Hari berjalan seperti biasa, Rindu dan Gavin bertemu di sekolah. Ke akraban keduanya terjalin dengan baik, bahkan Gavin bisa sangat usil ketika bersama gadis itu.
"Hey, apa lo mimpiin gua semalam?" tanya Gavin saat Rindu memasuki gerbang sekolah.
Perkataan yang kocak, kebiasaan Gavin namun mampu membuat hati Rindu berdebar.
"Em ...," Rindu tampak berpikir "nggak tuh."
Gadis itu berjalan tegap lalu meninggalkannya.
"Etzz."
Gavin merebut tas ransel milik Rindu.
"Hey, apa-apaan kamu, Vin! Balikin nggak!" Rindu merenggut menatap kesal pada pemuda itu.
"Gua bawain sampai ke kelas deh, nanti tolong traktir sebagai balasannya."
"Idih, pemaksaan. Ogah!" Rindu merebut kembali tas ranselnya.
"Balikin nggak!"
"Gua nggak ada jajan, pelit banget."
Mata Rindu melotot, hampir setiap hari dia melihat Gavin jajan dan membayar di kantin. Dompet pemuda itu selalu terisi dengan lembaran uang merah.
"Kamu pikir aku percaya, nggak akan!"
Rindu melegos meninggalkan Gavin yang berjalan lemah. Tiba di kelas, lelaki itu tampak tidak bersemangat. Dia duduk bersebelahan dengan Rindu. Sahabatnya itu tampak santai mengeluarkan buku bacaan sembari menunggu bel berbunyi.
Zeana sang senior datang setelah mendapatkan kabar dari Devon. Gavin di hukum, tidak mendapatkan uang jajan selama dia dekat dengan Rindu.
"Vin!" panggil Zeana dengan senyum mengembang.
Gadis populer yang sebentar lagi akan lulus mendekat dan membawakan bekal.
"Vin, katanya lo nggak sarapan ya, aduh kasian banget. Ini gue bawa makanan khusus untuk lo. Makan gih, nanti sakit perut kalau lo telat makan."
Wajah Zeana tampak berseri, Rindu menatap Gavin yang mengabaikan Zeana dan memilih tertunduk di mejanya.
"Hutz, di tanyain tuh," seru Rindu polos.
Gavin tetap diam dan tidak peduli.
"Eh, minggir nggak lo. Gue mau bicara sama Gavin," ucap Zeana dengan nada tak suka.
Rindu tersentak, kepalanya mengangguk perlahan, gadis itu bersiap untuk bangkit namun di tahan oleh Gavin.
"Mau kemana?" tanya pemuda itu.
Tatapan Gavin terlihat tidak biasa, Zeana merasa cemburu melihat itu.
"Aku," tunjuk Rindu pada diri sendiri.
"Ya, siapa lagi. Tidak ada orang lain di sini, selain lo dan gua."
"What!" Zeana menatap kesal.
The Gengnya memperhatikan betapa apesnya Zeana jika Gavin mengabaikan. Mereka sedang jadi tontonan sekarang.
"Eem. Kalian bicaralah. A-aku akan ke toilet."
Rindu melepaskan tangan Gavin, pengaruh Zeana membuat gadis itu bergidik. Ayah Zeana adalah donatur tetap di sekolah itu. Sebagai anak seorang yang berpengaruh. Zeana bis melakukan apa saja termasuk meminta pak kepala sekolah mengeluarkan muridnya.
Rindu berjalan pelan menuju keluar kelas, tatapan Gavin mengikutinya dengan seksama.
"Hey Vin, gue jangan di cuekin dong. Oh iya, nanti istrahat bareng gue aja. Tenang, bakal gue traktir kok."
Zeana masih berusaha merebut hatinya. Setelah Rindu menghilang di balik tembok, Gavin memperlihatkan wajah dingin.
"Gua nggak butuh teraktiran lo, lu kenapa sih? Denger, ya. Jangan ikut campur dengan urusan pribadi gua. Sejauh ini gua hormatin lo, karena lo pacarnya abang gua!"
Prak!
Gavin memukul meja, spontan seisi kelas terkejut karenanya. Semua mata menatap Zeana. Gadis itu merasa malu, tapi apa boleh membuat. Mengagumi Gavin membuatnya kepalang tanggung.
"Vin, lo apa-apaan sih? Gue tu cuman mau nolongin lo. Gua tahu lo nggak bawa uangkan?"
"Ya, tentu lo tahu lah. Lo kan yang hasut abang gua. Lo ngapain sih, caper banget ma gua. Lo nggak malu apa? Denger ya. Sampai kapan pun gua nggak akan pernah suka sama lo!"
Wajah Zeana tercoreng karena sikap Gavin.
Pemuda itu berlalu meninggalkan kelas begitu saja.
"Kasihan banget, Zeana. Cintanya bertepuk sebelah tangan," bisik-bisik terdengar membuat gadis cantik itu meradang.
"Beb, lo nggak apa-apa?" Salah satu gengnya menegur Zeana yang diam membisu.
Zeana menatap seisi kelas, semua orang sedang memandangnya dengan tatapan yang sulit di jabarkan.
"Apa lihat-lihat!" tantang Zean.
Zeana berjalan keluar, menghentakkan kaki atas penghinaan yang di lakukan oleh Gavin. Pemuda itu memang sangat berbeda. Zeana sangat terobsesi untuk menaklukannya.
"Lihat aja, Vin. Lo akan nyesel suatu saat nanti."
**
Di sudut lain sekolah itu.
Rindu keluar dari toilet, gadis itu terkejut karena Gavin sudah menunggunya di depan pintu.
"Loh, kamu ngapain?" tanya Rindu heran melihat Gavin bersandar tepat di samping pintu toilet cewek.
"Nungguin lo bawel, buruan bentar lagi, bel."
Rindu segera menutup pintu dan mendorong Gavin menjauh.
"Kamu ini, emang nggak takut di kira m***m. Ngapain nungguin sampai di depan pintu segala?"
Gavin menghela napas, jika berhubungan dengan Rindu. Dia terkadang tak sadar dengan apa yang dilakukannya.
Mereka berjalan menuju ke kelas, saling bersisian melangkah dengan arah yang sama. Rindu tiba-tiba memikirkan ucapan Zeana tadi, rasa iba muncul begitu saja."
"Nih, mau nggak?" tawarnya.
Gavin menoleh, snack coklat di tawarkan oleh Rindu untuknya.
"Ck, lo kayak anak kecil aja. Bawah snack kemana-mana."
"Yee, kalau nggak mau ya sudah."
Rindu membuka bungkus snack itu, setelah melihat isinya. Gavin lalu merebutnya.
Sleet.
"Eh!"
Krekk
Kreek.
"Em, lumayan." Pemuda itu menggigit wafer coklat hingga habis.
"Eh, katanya tadi nggak mau?" protes Rindu.
"Siapa bilang, gua cuman males buka bungkusnya, weee."
Rindu melotot, Gerald meledeknya puas. Merasa dirinya sedang di kerjai, Rindu berniat untuk mencubit Gavin.
"Awas kau ya!" Gavin dengan cepat menghindar, hingga Rindu kesulitan mengejarnya.
"We, nggak kena."
"Ih, nyebelin! Gavin berhenti nggak!"
Zeana melihat mereka dari jauh, gadis itu meradang. Apa hebatnya Rindu hingga Gavin selalu membututinya kemana-mana.
"Gavin, kau akan menyesal!" ucap Rindu berusaha menangkapnya.
"Tangkap jika kau bisa!"
Zeana berpaling, pemandangan itu membuatnya semakin cemburu.
"Beb, udah lah. Ngapain juga lo sibuk ngurusin Gavin. So, pacar lo lebih macho dan ganteng. Lagian, usia Gavin di bawah lo." Tasya temen Zeana memperingatkan.
"Diem deh. Lo, kalau nggak tahu apa-apa mending nggak usah ikut campur. Suka-suka gue dong, mau suka sama siapa? Soal Gavin, dia mestinya jatuh cinta sama gue. Bukan sama cewek introvert itu."
Tasya hanya bisa menggelengkan kepala. Ya, Zeana sangat keras kepala.
"Terserah lu deh, yang jelas gue udah ingetin. Sikap Gavin ke elo tadi, lo nggak merasa di permalukan?"
Zeana tersenyum miring.
"Nggak masalah, gue akan buat dia bertekuk lutut. Nggak peduli apapun. Mungkin gue bisa berhenti dari obsesi ini, asal Gavin mencintai cewe yang lebih dari gue, bukan cewe aneh kayak Rindu."
"Wah, lo nggak sehat, Zean. Cinta tidak seperti itu."
"Gue nggak peduli! Bagi gue, Gavin itu istimewa, titik."
Tasya tak bisa menghentikannya. Obsesi itu telah mendarah daging.
**
Waktu berlalu dan pelajaran pertama di mulai. Rindu dan Gavin mengikuti pelajaran dengan seksama. Keduanya fokus belajar, sekilas semuanya terlihat biasa saja. Tanpa sepengetahuan Rindu, Gavin sering memperhatikannya dalam diam.
"Okey anak-anak kerjakan soal, halaman 20 hingga 24. Adapun soal praktek, kalian bisa kerjakan dengan membentuk kelompok. Masing-masing kelompok adalah empat orang. Ingat, bagi karya yang paling bagus akan mendapatkan hadiah dari kepala sekolah. Tapi, inget nggak boleh curang."
"Uhh!"
Suasana menjadi riuh. Saat pak guru menyampaikan tugas. Gavin memeriksa lembar buku pelajarannya.
"Ada apaan sih, emang kita di suruh ngapain?" tanya Gavin bingung.
Rindu menoleh dan menatapnya.
"Kita di minta buat maha karya dari olahan kertas. Lihat bukunya. Jangan ngelamun terus."
Gavin tercengang, dia menjadi kurang fokus karena tidak sarapan.
"Oke ngerti."
"Pak, hari terakhir mengumpulkan tugasnya kapan, Pak?" tanya salah satu siswa.
"Lusa. Untuk timnya, kalian boleh memilih sendiri."
Seorang lelaki di hadapan Rindu, spontan menoleh mengajak gadis itu untuk satu tim.
"Hey, lo mau nggak jadi satu tim sama gua?"
"Hah," Rindu terperangah.
Gavin yang tidak terima lalu menendang kursi murid yang ada di hadapannya sehingga terdengar berderit.
Guru dan siswa yang lain spontan menoleh.
"Rindu, ada apa?" tanya sang wali kelas.
Rindu gugup, dia sedikit kelabakan.
"Rindu akan satu tim bersama saya, Pak," ucap Gavin sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Oh, baiklah. Kalian atur saja, yang penting akur."
Rindu menoleh, Gavin tersenyum mengejek. Dan pemuda yang ada di hadapannya kembali menghadap ke depan.
"Vin, kamu apa-apaan sih?" bisik Rindu menatapnya lekat.
"Apa? Emang lo mau se tim sama dia. Lo yakin nggak mau se tim sama gua?"
Rindu tertegun.
"Eh nggak gitu, ya udah aku mau."
Gavin berdecak.
"Dasar!"