4. Road

1767 Kata
It's your road, and yours alone. Others may walk with you, but no one can walk it for you. — Rumi   Orang bilang hidup itu seperti permainan Angry Birds. Saat kau terjatuh, selalu ada setidaknya seekor babi yang tertawa di atas penderitaanmu. Dan apakah kau juga percaya, bahwa akan selalu ada sosok Bu Tejo—yang belakangan viral di jagad maya—di lingkungan tempat tinggalmu?  Memang, kedua contoh di atas tidaklah relevan. Tetapi setidaknya, kenyataan berkata demikian. Well, entah bagaimana dengan kehidupan para kaum elit seperti di Menteng sana, Luna tidak tahu. Namun, dari belasan kali pindah kontrakan, ia hampir selalu menjumpai sosok Bu Tejo, meski dalam rupa dan derajat yang berbeda. Sosok tersebut hadir dalam perempuan paruh baya bernama Ani, persis nama tokoh dalam film Rhoma Irama menjelang tahun delapan puluhan. Perempuan itu entah kenapa sangat membencinya. Mulut nyinyirnya sering mengarah kepada Luna.  Perempuan itu pula yang membuat Luna malas mampir ke tukang sayur, walaupun hanya pada akhir minggu. Ia akan dikatai perawan tua, gadis tak laku, gadis pembawa sial dan semacamnya melalui berbagai sindiran halus maupun kasar. Sialnya, Luna bukan tipe gadis yang hobi berkonfrontasi. Ia hanya akan mendiamkan ucapan beracun tersebut lalu menyumpah-nyumpah sesampainya di rumah. Mungkin, ia sudah termakan dogma bahwa melawan perkataan orang tua termasuk perbuatan yang tidak sopan. Atau, apakah justru dirinya yang tak punya keberanian? Sepertinya, alasan nomor dualah yang lebih tepat.  Pernah juga Luna menyiasati dengan mendekati si Ani itu. Luna membawakannya masakan hampir setiap hari, bahkan sampai membelikannya oleh-oleh ketika mengikuti diklat di luar kota. Sikap Ani memang melunak, tetapi yang lebih menyebalkannya lagi, Ani memperkenalkan Luna pada berbagai pria seperti barang dagangan yang belum laku. Dalam hal ini, berusaha mencarikan Luna jodoh. Sampai Luna harus kucing-kucingan keluar dari rumahnya sendiri ketika beberapa dari mereka berminat kepadanya. Ia kini termenung di pinggiran tempat tidur. Jemarinya memutar-mutar ponsel di tangan. Pikirannya menerawang kemana-mana. Luna mengakui, gagasan menikah dengan Seto demi menghindari nyinyiran sosok seribu wajah seperti Bu Tejo itu tergolong ceroboh. Ibarat hendak menulis sebuah cerita, premisnya masih mentah. Namun, ia butuh membuktikan bahwa perawan tua yang tidak laku itu adalah omong kosong belaka. Sebenarnya, bukan hanya itu saja. Luna sungkan menolak permintaan Umi Diah. Perempuan itu sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Sewaktu mereka masih bertetangga, Umi Diah kerap membantu perekonomian keluarganya, bahkan sering memberi Luna uang jajan. Ibunya kerap meminjam uang pada Umi Diah dan tak jarang beliau merelakan uangnya tidak dibayar dan menganggapnya sebagai sedekah. Dengan alasan nomor dua tersebut, Luna menganggap premisnya sudah setengah matang. Alasan selanjutnya, pernikahan tersebut tidak harus melibatkan hubungan seksual. Seto yang mengatakan sendiri, bahwa dia tidak tertarik pada Luna—atau mungkin suatu hari Seto berubah pikiran—yang mana akan diakalinya nanti. Dengan alasan nomor tiga tersebut, Luna merasa premisnya sudah cukup matang. Setidaknya, itu menurutnya Luna. Ia melupakan fakta bahwa Seto juga memiliki premisnya sendiri. Ponsel di kupingnya menyuarakan nada sambung. Belum terlalu malam untuk menelepon ibunya, meski di seberang sana jam dinding menunjukkan angka satu jam lebih cepat akibat perbedaan zona waktu. “Na? Syukurlah kamu menelepon,” jawab ibunya lega dari seberang sana. Luna mengambil napas panjang. Sebetulnya, ia malas menelepon. Yang terdengar di telinganya hanya keluh kesah, bukan penghiburan atau sekadar kabar baik. Bahkan, ibunya tidak mau