepon malam-malam untuk membelikan Luna obat penghilang nyeri. Ia tidak berminat sama sekali menggerayangi tubuh Luna. Membayangkannya saja ia sudah geli sendiri. Bahkan ketika matanya menyapu gundukan sekal di bawah leher Luna, tetap tidak mampu membuat jakunnya bergerak naik turun. Berbanding terbalik ketika ia menjadikan model-model dewasa asal Jepang sebagai bahan fantasinya. Kenapa bukan model dari negeri bulesana? Sederhana saja, karena kebanyakan dari mereka memalsukan ukuran payudaranya dengan implan atau suntik silikon! Kini, mekipun ada mahluk berjenis kelamin perempuan terpampang jelas di depan mata, ingatannya malah melayang ke masa kecil mereka dulu yang sering mandi bertelanjang ria di kolam ikan di belakang rumahnya. Ikan-ikannya sampai mabuk karena lumpur yang teraduk-aduk. Lalu, ayahnya akan berteriak memanggilnya dengan segenggam lidi di tangan. Begitupun dengan ayah Luna, lelaki gendut itu merepet seperti perempuan. Seto memejamkan mata. Keningnya berkerut-kerut. Atau jangan-jangan, akibat terlalu lama bermain solo, ia telah kehilangan hasrat kelelakiannya terhadap sosok wanita? Ya Tuhan, ini gila! “Woi! Mikirin apa, sih?” tegur Luna lagi. “Elo kena sawan?” Seto tersadar. “Ini nggak bisa dibiarin, Na. Gue nggak bisa nikah sama lo!” Seto menyugar rambutnya kasar. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang sempit itu. Luna menarik napas panjang sebelum mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. “Ya sudah, kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa. Gue nggak maksa. Lagian, bukan gue yang minta dinikahin. Nih, telepon Umi sekarang juga. Bilang kalau lo nggak mau nikah sama gue.” “Kenapa bukan lo aja yang bilang?” “Masalahnya, gue sudah telanjur menyanggupi jadi istri lo, To. Masa gue nggak konsisten, sih?” Seto terdiam. Masalah terbesar saat ini adalah, ia pun sudah telanjur menyanggupi permintaan ibunya. Entah ke mana akal sehatnya hampir setengah jam yang lalu. Tatapan memohon sang ibu membuatnya mati kutu. Bukankah itu gila? Menikah dengan sahabat sendiri akibat keputusan yang terburu-buru? “Ya sudah, kita nikah saja!” Seto menyerah. Perkara membuat cucu, nanti saja dipikirkan. Mungkin nanti bila Luna muncul dengan lingerie seksi di hadapannya, ia jadi berhasrat untuk bertukar peluh dengan Luna. Namun, lagi-lagi yang terbayang olehnya adalah sesosok bocah perempuan pendiam serta dekil dan kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.  Seto terduduk di kursi tamu. Perutnya tiba-tiba mulas. “Apa untungnya, sih, gue nikah sama elo?” gumamnya tak lama kemudian. Luna ikut duduk di samping Seto. Kedua tangan terlipat di perutnya. “Paling enggak, lo nggak perlu bayar BPJS tiap bulan, To.” “Kenapa BPJS, sih?” “Nanti nama lo masuk dalam daftar gaji gue. Jadi lo nggak perlu bayar. Lumayan, kan? Pelayanan kelas satu, lho.” Seto mendengus. “Gue masih punya uang buat bayar BPJS, Na. Apalagi kalau bayar di marketplace, gue sering dapat promo cashback. Malahan, kalau dikumpulin bisa buat beli pulsa.” Luna diam saja. “Setelah nikah, kita tinggal di mana?” Seto lagi-lagi bertanya.  Luna terperangah. “Kita? Tinggal bareng maksud lo?” “Namanya juga suami istri, ya, tinggalnya bareng, Na. Mana ada suami istri tinggal terpisah, kecuali LDR atau lagi pisah ranjang.” Luna memucat. Otaknya mendadak blank. Wacana tentang tinggal bersama membuatnya merinding. Bagaimana kalau Seto nanti berminat pada dirinya?  Oh, tidak! Lututnya tiba-tiba menggigil. “Ti–tinggal di sini saja,” Luna tergagap. Ia tidak ingin Seto mengetahui alasannya menerima pernikahan tersebut, setidaknya untuk saat itu. “Kontrakan gue masih nyisa enam bulan lagi. Lo nggak perlu bayar.” Seto mengangkat alisnya. “Serius? Gue nggak usah bayar?” “Bayarnya tahun depan saja. Kita patungan.” Seto berdecak. Pikirannya buntu. Mungkin, tinggal bersama bukanlah ide yang buruk. Daripada tidur di bengkel, ia kerap jadi santapan nyamuk. Hening. “To ....” “Hmm?” Luna menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Setelah menikah nanti, kita nggak harus anu ..., kan?”  “Anu apa?” “Anu ... ya, lo ngertilah!”  Seto yang sedang kalut, malah membentak Luna, “Anu apa? Ngomong yang jelas!” “I–itu ... berhubungan ba–badan?” Luna cepat-cepat membuang mukanya yang memerah Seto terbelalak, setelah itu ia beringsut menjauh dari Luna. Ekspresinya jijik bercampur geli. Bayangan bocah dekil mengisap lolipop kembali muncul di pelupuk mata. “Ya enggaklah! Gue nggak berminat gituan sama lo!” Jawaban tersebut seharusnya membuat Luna tersinggung, tetapi Seto malah melihatnya menyeringai lega.  Aneh! Jangan-jangan ... dia lesbian?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN