Suasana di taman begitu tenang dan menyejukkan, Anak-anak sedang bermain dan didampingi langsung oleh orangtua mereka, beberapa remaja juga duduk di tengah taman sambil menggelar tikar. Sepertinya mereka sedang belajar bersama.
Rindu senang sekali bisa datang ke Taman. Hal yang sangat sulit dilakukan gadis itu dari dulu. Berada ditengah orang banyak atau keramaian membuatnya risih.
"Rindu," panggil Gavin. Pemuda itu menyerahkan minuman dingin yang baru dibelinya.
Mereka sedang duduk di kursi Taman. Memperhatikan orang-orang di sekitar.
"Terima kasih, Vin," ucap Rindu dan kembali membaca buku.
"Kau tahu apa yang paling gua suka dari diri elo?" tanya Gavin dan memandang langit cerah di atas sana. Rindu mengerutkan kening seketika.
"Apa?" tanyanya dan menoleh karena penasaran.
"Nama lo," ucap Gavin. Pandangan mereka bertemu, ada getaran yang takut untuk Gavin ungkapkan.
Hubungan persahabatan mereka semakin erat seiring berjalannya waktu. Gavin takut, jika mengungkapkan rasa akan membuat Rindu sungkan atau pergi karena perasaan yang dimilikinya.
"Namaku?" tanya Rindu heran. Debaran yang sama dirasakan gadis itu.
"Ya, gua penasaran. Siapa lelaki pertama yang akan lo rindukan sepanjang hidup lo nanti?"
Rindu terkekeh, gadis itu menyembunyikan kecanggungan. Suasana menjadi kaku. Gavin merutuki diri karena pertanyaan yang terlanjur keluar.
"Ngomong apa sih? cuaca panas gini kenapa kau bisa mabok, ha!"
Gavin tersenyum masam mendengarnya. Angin berhembus memainkan rambut Rindu, sungguh pemandangan yang sangat indah bagi Gavin saat ini.
"Aku telah memiliki orang itu," ucap Rindu. Tampang Gavin langsung berubah drastis. Tidak siap jika ternyata Rindu telah memiliki tambatan hatinya.
"Oh," ucapnya kecewa.
"Dia Ayahku, lelaki pertama yang selalu aku rindukan," ucap Rindu tersenyum tulus.
Gavin merasa malu, hampir saja dia berpikir kemana-mana.
Rindu kembali sibuk dengan bukunya, sedang Gavin hanya memandangi gadis tersebut.
'Ah sudahlah, gua rasa terlalu dini untuk meyakinkan Rindu. Yang ada, dia mungkin akan ngetawain gua,' Batin pemuda itu.
Waktu berlalu dan Gavin selalu berusaha mencuri perhatian gadis itu.
"Ndu, suatu saat nanti. Gua sangat yakin, jika lo bisa jadi seorang penyanyi yang sukses, coba lo ikut ajang pencarian bakat gitu."
"Apaan sih, Vin. Aku nggak akan melakukan hal itu," ucap Rindu dan tetap fokus pada bukunya.
"Loh, kenapa? Lo, coba deh masuk Gengnya Andra."
Rindu menoleh demi melihat bola mata dengan iris coklat milik Gavin. Tatapan yang membuat Rindu terpanah.
"Aku nggak mikir ke sana. Udah, ah. Mending kita balik, aku nggak mood tinggal di sini. Kita keliling, yuk," ajak Rindu.
"Keliling?"
"Ya, naik sepeda kayaknya seru," ucap gadis itu
Pemuda itu bangkit demi menyenangkan hati sahabatnya.
"Baiklah, terserah lo saja." Gavin meraih sepeda dan siap membonceng.
"Silahkan naik, Tuan Putri." ucap Gavin mempersilahkan.
"Terima kasih."
Dengan senang hati, gadis itu duduk manis dan berpegang pada pinggang Gavin. Pemuda itu menggoes sepedanya mengelilingi taman beberapa kali sebelum mengantar Rindu pulang.
Suasana taman sedang ramai saat sore hari seperti sekarang. Beberapa orang datang untuk berolahraga atau sekedar untuk berbincang.
"Suatu hari nanti, coba rindukan gua juga, Ndu!" Teriak Gavin tiba-tiba dan melajukan sepedanya.
Rindu kaget, dia pun malu karena orang-orang kini memperhatikan mereka.
"Apa-apaan sih, Vin? Malu tahu," ucapnya menutup mata.
Gavin tersenyum dan menarik kembali lengan Rindu agar tetap memeluk pinggangnya.
"Biarkan saja, paling mereka ngiranya kita pacaran!" Seru Gavin.
Rindu yang shock perlahan ikut tersenyum, debaran aneh membuatnya tertunduk malu.
**
Gavin kembali saat hari sudah gelap, kebersamaan dengan Rindu sore ini membuat jantungnya terus berdegup kencang. Debaran itu melukiskan senyum dan rona bahagia di wajah lelaki itu.
"Dari mana kamu?" tanya Devon saat Gavin memasuki rumah.
Zeana berada di ruang tamu dan menatap Gavin dengan sinis.
"Dari luar, Bang. Kenapa?" Gavin tak biasa dengan pertanyaan abangnya.
"Abang dengar, kamu belakangan ini dekat dengan seorang gadis. Benar?"
Gavin berdecih dalam hati, tentu saja Zeana telah menjelek-jelekkan Rindu di depan Devon agar abangnya marah dan Gavin menjauhi Rindu. Hal yang selalu dilakukan Zeana selama ini jika dia dekat dengan seseorang.
"Iya, benar. Dia sahabat Gavin, Bang."
Devon mengambil alih peran orangtua untuk mengawasi adiknya. Mereka hanya tinggal berdua dan Devon bertanggung jawab atas semuanya. Orangtua mereka menetap di luar negri, Devon akan segera menyusul saat kuliahnya selesai bersamaan dengan tamatnya Gavin dari sekolahnya.
"Abang nggak suka, ya. Kalau gadis ini menganggu konsentrasi kamu dalam belajar. Lagi pula, sebentar lagi kita akan meninggalkan kota ini. Jangan memulai hubungan yang tidak bisa kau pertahankan. Jauhi dia," titah Devon.
Zeana tersenyum penuh kemenangan, gadis itu akan melanjutkan kuliahnya di luar negri, tempat di mana kedua orang tua Gavin menetap.
"Abang tidak usah khawatir, aku tahu apa yang harus dan tidak perlu aku lakukan." Gavin berlalu dan segera pergi ke kamarnya.
Zeana sangat senang melihat wajah Gavin merenggut.
Gavin sangat menghormati Devon, bahkan untuk bicara. Gavin tidak pernah memakai bahasa gaul atau kekinian. Baginya, Devon adalah pengganti Ayah saat orang tuanya jauh. Zeana adalah kesalahan, dan Gavin tidak menyukainya.
"Sayang, Gavin tidak tahu baik atau buruknya gadis itu. Lihat saja dia, dia sangat polos. Kau mengerti 'kan?" Zeana mulai beraksi.
"Aku percaya padanya, selama ini dia belum pernah mengecewakan aku. Lagi pula, aku tidak tahu pasti siapa gadis yang kau maksud."
Zeana tertegun menelaah kata demi kata yang terucap dari bibir Devon.
"Namanya Rindu, gadis aneh yang selalu ketakutan. Kau tahu, aku tidak akan mengatakan semua ini jika bukan padamu."
"Rindu? Nama yang unik," ucap Devon.
Pujian itu terdengar menyakitkan. Wajah Zeana berubah drastis mendengarnya. Devon menyadari kesalahannya dan segera memperbaiki keadaan.
"Maksudku, aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, kau tahu, aku pikir namanya Shaly atau Tamara. Tapi, ini Rindu." Devon merasa geli mengucapkannya.
Zeana terlanjur ngambek, Devon sangat sulit untuk memuji sesuatu. Tapi, hanya mendengar nama Rindu saja. Kekasihnya itu bahkan ikut tersenyum.
"Sayang, jangan salah paham, jangan berpikir yang tidak-tidak."
"Sudahlah, aku tidak mau dengar." Zeana mengambil tasnya di sofa dan segera keluar dari kediaman Ardian.
Devon berusaha mengejar dan akan mengantar kekasihnya pulang. Namun, langkah Zeana sangat cepat dan langsung menyetop taksi.
Kekesalan Zeana terhadap Rindu semakin menjadi, benci karena cemburu. Zeana heran kenapa Gavin menyukai gadis itu. Rindu tidak populer, kecerdasannya juga sama seperti siswa pada umumnya. Kecantikannya apalagi.
"Apa semua lelaki matanya buta!" Zeana memukul kursi yang ada disampingnya. Emosinya terpancing hanya karena persoalan sepele.
"Akan ku buat perhitungan nanti," Sungutnya.