Rindu mematung tak dapat menahan kepergian Gavin. Hanya air mata yang menjadi saksi betapa hancurnya hati dan perasaannya saat ini.
Di tengah persimpangan.
Perlahan Gavin menghilang dari pandangan. Rindu luruh memeluk kedua lututnya. Dua hari yang lalu keluarganya tengah berduka. Bude yang di jaga sang mama meninggal di rumah sakit. Rindu tidak bisa menyampaikan keinginan keluarga Gavin saat keluarganya dalam keterpurukan.
Hujan membasahi bumi mengingatkan akan momen pertemuan pertama mereka. Hal itu semakin menyahat hati kedua insan yang tengah saling menjauh. Gavin dengan kerasnya hati melaju menembus hujan yang seolah menantangnya.
"Ku pikir, mencintaimu adalah hal yang terindah. Persahabatan kita menjadi semakin erat. Namun, nyatanya semua hanya andai yang tak menjadi nyata. Apa kau tersiksa Rindu? Apa aku terlalu mengekang. Lantas cinta seperti apa yang kau inginkan. Saat ragumu coba ku tepis dengan keseriusan. Kau malah menghindar seolah rasaku tak berguna. Aku lelaki bodoh karena jatuh hati padamu sejak pertemuan pertama."
"Ya, hujan!" ucap Rindu mendongak ke langit. Gadis itu membuatnya terpukau.
"Ya, ini hujan bukan Rindu. Nama lo Rindu kan?"
Gavin terpejam. Sesaat mobil melintas dari arah yang tak terduga.
Blash!
Brakk!
Pemuda itu melambung tinggi, Gavin terpental dan jatuh cukup keras. Pandangannya mengabur! Dia sempat mendengar suara teriakan seseorang menembus rintik yang membasahi bumi.
"Tolong ada kecelakaan!"
Mobil yang di tabraknya langsung lari karena panik. Mobil itu ringsek di bagian belakang.
Darah berceceran, dan saat ini kemacetan luar biasa dari dua arah.
"Tolong kecelakaan! Bantu bawa ke rumah sakit!"
Gavin kehilangan kesadarannya.
Seorang pengguna jalan langsung memapah tubuh lemah itu. Gavin terpejam, beruntung dia memakai helm hingga kepalanya tidak terhantam aspal.
"Bawa ke mobil saya saja, Pak."
Orang-orang segera membopongnya. Ponsel Gavin terjatuh dan seseorang coba untuk menghubungi keluarganya.
Air hujan mengalir membawa sisa-sisa darah yang menetes di jalan.
**
Di kediaman Ardian.
Nagita mengankat telepon rumah yang terus berdering. Wanita itu baru saja keluar dari kamar karena bi Ira sibuk di dapur.
"Hallo, rumah kediaman Ardian di sini."
Nagita membeku di tempatnya, seluruh tubuhnya gemetar luar biasa.
"Bapak! Bapak jangan bercanda!"
"Aku pulang!" Devon baru saja kembali, dia tak menemukan adiknya dimana-mana.
"Ada apa, Ma?" Pemuda itu berhenti menatap mamanya yang tampak begitu shock.
Telepon jatuh begitu saja di susul air mata yang melesat jatuh dari kelopaknya.
"Mama!"
Ardian menyusul menatap sang istri.
"Mama ada apa?"
Nagita berteriak histeris.
"Acch!" rintihnya memegang d**a yang perih. Devon memeluknya, raut wajahnya ikut sedih melihat keadaan sang ibunda.
"Mama tenang,"
"Sayang kamu kenapa?" Kini Ardian pun menyentuh kepala istrinya.
"Gavin! Gavin kecelakaan."
"Apa?"
Bibi yang membawakan cemilan menjatuhkan piringnya begitu saja.
Kue dan beling berserakan.
"Nyonya,"
Semua orang spontan menoleh ke arahnya.
"Kita ke rumah sakit, sekarang!"
Nagita panik dan segera meraih tasnya.
"Mama tenanglah." Devon dan semua orang terkejut mendengar berita itu.
"Nggak! Kamu nggak tahu, adikmu menabrak sebuah mobil."
Bi Ira tertegun.
"Nyonya saya ikut."
Ardian mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, ayo kita segera ke rumah sakit."
Devon memegang lengan mamanya dan membawanya ke mobil. Ardian ikut terguncang namun dia berusaha tetap tegar.
"Den Gavin akan baik-baik saja, pasti akan baik-baik saja." Bi Ira terus meracau, wanita tua itu berusaha menghibur diri.
"Pa, papa bisa? Kalau nggak biar Devon yang menyetir."
Ardian menggelengkan kepala.
"Papa bisa kok,"
**
Dua puluh menit kemudian mereka akhirnya terbebas dari macet. Waktu menunjukkan jam tujuh malam.
Devon dan keluarganya tiba di parkiran rumah sakit, tak menunggu waktu lama bagi mereka segera menuju ke meja resepsionis.
"Atas nama Gavin Ardian. Korban kecelakaan," ucap Devon.
"Oh, pasien masih di ruang UGD, Mas."
"Baik terimakasih."
Devon membawa keluarganya ke depan ruangan itu, dua orang asing yang menyelamatkan Gavin berdiri di sana menunggui kedatangan mereka dari tadi.
"Permisi, maaf. Ini barang-barang korban." Orang itu menyerahkan helm dan ponsel.
Hati Nagita hancur melihat noda darah yang kental menempel pada benda itu.
"Terimakasih, Pak," Devon menerimanya dengan sopan.
"Apa ada korban lain?" tanya Devon.
"Tidak ada, mobil yang di tabrak segera pergi karena panik. Beruntung bapak ini berteriak dan kami langsung membawanya ke rumah sakit."
Ardian memeluk orang-orang itu.
"Terimakasih banyak, Pak. Ini saya kasih tanda terimakasih." Ardian mengeluarkan dompet dan akan memberikan uang. Namun kedua orang tadi kompak menolaknya.
"Tidak apa-apa, Pak. Kami ikhlas. Terimakasih."
Ardian merasa berhutang budi.
"Kalau begitu kami permisi."
"Terimakasih sekali lagi, Pak."
Keduanya hanya tersenyum.
"Dev, adikmu." Nagita masih tak percaya ini.
Devon memeluknya, berusaha menenangkan sang mama.
"Pikirkan yang baik-baik saja, Ma. Gavin pasti baik-baik saja."
Devon melihat ponsel adiknya. Layarnya retak dan dia tak sengaja melihat pesan yang terkirim ke Rindu.
"Apa mereka sudah bertemu? Atau baru akan bertemu," batinnya.
Devon memutuskan untuk menelpon gadis itu.
Beberapa kali mencoba namun telepon tak di angkat.
"Kamu telepon siapa, Dev?" Sang papa menegur.
"Oh, ini Pa. Ngabarin Agatha," ucapnya.
Devon mencari nomor Agatha dan mengirimkan pesan.
[Agatha, ini saya Devon. Kakaknya Gavin. Bisa minta tolong hubungi Rindu dan kabarkan. Gavin masuk ke rumah sakit karena kecelakaan.]
Tak lama ponsel itu bergetar, berbeda dengan Rindu. Agatha lebih cepat memberi respon.
[Hallo, Agatha.]
[Hallo, Kak! Apa benar Gavin kecelakaan?]
Gadis itu terkejut bukan kepalang.
[Iya, sekarang sedang di UGD]
[Baik, Kak. Tolong kirimkan alamatnya, aku akan menjemput Rindu sekarang.]
[Kau tahu dimana rumahnya?]
Kepedulian Agatha membuat Devon merasa salut.
[Aku akan mengabari yang lain. Mereka pasti tahu alamat Rindu.]
[Baiklah, Agatha terimakasih.]
Panggilan terputus, Devon segera mengirimkan alamat rumah sakit itu.
Keluarga diliputi rasa cemas yang luar biasa. Dokter belum keluar juga bahkan setelah satu jam mereka menunggu.
"Dev," Nagita memanggil putranya.
"Sabar, Ma. Kita tunggu sama-sama."
**
Rindu tiba di rumah, kedua orangtuanya sedang tidak ada di tempat. Mereka berangkat ke rumah saudara dan belum kembali dari tadi pagi.
Rindu berhenti di halaman saat melihat mobil Andra terparkir di depan pagar. Erika, dan Agatha segera keluar dari mobil.
"Rindu!" Mereka melambaikan tangan. Hujan kini telah redah, menyisakan hanya gerimis saja.
"Eh, kalian. Ayo masuk," ucapnya ramah.
"Ponsel lo dimana? Kami udah telepon dari tadi kok nggak di angkat?"
Rindu mengernyit, dia teringat satu hal.
"Ah, aku lupa membawanya. Tadi sebelum keluar aku charger di dalam. Tunggu ya!"
"Eh!"
Rindu memasuki rumah sekaligus berganti pakaian. Dia terkejut melihat panggilan tak terjawab dari Gavin, dan teman-temannya yang begitu banyak.
Rindu melepas chargernya dan turun ke bawah setelah berganti pakaian.
"Duh, Rindu lo lama banget sih." Erika sampai menjemputnya ke dalam.
"Ada apa sih?"
"Gavin kecelakaan!"
"Gavin kecelakaan!" Suara itu menggema di pendengarannya berulang kali.
"Dia berada di rumah sakit sekarang."
Rindu terkesiap, tubuhnya mendadak linglung.
"K-kau bilang apa barusan?"
Erika menariknya keluar.
"Agatha di telepon kak Devon karena lo nggak angkat panggilannya. Sekarang Gavin di UGD dan belum keluar dari tadi."
Rindu tertegun. Dia pasrah di bawah ke mobil dan duduk di kursi belakang tepat di samping Agatha.
"Ayo, Beb. Buruan nyetirnya," ucap Erika pada Andra.
Mobil melaju meninggalkan rumah, Rindu gugup teringat pertemuan sore tadi.
"Katanya dia nabrak mobil, sepertinya kondisinya parah karena bang Devon bilang Dokter belum selesai menanganinya."
Tangis menyeruak, airmata Rindu jatuh berlinang.
"Kita berdoa aja semoga semuanya baik-baik saja."
Dua puluh menit kemudian, mobil tiba di rumah sakit, Andra mencari tempat parkir dan semuanya segera keluar berhamburan.
"Ke ruang UGD. Ayo cepat." Andra memimpin mereka mencari jalan.
Langkah Rindu seolah tak berpihak pada bumi, tubuhnya linglung namun dia masih berusaha untuk mengejar teman-temannya.
Di depan sana, orangtua Gavin berbicara dengan dokter.
Mereka semua akhirnya tiba dan Nagita menatap Rindu yang shock.
"Pasien mengalami patah tulang di bagian kaki, kepalanya terbentur kuat dan ada keretakan di bagian batok kepala."
Nagita tak kuasa mendengarnya.
"Pasien sedang dalam kondisi kritis, kita doakan semoga dia bisa segera sadar."
Rindu tercengang. Dia menatap Gavin dari kaca kecil yang tersemat di pintu ruangan.
"Pa, anak kita." Kedua orangtua Gavin begitu terguncang. Rindu yang menyesali pertemuan hari ini jatuh pinsan tak sadarkan diri.
"Rindu!" panggil Erika. Devon mendekatinya. Menepuk pelan wajah Rindu.
"Hey, Rindu!"
"Dia pinsan, Kak. Dia pasti sanga shock dengan kabar ini."