Selesai makan siang, Gavin dan Rindu cabut duluan. Rutinitas yang selalu di lakukan adalah mampir di taman sebelum menuju ke kelas.
Angin berhembus tenang. Lokasi paling favorit mereka adalah duduk di bawah pohon sambil menunggu bel berbunyi.
"Ndu, gua mau bicara."
Rindu menoleh menatap Gavin yang tampak serius.
"Bicara aja, tumben pakai izin dulu."
Gavin mendekat melihat siku Rindu yang terluka. Dia mengeluarkan plaster dan menempelkannya dengan hati-hati.
"Kenapa nggak bilang tadi? Kan gua bisa ngasih dia pelajaran."
"Emang kamu guru?"
Gavin menatap Rindu lekat.
"Vin, biarin aja. Toh masa akhir sekolah kak Zean bentar lagi. Jangan rusak kenangan SMAnya dengan melawan dia seperti tadi."
"Loh kok lo, ngebelah dia sih?" Gavin menatapnya jengkel.
"Bukan gitu, Vin."
"Lo sama bang Devon sama aja. Di butakan sama Zean."
"Vin, nggak gitu."
Gavin bangkit, lalu pergi dengan kecewa. Rindu menghela napas, berdiam diri sejenak untuk menenangkan hati.
"Gavin tidak tahu, melawan kak Zeana dengan kekerasan hanya akan membuat kak Zean semakin membenciku. Tidak akan ada yang berubah kecuali kebencian Zean yang akan semakin mendalam."
Rindu terpejam sesaat.
Dia mengeluarkan buku dan menuliskan sebait kata di sana.
[Kau mungkin mengira aku salah, menganggap pemahamanku tidak benar. Namun kau harus tahu. Terkadang yang aku rasakan tidak bisa ku ungkapkan.]
Rindu menikmati hembusan angin yang membuat dedaunan gugur dari pohonnya.
Dua tahun lagi, waktu yang harus di jalani. Rindu berharap dia tidak benar-benar jatuh hati padanya. Akan sakit pada akhirnya jika mereka harus berpisah.
**
Ting ting ting.
Lonceng sekolah berbunyi, Rindu kembali ke kelas bersama murid yang lain. Gavin tampak cuek dan duduk di bangkunya.
"Ehm, masih ngambek nih?" tanya Rindu dan duduk di samping pemuda itu.
Gavin mengabaikannya, dia tak suka melihat Rindu terlalu baik dengan orang yang selalu menjahatinya.
"Nih, buat kamu."
Gavin melirik ke arah permen yang di sodorkan Rindu.
"Emang gua anak kecil apa di kasih permen kayak gitu."
Rindu mengetuk meja, mencuri fokus Gavin yang masih belum luluh. Ada kata maaf tertulis di atas permennya membuat Gavin seketika tersenyum merekah melihat apa yang dilakukan sahabatnya itu.
"Jangan cemberut terus, entar gantengnya hilang loh."
Gavin tersipu, hal sepele yang di lakukan Rindu membuat moodnya kembali.
"Wih, di belakang bagi-bagi permen, nih!" Andra merebutnya begitu saja membuat Gavin melotot di tempatnya.
"Balikin nggak woi!" Semua orang spontan menatap ke arah mereka.
"Balikin nggak atau gua santet lu!"
Andra dan Erika tercengang.
"Gavin," ucap Rindu tertawa terbahak-bahak.
"Balikin, gua serius ini. Awas aja kalau lu sampai robek, gua hajar lo sampai bonyok."
"Dih, sadis banget lo. Ketimbang permen satu bungkus doang marah-marahnya keterlaluan."
Andra dan Erika penasaran dengan permen itu, mereka akan melihatnya mencari tahu ada apa di sana tapi Gavin melompat lebih dulu dan merebutnya kembali. Lelaki itu tersenyum happy saat berhasil mendapatkan yang di inginkan.
"Thank you, ya. Sorry omongan gua jangan di masukin ke hati."
Andra melotot mendengar permintaan maaf yang terdengar sepele.
"Gila lu ya! Gimana gua nggak mikirin, lu mau nyantet tau nggak!"
Rindu tertawa, dia bangkit dan memberi permen pada Erika dan Andra, disana bertuliskan ucapan yang sama.
"Temen-temen ini masih banyak."
Andra melihat permennya.
"Iya gua maafin, Ndu. Untung cewe lo peka, Vin,"
Andra segera duduk di bangkunya. Erika memberikan tos membuat Gavin melongo. Benar saja saat dia memungut sampah permen milik Andra, disana tertulis kata yang serupa.
"Rindu! Kok permennya banyak banget."
"Buat jaga-jaga kalau kamu masih bete, nih." Rindu mengeluarkan beberapa permen lagi membuat Gavin tersenyum konyol membaca tulisan-tulisan di permen itu.