berbasa-basi menanyakan kabarnya. “Ya. Ibu sudah tidur?” “Belum. Ayahmu belakangan banyak tingkah.” Terdengar lagi helaan napas lelah di seberang sana. ”Jadi, Ibu nggak bisa tidur cepat.” Alih-alih merasa kasihan, yang tersungging di bibir Luna hanyalah cibiran, atau lebih tepatnya seringaian sinis. “Belum mati juga dia? Nyusahin melulu!” “Luna!” Luna diam saja. Seperti biasa, beberapa menit berikutnya, ibunya sibuk berceramah tentang dosa dan neraka akibat durhaka pada orang tua. Ia hanya mendengarkan ceramah tersebut sambil memutar bola mata tanda mencemooh. “Kamu masih ada uang, Na? Ayahmu menolak pakai popok murah. Ruamnya jadi makin parah.” “Bukannya gaji Na bulan ini sudah Na setor semua pada Ibu?” “Siapa tahu kamu masih punya simpanan. Uang semester Farhan dan Dion juga belum dibayar.” Luna naik pitam. Mukanya memerah. “Lalu, uang yang Na kirim tiap bulan Ibu habisin buat apa?” “Selera makan ayahmu belakangan naik, Na. Dokter bilang, beliau juga harus makan makanan bergizi.” Luna mengggigit bibir. “Sebaiknya Ibu antarkan saja dia ke kampung saudara-saudaranya. Sudah tua malah makin nyusahin—”  Terdengar bentakan lagi di seberang sana, lalu ceramah itu diulang terus bagai kaset rusak dengan nada yang lebih tajam. “Na mau nikah.” Akhirnya kata-kata tersebut keluar dari mulut Luna untuk memutus ceramah tak berkesudahan itu. Ibunya terdiam cukup lama.  “Dengan siapa?” Nada ibunya berubah datar seolah-olah kehilangan minat.  Oh, tentu saja! Orang-orang cenderung lebih suka menceritakan masalahnya sendiri tetapi abai terhadap permasalahan orang lain, meskipun itu adalah anaknya. Luna sudah kebal. Itu bukan pertama kalinya, semenjak kecil ia sudah terbiasa. “Seto.” “Seto?” tukas ibunya lirih, mungkin menggali ingatannya. ”Seto ... anaknya Umi Diah?” “Ya.” “Sahabatmu?” “Ya. Cak itu lah.” “Cak mano kamu nak nikah samo kawan dewek?” “Memangnya kenapa? Apa salahnya?” Luna lagi-lagi naik darah. “Memangnya Na nggak boleh nikah biar Ibu bisa terus-terusan menikmati uang Na?” “Bukan begitu. Kalau tidak terpaksa, Ibu nggak akan minta, Na. Jahitan belakangan lagi sepi. Gara-gara sering terlambat dari jadwal, para pelanggan Ibu kabur ke tukang jahit yang lain.” “Itu karena Ibu sibuk ngurusin si tua bangka itu!” Ibunya tak lagi membantah dengan rentetan dosa dan neraka. Mungkin beliau lelah. Atau mungkin juga, wacana pernikahan Luna membuatnya berpikir panjang. “Kapan?” “Secepatnya.” “Kapan kamu pulang?” “Buat apa Na pulang, Bu?” “Kamu nikah—” “Na nikah di Jakarta saja.” “Jangan bergurau, Na. Ibu nggak ada uang buat ke Jakarta.” Terdengar suaranya agak bergetar. ”Kamu tahu sendiri, kan? Ayah—” “Na nggak butuh ayah buat wali nikah. Toh, dia juga nggak bisa ngomong. Na kirim tiket pulang balik buat Farhan.” “Bagaimana mungkin kamu nikah hanya dengan Farhan mendampingimu? Apa tidak sebaiknya kamu nikah di sini saja?” “Biayanya akan lebih besar, Bu.” “Ibu juga kepingin mengadakan pesta pernikahanmu—” “Bu, Na nggak ada uang untuk itu. Ibu paham nggak, sih? Seluruh gaji Na disetor tiap bulan ke rekening Ibu. Na hanya hidup dari hasil jualan online. Itu pun nggak seberapa. Ibu tahu, kan, biaya hidup di Jakarta nggak murah?” “Tapi, Seto pastinya ada uang hantaran, kan? Kamu minta berapa? Jangan mau minta sedikit, ayah dan ibunya punya jabatan.” “Ya ampun, Bu!” Luna ingin memaki, tapi tak satu pun yang keluar dari bibirnya. Lidahnya kelu. “Kami hanya menikah secara agama dan tidak mengadakan resepsi atau acara adat. Buang-buang uang. Mendingan Na kirim uangnya ke sana agar Ibu puas, kan?” Hening. “Apa kamu harus nikah dalam waktu dekat, Na? Bagaimana nanti dengan biaya kuliah adikmu? Kamu nggak bisa nunggu sampai Farhan wisuda dan dapat pekerjaan?” What the f**k?! Luna menyumpah dalam hati. “Bu, Farhan itu masih butuh waktu dua tahun lagi sebelum wisuda. Itu pun kalau dia bisa lulus tepat waktu,” bantah Luna lagi. “Ibu pernah mikirin Na nggak, sih? Kenapa hanya ada ayah, Farhan serta Dion yang ada dalam pikiran Ibu?”  “Na—” “Umur Na sudah kepala tiga, Bu! Na capek dikatain perawan tua!” Bibirnya bergetar menahan tangis. Dadanya terasa sesak.  DIAM! Jangan menangis, atau kau kupukul! “Tapi—” “Na akan mengirim tiketnya pada Farhan,” potong Luna cepat-cepat. “Mungkin sebaiknya Ibu antarkan saja lelaki tua itu pada saudara-saudaranya. Bukankah mereka semua orang kaya? Na akan tetap menikah, Bu. Terserah bila Ibu setuju atau tidak. Atau, Ibu lebih memilih bila Luna nggak ngirim uang lagi?” “Na!” Belum sempat ibunya berkata lebih lanjut, Luna sudah menutup telepon dan melempar ponselnya ke atas meja. Terdengar bunyi berkelontangan bercampur suara knalpot bising dari jalan kecil di depan rumahnya. Remaja-remaja t***l itu memang tak tahu sopan santun! Luna meremas rambutnya gusar. Ingin rasanya ia berteriak keras-keras, melepas rasa frustasi yang menghimpit d**a. Sesungguhnya, watak asli orang Palembang yang katanya keras itu adalah sebuah stereotip belaka. Ibunya adalah sosok perempuan lemah dan sangat patuh pada ayahnya, meskipun pria itu bukanlah tipe pria yang baik. Ayahnya abai atas tanggung jawab terhadap keluarga. Selama ini, bukan pria gendut itu—entah apakah dia masih gendut atau badannya sudah menyusut, Luna tidak mau tahu—yang menjadi tulang punggung keluarga, melainkan ibunya.  Belum lagi nyinyiran dan cibiran dari keluarga besar ayahnya, mereka menerima dengan lapang d**a. Luna tidak tahu keluarga besar ibunya ada di mana. Dari cerita ibunya, dulu mereka bertemu saat Luna masih berumur satu tahun. Mereka bertiga pulang kampung ke salah satu daerah di Sumatera Selatan. Ia bahkan tidak tidak mengingatnya. Hanya satu kali, tak ada bilangan kedua. Singkat kata, mereka sudah macam orang buangan, tak punya kampung halaman. Terjebak dalam generasi sandwich juga bukanlah keinginannya. Pada awalnya, membantu keluarga sendiri amatlah menyenangkan. Tetapi lama kelamaan, ia malah semakin terjepit. Posisinya dari membantu berubah menjadi tulang punggung. Apalagi ketika lelaki tua—yang dari spermanya Luna tercipta—terkena stroke, beban ibunya semakin bertambah. Seiring lamanya ia bekerja dan naik pangkat, kenaikan gaji tentulah ia dapat. Namun, kenaikan gaji tersebut juga berbanding lurus dengan kebutuhan keluarganya. Dua orang adiknya kini kuliah. Sialnya, umur Farhan dan Dion hanya berjarak satu tahun. Farhan baru berusia lima bulan saat ibunya ketahuan hamil dua bulan. Sedangkan jarak antara Luna dan Farhan lumayan jauh. Tidak tahu diri memang. Keluarga mereka adalah golongan keluarga miskin. Seharusnya, orang tuanya sadar diri dengan hanya punya anak satu atau dua saja. Banyak anak banyak rezeki? Hah, teori basi! Ponselnya kembali berbunyi. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri sebelum mengangkat panggilan tersebut. “Ya, Umi?” ... “Lho? Umi serius?” Mulut Luna menganga lebar. Sebelum ia dapat berpikir, ia malah berkata, “Baik, Umi.” Setelah panggilan itu berakhir, Luna lagi-lagi termenung. Pernikahannya dengan Seto harus digelar lebih cepat dari perkiraannya. Sial! Luna mengeluarkan sebuah buku tabungan dari dalam laci. Terdapat coretan kecil di sampul bagian depan yang memberinya semangat atau senyuman penuh harap. Namun kini, bukan senyuman yang tersungging di bibirnya, melainkan sebuah seringaian bingung dan pasrah.  Jemarinya bergetar mengusap permukaan buku tersebut sebelum mengecek angka yang tertera di lembaran terakhir. Dear, Machu Pichu. Seems like this road is getting harder than I thought before.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN