2. Touched!

1738 Kata
Hanya dalam hitungan detik, Seto telah berlari, bersimpuh di kaki ibunya. Tangisnya pecah, air matanya tumpah ruah. Rindu yang menyesak dalam beberapa tahun terakhir, terlampiaskan oleh sebuah pertemuan mengharukan. Baru sore itu terlintas di benak Seto tentang ibunya, Tuhan sudah mengabulkan pintanya. Mereka berpelukan. Seto berkali-kali berkata rindu sembari meminta ampunan.  “Ya Allah, Bang, Ibu juga rindu.” Perempuan paruh baya yang kerap dipanggil Umi Diah itu ikut menangis sesenggukan. Tak ada seorang ibu pun yang tidak merindukan anaknya siang dan malam. Terlepas dari berapa pun banyaknya kesalahan sang anak, ikatan batin tak kan pernah putus. Hanya saja, ia terpaksa menuruti titah sang suami agar Seto ditinggalkan. Suaminya adalah laki-laki berwatak keras dan tegas. Diah tak kuasa berbuat apa-apa. Hanya sebaris doa yang terus ia lantunkan di sepertiga malam, agar Sang Pemilik Semesta berbaik hati menjaga si sulung yang ia panggil Abang itu. Luna sendiri tidak tahu apakah ia harus ikut menangis melihat pertemuan mengharukan tersebut. Yang jelas, air matanya berlinang. Tenggorokannya tersumbat.  Seumur hidup, jarang sekali ia melihat Seto menangis, mungkin hanya dua kali sebelumnya. Kali pertama, saat Seto diusir oleh keluarganya. Kali kedua, ketika sahabatnya itu kehilangan Arkan, putra semata wayangnya. Bahkan, saat rumah tangganya karam karena orang ketiga, dan Seto keluar dari kantor Pengadilan Agama dengan membawa akta cerai di tangannya, Seto masih bisa tertawa lebar mentraktir Luna makan siang di restoran ternama. Padahal ia tahu, harga makanan di sana tidaklah murah, tidak sebanding dengan porsi kecil yang dihidangkan pelayan. Luna pun tak perlu bersusah payah menghiburnya. Seto kelihatan baik-baik saja pada saat itu.  Ah, sialan! Luna mengerjapkan matanya cepat-cepat. Ia membenci suasana melankolis seperti itu. Berurai air mata hanyalah sebuah bentuk kesia-siaan. Tangisan merupakan puncak tertinggi dari piramida emosi, dan Luna mempercayainya sebagai kelemahan. Ia menghindarinya mati-matian. Lagipula, Seto adalah seorang mantan preman! Mantan preman, kok, nangis? Setelah ibu dan anak itu selesai melerai rindu, Luna beringsut maju. Ia ikut menyalami Diah, ibunda Seto yang ia panggil Umi, panggilan hampir seluruh warga kompleks ketika mereka bertetangga dulu. Padahal di keluarga Seto, hanya Shaka, adik Seto yang memanggil Diah dengan sebutan Umi. Entah kenapa, dua bersaudara itu memanggil ibunya dengan sebutan berbeda. Gelar kecil itu seolah-olah mendapatkan tuah, melekat di benak sebagian besar masyarakat. Apalagi saat itu ayah Seto adalah seorang ketua RT sekaligus pengurus masjid. “Luna apa kabar, Nak?” sapa Diah ikut memeluk Luna. “Makin cantik saja. Sudah lama kita nggak bertemu.” “Kabar baik, Umi.”  “Ibu dan ayah masih di Kalimantan? Luna sendirian di sini?” “Begitulah, Umi. Na masih betah di Jakarta. Mari masuk dulu, Umi,” Luna menjawab sambil nyengir, malas membahas keluarganya. Senja hampir berganti malam. Barangkali Umi Diah ingin menumpang salat Magrib terlebih dahulu. Akan lebih baik lagi kalau Umi Diah menginap, paling tidak Seto bisa berlama-lama bersama ibunya. Luna menyimpan pertanyaan dari mana Umi Diah mengetahui alamat kontrakannya. Ia sendiri sering berpindah kontrakan, mungkin sudah belasan kali sejak terakhir kali mereka bertetangga. *** Luna menghidangkan makan malam di atas meja. Nasi hangat masih mengepul sekeluarnya dari penanak nasi. Piring dan teman-temannya dikeluarkan dari lemari.  Ketika Seto dan ibunya salat Magrib, ia bergegas pergi ke warung makan terdekat untuk membeli lauk menggunakan motor kepunyaan Seto. Untung saja kunci motor Seto diletakkan di atas meja. Sangat tidak sopan rasanya bila Luna tidak menawari makan malam karena mereka sudah lama tidak berjumpa.  “Kita makan malam dulu, Umi.” Luna menemui Diah yang berbincang hangat bersama Seto di ruang tamu. Mata keduanya terlihat sembab dan merah. Seto merebahkan kepala di bahu ibunya sambil memeluk pinggang ibunya. Aih, manja sekali! “Nggak usah repot-repot, Na. Umi sudah makan,” tolak Diah tak enak hati. “Memangnya Ibu makan di mana?” Seto membantah penolakan ibunya. “Luna pintar memasak, lho, Bu.” Luna meringis. Ia memang pandai memasak, tetapi belakangan jarang melakoninya. Membeli sepotong atau dua potong lauk di warung jauh lebih hemat daripada memasak sendiri yang terkadang menghabiskan banyak biaya. Paling enak kalau ia kebagian tugas memeriksa keuangan di instansi lain, sudah pasti makanan dan camilan ditanggung oleh mereka. Bahkan, ia bisa memilih menu makan siangnya sendiri. Beberapa menit berlalu di meja makan. Seto dan ibunya sibuk bercerita tentang kehidupan sehari-hari.  “Abang tinggal di bengkel, Bu,” kata Seto. “Ya Allah, kasihan sekali kamu, Nak. Kenapa Abang nggak ngontrak rumah?”  “Buat apa, Bu? Laki-laki, mah, gampang. Tinggal di mana saja bisa,” jawab Seto sekenanya. Terbiasa hidup sebagai preman jalanan, membuatnya tak ambil pusing soal tempat tinggal. Apalagi ia masih hidup sendiri. Ia menyulap sebuah kamar secukupnya di bengkelnya, sepetak ruko tidak bertingkat berukuran dua belas kali empat meter yang untungnya sudah menjadi hak miliknya. Di sanalah ia beristirahat sehari-hari. Luna menyimak sambil sesekali menimpali ketika pembicaraan itu menyinggung dirinya. Ia memang bukan tipe perempuan yang banyak bicara. Hanya dengan Seto ia bisa cukup terbuka karena mereka sudah berteman sejak masih balita. “Umi tahu dari mana alamat kontrakan Na?” Luna tak bisa menahan rasa penasaran. Diah tersenyum. “Dua minggu lalu, Umi melihat Na di Jatinangor. Waktu itu Umi mengantarkan Shaka ke sana. Kalau tidak salah, Na ada diklat, ya?” Luna mengangguk membenarkan. “Oh, ya? Kenapa Umi nggak panggil Na?” “Gimana mau manggil, Umi lihat Na sudah mau naik mobil,” jawab Diah terlihat menyesal. “Kebetulan, salah satu mantan anak buah Bapak dulu pindah kerja ke sana. Jadi, Umi minta tolong beliau untuk memeriksa data Luna.” Luna mangut-mangut. Bulan lalu ia memang menjalani pelatihan di Jatinangor selama dua minggu. Sekarang ia mengerti, kekuatan orang dalam memang berpengaruh terhadap kebocoran data. “Apa Bapak tahu, Ibu ke sini?” celetuk Seto tiba-tiba. Ayahnya adalah tipe laki-laki keras. Seto hanya tidak mau ibunya kena marah. “Bapak nggak tahu.” “Syukurlah.” Seto menarik napas lega. “Ibu tadi diantar oleh calon istrinya Shaka. Mungkin sebentar lagi dia datang menjemput ke sini.” Seto membulatkan mata. “Shaka mau nikah?” “Iya. Sekitar empat bulan lagi adikmu resmi bertunangan.” “Dengan siapa, Bu?” “Shaka dijodohkan dengan anak kenalan Bapak. Ayahnya sama-sama pengurus masjid.” “Shaka setuju?” tukas Seto disambut anggukan kepala oleh ibunya. Namun, entah kenapa ia merasa sangsi. Jangan-jangan Shaka terpaksa menerima mengingat watak keras ayahnya. Meskipun tidak semua perjodohan berakhir buruk, Seto cenderung meng-underestimate perbuatan tersebut karena baginya itu terkesan kolot dan ketinggalan zaman. Mungkin juga karena ia sudah terlalu lama bergaul di luar. Perjodohan adalah nilai-nilai dari zaman dahulu yang ternyata masih dianut banyak pihak. Seperti adiknya tidak laku saja! Padahal Shaka lumayan tampan, sama seperti dirinya. “Memangnya Shaka kerja di mana sekarang, Bu?” “Di Dirjen Pajak, Bang. Shaka kebagian dinas di wilayah Semarang.” “Oh,” sahut Seto singkat sekaligus heran. Setahunya, dulu adiknya bercita-cita menjadi diplomat. Sedari kecil Shaka rajinmelatih kemampuan berbahasa Inggris dan ingin melanjutkan pendidikan di Hubungan Internasional. Entah bagaimana nasib cita-cita itu kini. Apakah kandas di tangan ayahnya atau Shaka telah berganti haluan. Seto mengerti, terkadang perkara cita-cita bisa disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan zaman. Mimpi dan kenyataan seringkali tak sejalan. “Ibu sekarang tinggal di mana?” Terdengar aneh bila seorang anak bertanya di mana domisili orang tuanya. Namun, untuk kasus Seto, itu wajar-wajar saja.  Seto diusir dari rumah setelah ketahuan menghamili anak gadis orang. Tak berapa lama setelah itu, ia nekat pulang lagi mencari ibunya. Sewaktu itu mereka masih di Jakarta. Tetapi, ia malah diusir habis-habisan. Sejak saat itu, ia enggan mencobanya lagi. Bukan karena tak sayang, melainkan ingin membuktikan bahwa dirinya pun bisa jadi orang. Namun, nasib berkata lain. Sampai sekarang pun ia tetap merasa tidak pantas untuk pulang. Hidupnya mengalami pasang surut seperti gelombang. Nasib mempermainkannya sedemikian rupa.  “Kami di Semarang, Bang. Sebelumnya di Surakarta. Setelah Bapak dan Ibu pensiun lalu Shaka diterima kerja, kami pindah lagi ke Semarang.” Luna hanya mendengarkan dari seberang meja. Bukan kapasitasnya untuk terlibat pembicaraan ibu dan anak itu. Tepat ketika ia hendak beranjak dari tempat duduknya, Umi Diah bertanya, “Na sudah punya pacar?” “Eh?” Luna tergagap. Matanya menatap Seto dan Diah bergantian. s**t happens! Ia tidak nyaman ditanyai urusan pribadi seperti itu. “Be–belum, Umi.” “Kalau calon suami?” “Ibu ini gimana, sih? Punya pacar aja enggak, apalagi calon suami?” ledek Seto. Luna membalas dengan delikan mata. “Ya, barangkali Luna nggak mau pacaran, Bang. Tahu-tahu langsung nikah aja, gitu lho.” “Taaruf maksud Ibu?” “Ya, begitulah. Seperti adikmu, nggak dibolehin pacaran sama Bapak.” “Oh,” Seto meneguk sisa minuman di gelasnya. “Kalau Abang bagaimana, sudah punya calon?”  Seto tersedak, kemudian terbatuk-batuk kecil sebelum menjawab, “Belum, Bu.” Diah menghela napas panjang. Meskipun sudah lama tidak bertemu, ia tahu anaknya sudah menjadi duda sejak lama pasca menantunya berselingkuh dengan pria kaya dan cucunya meninggal. Ia sempat meminta orang mencari informasi soal mereka, sebelum ketahuan oleh suaminya. “Dari dulu kalian selalu bersama. Kenapa kalian nggak menikah aja?” “Eh?” Seto dan Luna melongo bersamaan. Tak lama kemudian, keduanya saling berpandangan. “Nggak baik laki-laki dan perempuan sering berduaan tapi statusnya nggak jelas.” Diah menambahkan. “Apa kata orang, Bang?” “Kami nggak mungkin menikah, Bu. Wong kami cuma berteman,” jawab Seto mengklarifikasi. “Teman, sih, teman, tapi pandangan orang bisa saja berbeda, kan? Lagipula, nggak ada salahnya kalian menikah,” kata Diah melanjutkan. “Biar Abang bisa jagain Luna. Kasihan Luna tinggal sendirian. Keluarganya nun jauh di Kalimantan. Kalau Lunakenapa-napa, gimana? Abang tega? Sekalian, biar Abang ada yang ngurusin, nggak luntang-lantung begini.” Seto garuk-garuk kepala. Sungguh, tiada niatnya berhubungan lebih jauh dengan Luna. Ia masih betah menduda. Bukan karena tak laku, beberapa orang pelanggan bengkelnya bahkan secara terang-terangan memperkenalkan anak gadis mereka kepadanya. Dulunya, Seto memiliki secercah harapan ketika cinta pertamanya semasa SMA menyandang status sebagai janda. Namun, lagi-lagi nasib tak berpihak kepadanya. Harapan yang sempat ia pelihara, kandas sebelum ia sempat mengutarakan niatnya. Fara menikah dengan laki-laki lain, Samudera. Luna sendiri tidak punya keinginan untuk menikah. Ia lebih betah dicap sebagai perawan tua. Pernikahan hanyalah mimpi masa remaja yang pupus oleh sebuah peristiwa buruk sampai ia mencabut mimpi tersebut sampai ke akarnya. Hatinya telanjur mati rasa. Keduanya tersentak dari lamunan kala Diah kembali berbicara, “Jadi bagaimana? Luna mau nggak, jadi istrinya Abang?” Luna tergagap. Dalam hitungan detik, ia menyempatkan diri berpikir, lalu mengambil sebuah keputusan kilat. Kepalanya mengangguk. Seto pun hanya bisa melongo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN