5. Memories

1358 Kata
You can spend a lifetime trying to forget a few minutes of your childhood.   Luna menunggu kedatangan Farhan di bandara. Sejujurnya, ia tidak begitu mengingat Farhan. Mereka berpisah ketika Farhan baru berusia lima tahun, bertepatan saat Luna tamat SMA. Orang tuanya memutuskan pindah ke Banjarmasin dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Sementara Luna tetap di Jakarta melanjutkan hidupnya sebagai single fighter. Sejak saat itu, tak satu kali pun mereka bertemu. Luna menolak datang ke Banjarmasin dengan berbagai alasan. Begitupun keluarganya, tak lagi menginjakkan kaki di Jakarta. Alasannya sangat klasik. Apa lagi kalau bukan karena uang? Niat mengubah nasib di tanah Borneo berakhir berantakan, karena hanya ibunya yang berjuang sendirian.  Komunikasi terjalin lewat telepon atau pesan singkat. Setelah teknologi ponsel semakin mendukung, mereka sesekali melakukan video call. Surat menyurat untuk keperluan administrasi dilakukan lewat jasa ekspedisi. Tampak seorang lelaki berumur dua puluhan menyandang ransel berwarna hitam. Darah Luna berdesir. Ia mencocokkan wajah lelaki itu dengan foto Farhan di ponselnya, lalu ragu-ragu melambaikan tangannya. “Fa–Farhan!” panggilnya. Saat lelaki itu masih mengedarkan pandangannya, Luna memanggil sekali lagi, “Farhan!” Lelaki muda itu menoleh ke arah datangnya suara. Raut bingung seketika berganti lega. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. Ia bergegas menghampiri Luna. Beberapa meter sebelum sampai, ia memanggil riang, “Ayuk?” Luna tidak tahu bagaimana harus bersikap. Canggung lebih tepatnya. Belum sempat ia berpikir, Farhan sudah meraih Luna ke pelukannya. Tubuhnya merespon dengan kaku. Rasanya sangat aneh dan asing. Ia ingin cepat-cepat melepaskan diri. Namun tak lama kemudian, ada gelenyar rasa nyaman perlahan menggelitik perutnya. Inikah rasanya punya saudara? Ya, Luna tak pernah dipeluk, bahkan oleh kedua orang tuanya. Mungkin hanya ketika ia masih bayi atau balita, dan memori itu tidak terekam sama sekali di benaknya. Masa kecilnya lebih sering dilalui dalam pengabaian dan kepedihan. Belum sempat Luna membalas pelukan itu, Farhan sudah lebih dulu melepasnya. Lelaki itu membingkai wajah Luna dengan telapak tangannya. Matanya memerah. Suaranya bergetar saat berkata, “Wajah kita mirip banget, ya, Yuk.” Saat berpisah, Farhan bahkan belum bisa membersit hidungnya dengan benar. Kini, bocah itu menjelma jadi pemuda gagah dan tinggi. Kulitnya bersih. Matanya bulat dan besar, persis seperti mata Luna.  Luna tersenyum kaku nyaris seperti seringaian. “Kamu sudah besar, Han.” Alih-alih mengucap rindu atau bertangisan haru, malah kata-kata aneh itu yang keluar dari mulutnya. Hidupnya sudah terlalu rumit. Memikirkan hal-hal melankolis tak pernah menjadi prioritasnya. Buang-buang waktu! “Ayuk cantik sekali,” kata Farhan memuji. “Bisa aja kamu!” Luna menonjok bahu adiknya dengan kepalan tinjunya. “Ayo! Kamu pasti lapar.” Farhan mengangguk. Ia pun merasa agak canggung dan asing. Wajar, bukan? Lima belas tahun tidak bertemu, lalu tiba-tiba sang kakak menyuruhnya datang ke Jakarta untuk menjadi wali nikah. Ia bahkan tidak begitu ingat dengan sosok Seto, tetangganya dulu sekaligus calon suami kakaknya. *** Luna menelan makanan dalam diam. Sedari tadi, hanya Farhan yang sibuk bercerita tentang kegiatannya sehari-hari. Farhanaktif dalam organisasi kampus. Luna lebih betah menyimak sambil sesekali menanggapi dengan singkat. Berbeda dengan dirinya, Farhan tumbuh menjadi pribadi yang riang dan percaya diri. Mereka bagaikan langit dan bumi. “Gimana kabar Dion?”  “Dion baik-baik saja, Yuk.” Farhan mengunyah suapan terakhirnya. “Dia lebih mirip Ayuk, sih. Nggak banyak bicara.” “Ibu gimana?” Luna akhirnya menyinggung tentang ibunya, padahal baru semalam mereka bicara di telepon. Ia tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya terhadap ibunya. Rindu? Rasanya tidak juga. Hubungan mereka kaku dan berjarak. “Yah, begitulah, Yuk. Ibu sibuk ngurusin ayah,” kata Farhan tiba-tiba terlihat sendu.  Tidak enak rasanya membicarakan kedua orang tuanya, apalagi ayahnya yang ia tahu tidak menyayangi kakaknya dengan semestinya. Perlakuan ayahnya terhadap mereka sangat berbeda. Masih teringat di benaknya, sang ayah sering menjadikan kakak perempuannya sebagai tumpuan kemarahan. Itu bukan kenangan yang menyenangkan. Kala itu ia masih sangat kecil, tapi memori itu terekam jelas hingga ia dewasa. “Sudah risiko Ibu, sih, bertahan dengan laki-laki nggak berguna kayak gitu,” sahut Luna acuh tak acuh. “Kasihan Ibu, Yuk.” “Ibu saja nggak pernah kasihan dengan dirinya sendiri,” Luna menggumam. Farhan menggenggam jemari Luna. “Biar bagaimanapun, Ayah itu orang tua kita, Yuk.” Luna merenggut jemarinya hingga terlepas. “Who cares?” Farhan terkesiap, ia menutupi keterkejutannya sesegera mungkin. “Ayuk jangan ngomong begitu.” “Kamu nggak akan tahu bagaimana rasanya jadi aku, Han.” Luna meletakkan sendoknya. “Kita berbeda. Kamu dan Dion adalah anak emas Ayah karena kalian laki-laki. Sedangkan aku anak yang tak diinginkan.” Sekilas Farhan melihat sekelebat kecemburuan dan iri hati di mata kakaknya. “Nggak ada orang tua yang nggak sayang dengan anaknya, Yuk.” “Itu hanya teori semu.” “Kenyataannya memang begitu.” “Sepertinya itu hanyalah sebuah dogma sesat agar sang anak tidak durhaka, Han. Mereka terus meminta sebuah bakti, tapi sebelumnya tidak menunaikan kewajibannya dengan benar. Seorang anak tidak hanya butuh makan. Tahukah kamu, kalau orang tua pun banyak yang durhaka?” Luna membalikkan pertanyaan itu hingga Farhan terdiam. Tanpa sadar, ia sudah terlalu banyak membicarakan perasaannya yang tidak seharusnya menjadi beban Farhan. Farhan sedikit banyaknya mengerti akan rasa kecewa kakaknya terhadap sang ayah. Selama mereka berpisah, tak pernah ia mendengar ayahnya mengatakan rindu pada kakaknya secara terang-terangan, membicarakannya saja tidak.  Namun, beberapa waktu belakangan lelaki tua itu sering meneteskan air mata. Sesekali mulut miringnya memanggil lirih nama anak perempuannya dengan artikulasi yang tidak jelas. Ketika itu terjadi, mereka semua hanya diam, tak satu kali punberani menyampaikannya kepada Luna. Mereka tahu Luna pasti meradang dan berkata ayahnya hanya menyusahkan. “Sebenarnya, aku malu sama Ayuk,” kata Farhan sambil menunduk. “Malu? Kenapa?” “Seharusnya, biaya hidup dan pendidikan kami bukan tanggung jawab Ayuk.” Luna tercekat. Mulutnya mendadak kering dan pahit. Rasanya, seperti Farhan menanyakan keikhlasannya mengeluarkan uang setiap bulan untuk keluarganya. Ia mencicit nyaris tidak terdengar. “Nggak apa-apa.” “Ibu lebih sering mengurus Ayah. Kami sepenuhnya bergantung pada kiriman uang dari Ayuk.” “Kalian belajarlah dengan sungguh-sungguh, agar perjuangan Ayuk nggak sia-sia,” kata Luna.  Farhan mengangguk. Air matanya mengambang. Sebagai lelaki, ia teramat malu, tetapi kakaknya memaksa mereka untuk kuliah. Biar kalian jadi orang, begitu katanya dulu tiap kali menelepon. Ia tahu bagaimana perjuangan kakaknya di Jakarta. Kuliah dengan biaya sendiri itu tidaklah mudah. Apalagi Luna seorang perempuan. Susah senang digumam sendiri. Belakangan ia tahu, masa-masa SMA kakaknya pun dilalui lebih banyak berkat beasiswa. Ayahnya berkata, anak perempuan tak perlu sekolah tinggi karena ujung-ujungnya hanya jadi 'babu' melayani suami. Picik sekali! Luna hanya diam. Matanya tertuju pada gerimis hujan di luar restoran. Aroma petrikor bercampur asap kendaraan menguar di udara. Well, sebenarnya Luna ikhlas membiayai ibu dan adik-adiknya. Hanya saja, tidak untuk ayahnya! Lelaki itu tak pernah mempelakukannya dengan baik. Sewaktu kecil sampai remaja, Luna sering dipukul dengan segumpal lidi atau ikat pinggang. Perut buncit ayahnya berayun-ayun saat melakukan itu. Apalagi kalau ia terlambat pulang sekolah atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan benar, mencuci piring, membersihkan rumah, atau memasak, misalnya. Ibunya sibuk di pasar dari pagi sampai petang demi mencari sesuap nasi dengan membuka kios kecil yang menerima jahitan atau jasa permak pakaian. Luna tak pernah menangis. Percuma. Air matanya telah lama mengering, bahkan sejak ia masih sangat belia. Ia hanya diam memeluk lutut di pojokan sampai benda itu selesai melakukan tugasnya.  Ketika ibunya pulang, ia sibuk menyembunyikan bekas lukanya, entah itu di punggung atau di paha. Jujur saja, ayahnya cukup pintar mencari bagian tersembunyi saat memukul, sehingga bekasnya tak akan kelihatan karena tertutup pakaian. Namun, bila ia ketahuan dipukuli ayahnya pun, ibunya akan diam saja, dan Luna hanya bisa menelan kekecewaan. Ia terlahir sebagai perempuan, dan di mata ayahnya, itu adalah kesalahan Luna, bukan kesalahan kromosom pada spermanya. Tak jarang Luna berharap semoga lelaki itu mati saja. Namun, sepertinya Tuhan lebih menyayangi manusia-manusia tak berguna seperti ayahnya. Mereka cenderung hidup lebih lama dibandingkan orang-orang baik. Ironis sekali! DIAM!!! Jangan menangis atau kau kupukul lebih keras! Luna tiba-tiba bergidik. Ingatan itu membuatnya merinding, seakan-akan suara pecutan itu masih bergaung di telinganya.  “Kehidupan kalian laki-laki akan jauh lebih keras,” ujar Luna mengusir bayangan buruk itu. “Harga diri seorang laki-laki terletak pada pekerjaannya. Jangan seperti ayah, pemalas dan tahunya cuma berjudi!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN