Semua orang sudah terlelap sejak tiga jam yang lalu, Devon dan papanya di luar ruangan sedang Nagita di sisi putranya Gavin. Rindu masih terjaga menunggu keajaiban.
Gadis itu tidak merasakan mengantuk sama sekali, dia tetap kokoh duduk di kursinya. Menatapi Gavin yang belum sadar dari kemarin.
Perlahan, apa yang di nanti akhirnya tiba. Tangan Gavin bergerak. Rindu menatapnya dan segera bangkit berdiri di sampingnya. Sekarang pukul 04:21 pagi.
Rindu tak berani membangunkan Nagita yang sedang terlelap.
Gavin meringis, perlahan dia membuka mata.
"Gavin, hey. Aku disini."
Netra yang tadinya buram kini tampak terang, Gavin diam tanpa bicara menatap Rindu berdiri khawatir di sampingnya.
"Gavin," Rindu memegang tangannya erat.
Gadis itu tampak bingung. Dia memberanikan diri membangunkan Nagita di sampingnya.
"Tante, Gavin Sudah sandar."
Rindu menepuk pelan lengan Nagita.
"Tante,"
Wanita itu mendongak, dia menatap ke arah putranya dan ... .
"Gavin, kau sudah sadar, Nak. Lihat mama."
Devon dan Ardian mendengar suara ribut itu.
"Gavin, katakan sesuatu, Nak. Jangan diam saja." Nagita mulai panik membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Papa! Devon! Tolong panggilkan dokter."
Rindu gemetar di tempatnya.
Devon dan papanya segera keluar.
"Gavin, katakan sesuatu. Mengapa tidak bicara, Sayang?"
Rindu terisak, air mata jatuh perlahan membasahi pipi.
Dokter segera datang bersama asistennya.
"Permisi, Tolong keluar dulu dan biarkan kami bekerja.
Gavin tampak diam, dia tidak bereaksi sama sekali.
"Ma, ayo ma." Ardian membawa istrinya. Devon menggapai tangan Rindu dan keluar bersama. Gadis itu terus menatap Gavin yang juga menatapnya.
Mereka semua menunggu di luar dengan perasaan yang kacau.
Dokter tampak bingung karena Gavin terlihat mati rasa.
"Ach," erangnya terdengar dengan airmata yang jatuh berlinang.
"Kakiku," ucap Gavin lemah.
Dokter menjelaskan semua kondisinya membuat pemuda itu shock.
"Anda mengalami patah tulang, tidak terlalu parah namun butuh penanganan yang serius."
Lelaki itu tersentak. Dunianya seolah di porak-porandakan.
Suster mengecek tekanan darah dan infusnya.
"Siapkan ruangannya dia sudah dapat di pindahkan," ucap Dokter
"Baik, Dok," Suster bergegas melaksanakan tugasnya.
Petugas rumah sakit tampak sibuk mempersiapkan segalanya.
Nagita spontan mendekat saat melihat suster keluar dari ruangan.
"Ada apa, Suster. Apa putra saya baik-baik saja?"
"Sabar ya, Bu. Silahkan tunggu penjelasan dari dokter, kami akan memindahkan pasien ke ruangannya."
Rindu bingung, memikirkan sikap Gavin kepadanya.
Tak lama, Brangkar di dorong keluar. Napas Rindu seolah tertahan saat melihat kekasihnya melewatinya begitu saja.
Perawat laki-laki membawa Gavin pergi. Rindu dan Devon mengikutiya sedangkan orangtuanya berbicara dengan dokter.
Rindu begitu cemas, dia bahkan ikut mendorong brangkar Gavin sampai ke ruangan yang di maksud.
"Hati-hati."
Suster memperbaiki posisinya dan memastikan semuanya sudah oke.
"Permisi, jika terjadi sesuatu segera panggil dokter."
"Baik, suster. Terimakasih," seru Devon.
Rindu mendekat Menggapai tangan Gavin yang kaku.
"Vin, aku di sini nungguin kamu. Semalam temen-temen juga datang jengukin. Cepet sembuh ya,"
Devon menatap mereka, Gavin sekali lagi bersikap sangat dingin.
Brak. Kedua orangtuanya memasuki ruangan. Nagita berdiri di sisi lain dan menatap putranya.
"Vin, jangan diam terus. Katakan sesuatu."
Lelaki itu bereaksi, tangan yang di genggam Rindu di tariknya paksa.
"Dia siapa?"
Rindu terbelalak.
Orangtua Gavin pun tercengang di tempatnya.
"Vin, jangan main-main. Dia Rindu pacar kamu. Orangtuanya juga menjenguk kamu semalam."
Gavin menoleh menatap Rindu sekali lagi.
"Pacar, aku pacaran sejak kapan? Lulus saja belum."
Devon terkesiap.
"Papa akan panggilkan dokter," ucap Ardian panik.
