Chapter 57 mengaku pada orangtua

1076 Kata
Rindu di baringkan di brangkar, teleponnya terus berdering dari tadi. Panggilan masuk datang dari sang mama. Erika sebagai sahabat dekatnya memutuskan untuk mengankat panggilan itu. [Hallo.] Mendengar suara yang asing. Asyla pun bertanya. [Hallo, ini bukan Rindu ya? Rindunya dimana?] Erika menyalakan loudspeaker yang ada di ponsel tersebut hingga semua orang bisa mendengarnya. [Hallo, Tante. Ini saya Erika, temennya Rindu. Kami berada di rumah sakit karena Gavin telah kecelakaan.] [Apa?] Kedua orangtua Gavin mendengar pembicaraan mereka. [Iya Tante, ini Rindu pinsan. Jadi nggak bisa angkat telepon.] [Oke, lalu bagaimana Gavin?] [Kondisinya mengkhawatirkan Tante,] [Oh, baiklah. Tante akan segera kesana.] Orangtua Devon menatap Erika bergantian. Gavin masih stay di dalam ruang UGD ruangan pemuda itu belum di tentukan sampai dia tersadar. Agatha tertunduk sedih, dia tak banyak bicara dan diam mematung. Dalam hatinya dia terus berdoa agar Gavin baik-baik saja. Lima belas menit kemudian, kedua orangtua Rindu tiba di rumah sakit. Mereka langsung menanyakan keberadaan putrinya. "Erika ya?" tanyanya pada Agatha. "Saya Erika, Tante," Erika yang berada tepat di belakangnya menepuk bahu Asyla pelan. "Oh, maaf Tante hanya tahu nama kalian." "Nggak apa-apa, Tante." "Rindu dimana? Dan Gavin?" Rindu masih belum bangun dan Gavin, masih di ruang UGD." "Astaga, maaf sekali. Kami sebenarnya sedang berkabung. Bibi saya meninggal beberapa hari yang lalu. Jujur saja kabar ini begitu membuat kami terkejut." Asyla mendekati Nagita. "Anda?" "Mamanya Rindu," ucapnya memperkenalkan diri. "Bukan, Anda terlihat sangat mirip dengan Mitha Asyfa. Iya kan?" Nagita dan Ardian terperangah. Wajah itu sangat mirip dengan seorang aktris dimasa mudanya. Namun karirnya meredup karena khasus yang menjerat keluarganya. "Ah," Riki-Papa Rindu datang untuk mencairkan suasana. "Namanya Asyla. Mereka memang terlihat mirip." Nagita tertegun. Asyla pun terlihat tidak nyaman. "Kami meminta Rindu untuk menyampaikan undangan makan malam bersama, rupanya kalian sedang berduka. Itu sebabnya Rindu mengabaikan Gavin beberapa hari terakhir ini." Asyla dan suaminya saling melirik. "Maafkan putri kami, dia memang cenderung pemalu. Kami tak tahu apapun mengenai undangan makan malam yang jeng maksud." Nagita akan berbicara lebih jauh namun Ardian menahannya. "Devon, antarkan orangtua Rindu menemui putrinya," pinta Ardian. "Baik, Pa." Devon mempersilahkan. "Mari, Tante, Om." "Terimakasih." Ardian seperti melihat sebuah kejanggalan. "Papa, mama kan belum selesai bicara." "Papa tahu, makanya papa hentikan." "Maksud papa!" Ardian mengabaikannya dan mengajak istrinya masuk melihat keadaan Gavin. Kepala putranya di balut dengan perban, wajah tampan Gavin juga memar. Kakinya di gips. Pantas dokter menanganinya lumayan lama. Ardian menarik kursi untuk diduduki sang istri. "Gavin, Sayang. Bangunlah. Mama di sini, Nak." Gavin tampak pulas dalam pengaruh obat. "Ya Tuhan, apa yang harus kita lakukan, Pa. Mama nggak mau lihat dia terpuruk di masa mudanya karena patah tulang." "Kita akan mengobatinya, dia akan segera sadar. Tenanglah." Andra, Erika dan Agatha memasuki ruangan itu. "Yang sabar, Tante." Nagita mengangguk pelan. Ini adalah pertemuan pertama wanita itu dengan teman-teman putranya. "Terimakasih kalian sudah datang dan peduli pada Gavin." "Sama-sama, Tan. Tidak perlu sungkan," ucap Erika mewakili. Devon baru kembali setelah mengantarkan orangtua Rindu. "Bagaimana keadaan gadis itu?" tanya Ardian. "Udah sadar, Pa. Syukurlah. Sepertinya Rindu sangat shock dan kini di tenangkan oleh mamanya." "Oh, ya sudah." ** Di ruangan kosong tempat dimana Rindu istrahat, gadis itu terkejut melihat kedatangan kedua orangtuanya. "M-mama, papa." "Iya, sayang. Kamu baik-baik saja kan?" Rindu mengangguk. "Kata mamanya Gavin, mereka mengundang kita makan malam. Apa itu benar?" Rindu terlihat khawatir. "Mama aku bisa jelasin." Kedua orangtuanya kaget melihat reaksinya. "Aku minta maaf, dalam satu hal aku tidak jujur sama mama dan papa. Aku dan Gavin telah berpacaran." Rindu tertunduk takut. "Kami memang sahabatan pada awalnya, tapi perlahan Gavin mengatakan perasaannya. Maafkan Rindu, Ma." "Kamu ngomong apa sih Mama nggak ngerti." Rindu menatap takut. "Mama sama papa nggak marah kan?" "Ngapain marah, kamu kan udah gede. Gavin juga anak yang baik." "Beneran, Ma?" Asyla mengangguk mengiyakan. "Kalau gitu, karena ini hari libur. Boleh nggak Rindu nungguin Gavin?" Kedua orangtuanya saling menatap. "Tolonglah, Ma. Rindu mohon kali ini aja," Wajah memelas putrinya menandakan kekhawatiran terbesar dalam hatinya. "Boleh, Sayang. Tapi, ingat selalu berkabar dengan mama. Kalau ada apa-apa langsung telepon kami." Rindu mengangguk antusias, akhirnya dia merasa lega. "Ya udah, sekarang kita melihat keadaan Gavin dulu." Rindu tersenyum penuh haru. Erika dan yang lainnya menunggu di luar, jam besuk hampir habis tapi Gavin tak kunjung sadar. "Rindu!" Erika menghampiri sahabatnya dan memberikan pelukan. "Lo udah baikan?" Rindu mengangguk dengan wajah datar. "Bagaimana Gavin?" Rindu menatap teman-temannya satu per satu. "Dia belum sadar juga," seru Andra. Rindu menyalahkan dirinya sendiri. Gadis itu berperang dalam benaknya menyalahkan emosi yang tak bisa di tahan. "Kita harus pulang, udah jam 10. Rindu lo gimana?" Erika menyentuh tangannya seketika Rindu pun terkejut. "Ah," Semua orang merasa iba termasuk kedua orangtuanya. "Kami harus pamit, Ndu. Lo sendiri gimana?" "Aku akan tinggal, mama dan papa udah ngizinin." Agatha menatapnya cemburu. "Ya udah lo baik-baik ya, jaga kesehatan. Jangan sampai lo ikutan sakit, oke. Besok gue dan Andra akan datang lagi." Rindu menganggukkan kepala. Erika dan yang lainnya masuk untuk berpamitan. "Tante, Om, Kak Devon. Kami harus pulang." Ardian dan Devon segera bangkit dari kursinya. "Terimakasih sudah datang." "Sama-sama," Mereka bersalaman bergantian. Begitu pun dengan orangtua Rindu. "Jeng, kami juga pamit pulang." Nagita masih terpukau dengan wajah Asyla. "Terimakasih sudah datang." Asyla memeluknya, memberikan kekuatan. "Rindu ingin tetap tinggal, kami akan datang besok pagi. Semoga Gavin segera sadar." Nagita mengangguk lemah. Riki menyalami Ardian. "Terimakasih sudah datang." "Sama-sama." Devon keluar untuk mengantarkan mereka. "Ma, Pa. Aku antar mereka ke parkiran dulu," izinnya. Ardian mengangguk. Semua orang pun akhirnya pergi. Ardian menarik kursi tepat di samping Gavin. "Duduklah di sini, Nak. Om juga kaget kenapa semua ini bisa terjadi." Rindu duduk menatap setiap inci luka yang di derita kekasihnya. Airmatanya luruh tanpa suara. Rindu tak berani bicara maupun mengeluh. Dia menyentuh tangan Gavin dengan hati-hati. Nagita memperhatikannya. Rindu tertunduk berdoa dalam hati agar lelaki itu cepat sadar. "Rindu," panggil Nagita. "Iya, Tante." "Apa Gavin menemuimu hari ini?" Deg. Pertanyaan itu membuat Rindu terperanga. Dia tak langsung menjawabnya melainkan tertunduk semakin dalam. "Mamamu sudah menjelaskan bahwa kalian dalam masa berkabung. Tante, hanya berpikir mungkin Gavin marah karena salah paham. Sebelumnya dia sangat kesal karena kau tidak menghubunginya." Gadis itu merasa gelisah, Ardian menatapnya dengan seksama. "Sebenarnya," ucap Rindu takut. "Apa Gavin menemuimu?" tanya wanita itu. Rindu menautkan tangan. Devon baru saja kembali dan bergabung dengan mereka. "A-aku, ..." "Ma, bagaimana bisa mereka bertemu. Sedangkan Gavin baru akan menemuinya saat kecelakaan itu terjadi." Nagita mengerutkan kening sedang Rindu tidak menjelaskan lebih. "Kau tahu darimana?" Devon menyerahkan ponsel adiknya. "Ini, Ma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN