Kedua orangtua Rindu terpaku melihat kedatangan putrinya di depan pintu. Gadis itu berangkat dengan pakaian yang rapi dan kembali dalam keadaan sangat berantakan. Yang paling membuat Asyla spot jantung. Baju yang di kenakan Rindu bukanlah bajunya sendiri.
"Rindu! Apa yang terjadi?" tanya sang mama histeris.
Rindu tampak kaku menatapnya heran.
"Apa, Ma?" ucapnya bingung.
"Ini baju siapa? Kamu kok kucel banget, habis ngapain?"
Rindu mengernyit.
"Mama kan tahu Rindu lagi ke pantai, kok masih nanya?"
Riki memindai penampilan putrinya.
"Kamu nggak ngapa-ngapain kan?"
"Papa bicara apa sih? Orang kami main air, tapi Rindu nggak bawah baju makanya di pinjami baju ganti. Ini juga bukan baju yang udah dia pakai. Tapi baju baru, nih lebelnya."
Rindu menyerahkan merk dari kaos yang dia pakai.
"Oh," papanya tampak lega.
"Papa kira apaan."
"Ish," ucapnya kesal. "Oh iya, Gavin nggan singgah soalnya naik taxi, buru-buru. Ini ada kiriman, semoga mama dan papa suka."
"Kiriman," Mama Rindu mendekat.
Gadis itu mengeluarkan kantong kresek yang lumayan besar.
"Ini, asli enak. Mungkin harus di panasin lagi kali ya,"
Sang mama menggapainya lalu membuka isi kantongan itu, seketika wajahnya berbinar. Sudah lama mereka tidak keluar mencari jajanan seperti itu.
"Duh, Gavin tahu aja mama suka makanan seperti ini. Mana belinya banyak lagi. Fix, calon mantu idaman."
Rindu tertawa renyah mendengarnya.
"Mama lebay banget, baru di beliin gituan udah meleleh. Lagian Gavin itu sahabatnya Rindu, bukan pacar." Rindu menengaskan agar sang mama tidak berharap banyak.
"Biarin, papa kamu aja nih, kalau mama mintai tolong beliin sate kayak gini. Muter-muter Jakarta udah nggak usah di harap. Nggak tahu nyarinya kemana."
"Mama," tegur sang suami. Papa Riki belum pernah bertemu dengan Gavin, namun melihat apa yang dilakukan pemuda itu pada keluarganya. Yang ada, dia merasa cemburu. Anak dan istrinya begitu menyukainya.
"Tunggu ya, mama panasin dulu. Terus kita makan malam bersama. Rindu sebaiknya mandi dulu."
"Baik, Ma."
Papa Rindu ikut masuk ke dapur, melihat empat porsi sate baby gurita keluar dari kertas nasi membuat selera makannya bangkit.
"Duh, kelamaan deh Ma kalau mau di panasin dulu."
"Nggak apa-apa, supaya ngerasain makan langsung di kedainya. Wah, Rindu pasti kenyang banget di sana. Ini tuh kesukaan mama."
Beberapa tusuk sate cumi dan udang juga keluar dari bungkusnya. Papa Rindu menyiapkan saos dan nasi putih. Dia sudah tak sabar dan segera ingin membawa makanan itu pergi.
Wangi khas semerbak memenuhi ruangan.
Papa Rindu mengambil satu tusuk untuk di coba.
"Ma, papa duluan."
"Papa curang!"
Riki pun segera kabur dan duduk di meja makan. Rindu turun dari lantai dua setelah membersihkan diri.
"Gimana, Pa?" tanyanya.
"Enak, bumbunya beda banget. Beli dimana?"
Rindu tersenyum.
"Di sekitar pantai, Pa. Mesti masuk dulu ambil karcis baru bisa beli makanan ini."
"Wah, pantas papa nggak pernah ketemu."
Asyla datang menyajikan makanan.
"Rindu udah begah Ma, nggak mau makan lagi."
"Benarkah? Ya udah, makanannya untuk mama aja."
Rindu senang kedua orangtuanya menyukai makanan itu. Padahal dia udah protes pada Gavin untuk tidak membeli banyak.
Semalaman itu mereka bercengkrama, saling mengobrol dan melihat hasil jepretan Rindu yang ada di kamera. Rindu terlihat begitu bahagia melihat tawa yang tercetak di dalam foto.
"Seru sekali, lain kali kita sekeluarga yang harusnya jalan-jalan."
Rindu sangat setuju mendengar ucapan sang mama.
"Kalian ini, kalian tahu kan papa nggak gampang dapat liburnya."
"Kita pergi saat libur panjang, Pa. Tunggu cuti bersama."
Mereka pun tertawa bersama.
**
Gavin tiba di rumah, langkahnya begitu lelah memasuki halaman. Mobil Devon tidak ada di bagasi membuatnya menghebuskan napas kasar.
"Dia pasti masih di rumah Zean, udah jelas dia nggak mungkin berubah masih aja di kasih kesempatan."
Gavin tiba di dalam, lalu duduk dengan malas di depan televisi.
"Den Gavin udah pulang? Mau di buatin apa, den?" tawar si bibi.
Pemuda itu menggeleng lemah.
"Nggak usah, aku kenyang dan nggak haus, Bi."
"Baik, Den. Gimana liburannya, seru?"
Gavin tersenyum mendengar itu.
"Seru, Bi Yang nggga seru itu pacarnya Bang Devon "
Wanita paruh baya itu selalu setia mendengar curhatannya.
"Biarin aja, Den. Toh, besok sore Abang juga akan berangkat."
Gavin sangat sedih mendengarnya, dia memutuskan untuk naik ke lantai dua.
"Bi, aku istrahat, ya."
"Iya, Den."
Gavin tak bersemangat membahas kepergian Abangnya. Tiba di kamar dia langsung mebuang diri di atas ranjang, istrahat sejenak dan malah membuatnya tertidur sampai pagi.
Pukul 06:30 pagi Alarm yang di pasang untuk ke sekolah berbunyi, mata Gavin seolah sulit untuk terbuka. Namun suara brisik menganggu telinganya.
"Duh ganggu aja. Orang baru tidur juga."
Gavin membuka mata dan melihat jam. Matanya melotot seketika dan dia segera bangun.
"Ah, telat!"
Dia segera bergegas untuk bersiap. Gavin menuju ke kamar mandi, menyelesaikan ritual dengan cepat lalu keluar mencari seragam sekolah.
Melihat skejul, lalu memasukkan buku-buku yang akan di gunakan."
"Kok bisa ketiduran!" umpatnya tak percaya.
Gavin segera keluar dan menuruni tangga dengan cepat. Tidak lupa untuk meraih kunci mobil di atas meja.
"Den, nggak sarapan?" tanya si bibi.
"Nggak, Bi. Udah telat."
Tiba di parkiran, Gavin melihat mobil Devon di samping mobilnya. Hal itu membuatnya mendongak melihat ke arah jendela sang Abang.
"Semalam dia pulang tapi tidak menemuiku, dasar payah!"
Gavin masuk ke mobil dan menyalakan mesin, dengan perasaan kecewa dia menuju ke sekolah.
Rindu baru tiba dan berpapasan dengan Zeana di gerbang sekolah. Tatapan kakak seniornya itu seolah akan menerkamnya, namun Rindu tetap bersikap tenang.
"Selamat pagi, Kak."
Zeana berdecak. Dia tak suka sikap palsu yang di tunjukkan oleh gadis itu.
"Lo niat banget berbaikan dengan gue, ha? Nggak tahu malu!"
Rindu terperangah. Kaget melihat sikapnya yang berubah.
"Liburan kemarin seneng banget ya, kayak berasa putri. Norak!"
"Ehmm!" Erika dan Andra tiba lalu merangkul Rindu di depan Zeana.
"Ada apa nih? Pagi-pagi udah ngumpul. Sepertinya seru," ucap Andra.
Zeana yang melihat mereka enggan mencari masalah.
"Kampungan!" umpatnya dan berlalu begitu saja.
Erika dan Andra menatap bingung.
"Kenapa tuh nenek lo, Ndu? Pagi-pagi udah nyari ribut."
Rindu tertawa.
"Nggak tahu, mungkin lagi nggak mood."
"Yee, bad mood jangan ngatain orang dong, nggak asyik banget. Bad mood tuh nyari suasana bagus, kalau perlu ciptakan. Jangan merusak mood yang lain."
Rindu tersenyum mendengar ucapan mereka.
"Thank you ya, udah bantuin aku."
Erika menggandengnya dan bergegas pergi.
"Oke nggak masalah."
Mobil Gavin pun tiba, suara klakson menghujam mereka yang berdiri tepat di depan gerbang.
Pip piiip.
"Woi! Santai dong, Bro!"
Rindu dan Erika segera menyingkir, sedang Andra mengejar mobil Gavin hingga ke parkiran. Lelaki itu keluar dengan wajah di tekuk.
"Kenape lu? Mimpi buruk ya?" tebak Andra.
"Iya, puas lu!"
"Haha haha!" tawa Andra membahana.
"Sialan,"
Erika dan Rindu hanya tertawa dari jauh.
"Muka lo kok agak hiteman, Ndu? Lo dari mana emang?" Erika penasaran melihat kulit Rindu ya tersengat matahari.
"Dari pantai, bareng Gavin, kak Devon dan Zeana."
Erika melongo sekaligus tersenyum.
"Ah, sepertinya kemarin lo dan Gavin begitu bahagia hingga si nenek sihir tampak jealous."
Rindu mengangguk mantap.
"Yup, benar."
"Haha hahaha!" Zeana mendengar semua pembicaraan mereka. Di tertawakan seperti ini merupakan sebuah penghinaan baginya.