Devon mendekat, di tatapnya sang adik yang bersikap tidak biasa.
"Vin, emang kamu kelas berapa sekarang?" tanyanya.
"Sembilan,"
Rindu menutup mulutnya. Begitupun dengan keluarga Gavin yang terkejut luar biasa.
"Vin, kamu udah SMA sekarang kelas 11."
Gavin meringis, rasa sakit yang teramat menyerang bkepalanya.
"Ah, aaach! Mama sakit."
Nagita panik.
"Tenanglah sayang."
"Mama!"
Dokter datang dan langsung memeriksanya. Rindu spontan mundur memberikan tempat pada tenaga medis.
"Ada apa ini?"
Nagita menyeka airmatanya, dan menatap dokter itu.
"Tolong, Dok. Anak saya mengira dirinya masih anak SMP. Dia bahkan lupa siapa gadis ini."
Dokter kembali memeriksa.
"Kami telah memeriksa hasil rotgen di kepalanya. Pasien mengalami geger otak akibat benturan keras yang di alami pas kecelakaan."
"Apa?" Rindu hanya bisa menangis.
"Ingatannya untuk sementara belum pulih. Jangan di paksakan atau pasien akan semakin kesakitan."
Semua orang terkejut.
"Untuk lebih detailnya silahkan ikuti saya."
Nagita dan suaminya ikut dengan Dokter. Gavin diam sejenak, dia masih memandangi wajah Rindu yang terlihat teduh.
""Vin, maafkan aku."
Devon duduk tak jauh dari mereka. Rindu menggapai tangan lelaki itu namun Gavin menariknya kembali.
"Dia tak ingat siapa kau, bersabarlah," ucap Devon menasehati.
"Tapi, Kak."
Rindu tak ingin dilupakan.
Gavin hanya diam menatapnya.
"Kamu mau pulang, udah jam 6 aku anterin ya?"
Rindu menggelengkan kepala.
"Aku mau di sini, aku mau temenin Gavin. Mama sama papaku akan datang nanti."
"Baiklah, kalau begitu aku keluar dulu untuk cari sarapan."
Rindu mengangguk lemah.
Kini hanya ada mereka berdua yang ada di dalam ruangan.
"Gavin, kau tidak sedang menghukumku kan. Tolong jangan mengabaikan aku."
Emosi Rindu meledak.
"Katakan sesuatu, apa kau benar-benar lupa padaku?"
Rindu benar-benar frustasi melihat Gavin terus mendiamkannya. Di sela keputusasaannya, sebuah ide terpikirkan.
Rindu mengirimkan pesan pada teman-temannya melalui grup chat.
[Gavin sudah sadar tapi dia kehilangan ingatannya.]
Send.
Rindu beranjak ke toilet untuk mencuci muka. Di simpannya ponsel miliknya di samping nakas dalam keadaan menyala.
Rindu menyetel wallpaper tentang kebersamaan mereka sebelumnya.
Gavin melihat kepergiannya juga melihat foto di wallpaper itu.
Rindu mengintipnya dari jauh, berharap Gavin akan meraih ponselnya dan melihat foto-foto di sana. Namun, pada kenyatannya Gavin mengabaikan semua itu. Dia memilih terpejam.
Rindu menghela napas panjang.
Tring.
Tring.
Tring.
Pesan masuk balasan datang secara beruntun. Suaranya mengganggu Gavin yang hampir terlelap.
Rindu segera menyelesaikan keperluannya dan kembali meraih telepon genggamnya.
[Oke, kami akan segera meluncur.] Balasan dari Erika.
[Gue juga, tapi agak siangan sekaligus bawa makanan titipan Bi Ira.] Seru Agatha.
[Siapa tuh, Bi Ira?]
[Bibi yang bekerja di rumah Gavin, yang pulang bareng gue naik taksi.] Jelasnya.
[Oke.]
Rindu merasa lega, dia berharap teman-temannya dapat membantu Gavin mengingat sesuatu.
Pemuda itu menatap Rindu dari tadi.
"Apa kau ingin sesuatu, katakan. Aku akan melakukannya untukmu," ucap Rindu.
Tatapan mereka saling bertubrukan.
Gavin menatap Rindu lama.
"Kalau begitu bisakah kau keluar, kau sangat menggangguku."
Deg.
Rindu tak percaya mendengarnya.
"Kau tidak perlu repot datang kemari. Aku juga tidak mengenalmu."
Sesak memenuhi rongga d**a. Rindu mematung cukup lama sampai kedua orangtua Gavin tiba.
"Rindu, dimana Devon?" tanya Nagita.
Airmata Rindu lolos sekali lagi.
"Em, dia sedang keluar membeli sarapan. Permisi Tante."
"Eh, kamu mau kemana?"
Nagita menatap kepergiannya.
"Gavin, Rindunya kenapa?"
Gavin memilih terpejam.