"Maaf"
"Maafin gue"
"Maaf banget!"
"Maaf, ya."
"Dasar!" ucap pemuda itu gemas.
"Udah dong ngambeknya, hehe."
Gavin mengacak-acak rambut Rindu.
"Ah, Gavin. Rambut aku jadi berantakan!" ucap Rindu mendorongnya untuk diam.
"Sore nanti aku jemput, ya?"
"Mau kemana?"
"Ke bandara nganter bang Devon."
Rindu tampak berpikir. Dia merapikan rambutnya dengan lembut.
"Takutnya kalau kamu nggak ada dan Zeana juga di sana. Gua di suruh anterin dia pulang lagi."
"Ya masalahnya dimana?" tanya Rindu polos.
"Gua nggak mau deket-deket dia, Ndu. Pokoknya lu harus ikut agar gua ada alasan. Bang Devon pahamnya lu cewe gua."
Rindu tertegun.
"Mau ya, bentar gua mampir deh ke rumah lu buat izin sama tante."
"Nggak perlu, Vin. Entar biar aku yang nunggu di taman."
"Yess!" Gavin bersorak.
Erika dan Andra menoleh ke arah mereka.
"Duh, seneng banget kayanya. Mau kencan lagi ya? Kok nggak ngajak-ngajak!"
"Eh, nggak gitu," seru Rindu.
Percakapan mereka terhenti saat Bu Hafza memasuki kelas. Gavin kembali duduk dan mengambil semua permen yang ada di atas meja.
"Anak-anak, silahkan buku pelajarannya di keluarkan."
"Baik, Bu."
Rindu sedikit melamun, entah bagaimana caranya meminta izin ke mamanya.
**
Waktu berlalu dengan cepat, saatnya pulang sekolah dan semua murid berhamburan meninggalkan kelas.
Rindu masih stay di sana bersama Gavin di sampingnya.
"Ayo pulang," ajak Gavin.
Gadis itu mengangguk, dan berjalan keluar. Mobil jemputan sudah menunggunya di depan sekolah.
"Rindu, ingat ya pesan gua. Jangan sampai nggak datang."
"Iya, Gavin."
Zeana menatap mereka yang terpisah. Gadis itu segera ke mobil dan mengawasi mereka.
"Makin yakin aja jika mereka tak memiliki hubungan yang spesial. Pulang aja nggak bareng," ucapnya menafsirkan.
Di tempat lain.
Devon sudah packing dan menyiapkan barang-barangnya di lantai bawah. Para asisten rumah tangga menatapnya tampa bisa membantu.
Ya, lelaki itu menolak bantuan dan memilih mengerjakan semuanya sendiri.
"Bibi baik-baik ya, di rumah. Jaga Gavin tolong lebih ketat lagi.
Wanita pengasuhnya itu menangis.
"Kenapa harus pergi secepat ini sih, Den. Kenapa nggak nungguin den Gavin selesai sekolah dulu."
"Aku nggak mau merusak masa SMA nya, Bi. Biarkan saja dia menikmati waktu bersama orang-orang yang ada di sekelilingnya. Jika aku di sini terus, Zeana mungkin akan terus menganggunya."
Si Bibi terkesiap. Tak di sangka alasan Devin meningkatkan Gavin begitu dewasa.
"Dia mungkin akan bersenang-senang, jika dia mengundang teman untuk menginap bibi kondisikan saja. Jika teman-temannya kurang ajar, suruh pulang . Langsung usir atau telepon kami. Tapi kalau temennya sopan, dia juga bersikap baik. Biarkan saja. Walau aku di Singapore aku akan tetap mengontrolnya."
Si Bibi menangis, Devon memeluknya membuat wanita paruh baya itu semakin terharu.
"Bibi udah siapin makan siang kan? Bentar lagi Gavin pulang sekolah loh."
"Udah, Den. Bibi sedih harus pisah sama Den Devon."
Devon tersenyum. Dia memang tak pernah meninggalkan si bibi dalam waktu yang sangat lama.
"Mama sama papa bangga banget sama bibi. Bibi harus kuat dong agar Gavin juga nggak cengeng."
Pembicaraan mereka terjeda saat suara mobil memasuki rumah.
"Nah orangnya pulang, memang panjang umur si dia."
Bibi tertawa mendengarnya.
Klik, pintu terbuka. Suara langkah sepatu terdengar mendekat.
"Aku pulang," ucapnya.
Gavin melihat koper-koper berjejer rapi di samping pintu.
"Masih ada banyak waktu. Ayo makan siang dulu," ucap Devon menahan sesak di dadanya.
"Abang berangkat jam berapa?"
"Jam dua siang."
Gavin murung, dia langsung lemas seketika.
"Sana ganti baju dan turun makan siang."