Hari ini, hari pertama Zean masuk ke sekolah, gengnya tentu saja sangat bahagia dan langsung mengelilinginya.
Suka cita dari teman-teman seangkatannya berpesta di kantin demi menyambutnya.
Pelajaran pertama telah berlalu. Semua murid berkumpul di kantin.
"Tepuk tangannya untuk teman kita yang baru sembuh, sehat selalu untuk Zeana kesayangan," seru Tasya memeluk gadis populer itu.
"Thank you, guys."
"Selamat datang kembali, Z. Sekolah jadi sepi semenjak nggak ada lo."
"Benarkah?" Zeana sangat senang mendengar pujian mereka.
"Bener dong. Pokoknya kita happy banget karena lo udah kembali."
Zean menikmati kepopulerannya.
"Okey terimakasih atas sambutannya, oh iya karena kalian udah capek-capek nyiapin surprise buat gue. Sebagai imbalannya, kalian boleh makan apa aja gue yang traktir."
"Yuhuuu!" Mendadak susana kantin menjadi ramai.
"Thank you, Z."
"Sama-sama,"
Kehebohan itu disaksikan oleh Rindu dan yang lainnya.
"Widih, wajar banyak yang muja, banyak yang idola in pula. Ternyata Ratu traktir, boss," ucap Andra menarik kursi untuk duduk.
Erika menatap tak percaya.
"Duh, traktir satu kelas habis berapa duit ya?" Erika bergidik dan mengambil posisi di dekat Andra.
Rindu tidak ikut menanggapi, tidak bicara saja, Zean sudah jengkel kepadanya apalagi jika dia ikut berkomentar.
"Duitnya banyak, udah jangan ngurusin dia. Mending kalian semua pesan makanan, gue laper," seru Gavin.
The Gengnya dan kelas yang lain tampak acuh dengan keseruan Zean. Lebih banyak yang membenci dari pada yang menyukai. Terlebih, pujian itu palsu hanya karena ingin mendapatkan traktiran.
"Oke, pesanannya seperti biasa kan?" tanya Andra segera berdiri.
"Yup," ucap Gavin dan di ikuti anggukan oleh Rindu. Erika cukup tersenyum dan kekasihnya itu langsung menuju ke bu kantin, yaitu bu Siti.
"Bu, seperti biasa. Untuk empat orang, minumnya teh botol." Andrabdan Gengnya mulai mendapatkan tempat di hati wanita paru baya itu.
"Baik, Den. Oh iya, semua makanan udah dibayar oleh non Zean. Jadi kalian nggak usah bayar."
Andra menolak.
"Nggak usah, Bu. Kami bayar sendiri, ogah banget di bayarin sama dia!"
"Tapi, Den."
"Udah buat aja!"
Andra kembali ke meja dengan membawa teh botol untuk semua orang.
"Gimana? Udah jadi pesanannya?" Erika langsung menanyainya.
"Lagi di buatin."
Gavin membuka bungkus kerupuk dan meletakkannya di depan Rindu.
"Cobain nih, eh gimana tanggapan bonyok lo setelah menerima kiriman gua?"
Erika dan Andra menyimak pembicaraan mereka.
"Suka, mereka titip bilang makasih sama kamu, puas."
Gavin menaikkan kerah bajunya.
"Wish, keren kan gua. Bentar lagi pasti dapat nih, restu dari mamanya Rindu."
Andra dan Erika tertawa.
"Emang lo kirim apaan, Bro? Seperangkat alat sholat!"
"Jiah! Sialan lo, belum nyampe kesana. Masih tengah usaha."
Kehebohan geng Rindu mengusik Zean yang juga sedang hi fun bareng Gengnya.
"Gua pesenin sate seafood. Gila! Kalian mesti nyoba kesana. Fix tempat itu akan menjadi tempat favorit gua dengan Rindu untuk kencan."
Rindu terbelalak.
"Apaan sih, jangan di dengerin. Ngebual aja dari tadi."
Gavin menatapnya lekat.
"Lo nggak mau jadi cewek gua, kan udah gua lamar kemarin. Lo akan jadi pasangan masa depan gua, Ndu."
Rindu mengetuk kepala Gavin dengan kerupuk pisang yang belum di buka.
Krak, krak.
"Nah, tu hancur kan. Sama kayak omongan receh kamu kemarin."
Erika dan Andra tertawa.
"Ya, Ndu. Lu bisa nggak kalem dikit, masa langsung buka kartu gitu, lu sekali-kali berperan jadi cewe gua napa."
"Buat apaan?" Di balik sikap ketusnya, jantung Rindu seolah ingin melompat dari tempatnya.
"Buat nyenengin hati gua lah."
Zeana tersenyum mendengar semua pembicaraan mereka.
"Jadi mereka hanya pura-pura. Artinya, Gavin belum ada yang punya dong," batin Zean tersenyum.
"Idih," Rindu bangkit dari kursinya.
"Mau kemana?" tanya Gavin penasaran.
"Cuci tangan, kenapa mau ikut?"
"Hahah." Erika dan Andra tertawa terbahak-bahak.
"Kagak!"
"Ya udah," ucapnya pergi begitu saja.
Rindu berjalan menuju westafel. Di nyalakanya keran air dan mencuci tangan di sana. Rindu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Untung saja dia dapat menahan diri untuk tidak tersipu di depan semua temannya.
"Ehm," Zeana tiba-tiba datang membuat Rindu terkejut.
"Jadi, lo sama Gavin nggak ada hubungan apapun? Bukannya Devon bilang kalian pacaran?"
Rindu terperangah, dia terdiam sejenak lalu menarik tissue, Rindu bergegas untuk pergi namun di cegat oleh Zeana.
"Mau kemana lo? Nggak sopan banget, kalau di tanya tuh jawab! Jangan main pergi aja."
Rindu berusaha mencari jalan, dia tak mau salah bicara dan berakibat fatal.
Bug.
Kesal melihat targetnya berusaha lolos, Zeana pun mendorong Rindu hingga terjatuh di lantai.
"Auw!"
Beberapa murid menoleh, The Geng Zeana langsung mengambil alih dan melakukan pagar benteng untuk melindungi penglihatan semua orang.
"lo nggak tuli kan? Gue tanya harusnya lo jawab!"
Rindu memeriksa sikunya, masih dalam mode senyap. Zeana pun di buat geram.
"Lo berani ma gue? Jangan karena persoalan kemarin lo jadi nganggep gue lemah, ya."
Rindu bangkit, saling berhadapan dan maju ke depan.
"Kak, masalah kakak ini apa sih?" tanya Rindu pada akhirnya.
Zeana mengernyit melihat tingkahnya.
"Aku menghormatimu sebagai kakak senior, dan juga seorang teman.
"Teman? Lo ma gue temenan. Hah, bisa ngaca nggak lo!" sindir Zean.
Rindu menghela napas.
"Kalau tidak mau berteman, kenapa selalu ngikutin aku. Apa hanya karena Gavin? Dia dan tipe idealnya, apa itu yang nenyebabkan Kak Zeana selalu mengikuti kami."
Sikap tenang dalam berbahasa membuat Rindu tampak bijaksana.
"Mengikuti lo, emang lo siapa?" ucap Zean tak terima.
"Kalau gitu minggir dong, jangan halangi jalan aku."
"Lo!" Zeana naik pitam karenanya. Gadis itu siap menyerang Rindu namun akhirnya batal.
"Woi!" Gavin datang di saat yang tepat.
"Gavin."
Pemuda itu berjalan ke tengah-tengah.
"Nggak kapok kalian, udah mau lulus harusnya kasih kesan yang baik. Ini malah norak. Mau aduh jago lagi? Nggak nyesel udah viral."
Zean menggeleng.
"Gavin, ini tuh nggak seperti yang lo bayangin." Rindu terpaku melihat sikap Zeana yang berubah menjadi lembut.
"Emang gua peduli, jangan sok manis lu." Gavin menggapai tangan Rindu. Pemandangan itu membuat Zean berusaha meredam lara.
"Udah cuci tangannya?" tanya lelaki itu. Rindu mengangguk pelan.
"Ya udah, ayo. Tuh bakso udah dingin kayak hati gua yang lo tinggalin."
Rindu menatapnya datar. Dia tidak berani tersenyum melihat Zean yang kini sangat cemburu.
"Vin, denger dulu."
Alis Gavin bertaut.
"Minggir dong, nih kantin bukan milik pribadi kan?"
The Geng Zean pun bubar.
Gavin menatap mereka satu per satu.
"Cewek-cewek kok sikapnya kayak preman! Lulusnya mau jadi apa? Berandalan!" ungkapan pedas itu membuat Geng Zean merasa malu.
Gavin pun akhirnya berhasil membawa Rindu keluar bersamanya.
Gadis itu menatap genggaman tangan mereka sepanjang jalan, Rindu merasa lelaki itu selalu ada untuknya. Ada rasa nyaman yang semakin kuat.
"Kamu ngikutin aku, ya barusan?" tanya Rindu sebelum tiba di meja mereka.
"Lo ngomong apaan? Ngikutin. Ndu, itu bukan gaya gua."
"Emang gaya kamu kayak gimana?" pancingnya.
"Gaya aku? Ya, ngintilin kamu lah."
Rindu terkekeh.
"Sama aja bego."
"Dih, berani ngatain!"
Rindu tersenyum. Andra dan Erika melambai ke arah mereka.
"Kalian dari mana? Nih pesanan udah datang dari tadi," protes Andra.
Baik Rindu dan Gavin sama-sama duduk di kursi masing-masing.
"Biasa, cewek. Ngerumpi dulu," Gavin tidak ingin Erika dan Andra cemas.
"Benarkah? Lalu kenapa tu tangan lebam gitu?" Erika menunjuk lengan kanan Rindu. Gavin langsung memeriksanya dan tercengang.
"Kalian terlihat mencurigakan, lo di cegat lagi ya, Ndu?" cecar Erika menuntut jawaban.
Rindu langsung mengeleng lemah.
"Nggak kok, aku ke sandung tadi. Udah jangan di pikirkan, ayo makan. Mie ayamnya bikin ngiler banget."
Rindu melahap makanannya, berusaha bersikap tenang agar semua orang merasa rileks.
Erika dan Andra menatap Gavin, wajah pemuda itu tampak kesal dan berapi-api.
"Lu, kenapa? Semuanya oke kan?"
Rindu menatap Andra, lelaki itu menatap Gavin meminta jawaban.
Bug.
Rindu menendang pelan sepatu Gavin, untuk menyadarkannya.
"Vin, lo baik-baik aja?"
Gavin mengangguk mantap.
"Tentu sorry gua melamun."