Devon bersama si bibi menyediakan makanan di atas meja. Gavin pun turun setelah mengganti pakaiannya.
"Yuk makan, lihat bibi masak apa untuk kita," Devon berusaha menghiburnya.
Gavin duduk dengan lemas di kursinya. Semua makanan di atas meja adalah kesukaannya bersama sang kakak. Namun, napsu makan itu entah menguar kemana saja.
"Nih, abang pilihin, kamu pasti suka."
Gerald makan seadanya, dia berubah menjadi pendiam dan tidak tahu harus bicara apa.
Sesak menyelimuti hatinya, bagaimana tidak. Dia akan benar-benar berpisah dengan sosok yang di kaguminya itu.
"Vin, selama abang pergi. Baik-baik ya, nurut sama bibi."
Sendok Gavin terjatuh ke piring. Bersamaan dengan air matanya yang luruh tanpa bisa dia tahan.
Dia bukan pemuda yang cengeng. Tapi, untuk kali ini dia tak kuasa untuk menangis.
"Gavin," ucap Devon bangkit dari kursinya.
Dia mendekati adiknya perlahan, mengusap pundaknya dan memastikan Gavin untuk tenang.
"Bang jangan pergi, gua janji akan nurut sama lo."
Devon tersenyum mendengar itu.
"Abang pergi bukan karena kau tidak menurut, Vin. Abang ingin mengejar cita-cita. Mama sama papa juga udah dukung keputusan ini."
"Apa?"
Gavin menatapnya lekat.
"Iya, ada salah satu universitas di sana yang mencuri perhatian abang. Abang ingin mengejar gelar master di tempat itu. Sekalian ngelatih kamu mandiri. Setiap hari libur nanti kita saling berkunjung, lagi pula masa SMA ini akan memberikan banyak kenangan, percayalah. Abang nggak mau mengacaukan masa-masa indahmu."
Bibi tersenyum melihat ke akraban mereka.
"Soal Zean, dia akan segera lulus. Jangan khawatir. Aku lihat Rindu bisa mengatasinya."
Gavin menyeka airmatanya.
"Abang terlalu menganggapnya kuat. Hari ini andai gua nggak datang tepat waktu. Entah apa yang akan dilakukan Zean kepadanya."
Devon tertegun.
"Apa Zean masih menganggu kalian?"
Gavin mengangguk pelan.
"Siku Rindu sampai lecet, tapi dengan cepat dia mengelak. Dia dan Abang sendiri memiliki satu pemikiran. Kalian terlalu memaklumi Zean."
Devon menghela napas, tangan kirinya mengetuk meja makan dengan gelisah.
"Abang akan berusaha mengontrolnya buat kamu. Tenang saja, Vin."
"Mengontrol," Gavin berdecak.
"Abang di sini saja masih selalu di tipu bagaimana jika abang udah jauh."
"Vin,"
Gavin meninggalkan meja makan, dia tidak berselera sama sekali.
Samar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Devon dan Gavin saling melirik.
"Tuh, pacar lo dateng, dah panjang umur."
Gavin melangkah keluar dan meninggalkan rumah.
"Gavin, kau mau kemana? Sebentar lagi kita akan ke bandara."
Gavin terus berjalan, tidak menengok walau sekali.
"Gavin!"
Ceklek.
Pintu terbuka, Zean tersentak kala pintu terbuka saat dia akan mengetuknya.
"Loh, Vin. Mau kemana?" tanya Zean penasaran.
"Bukan urusan lo, ngerti!"
Zeana di buat terperangah akan sikapnya.
"Gavin," panggil Devon sembari mengejar keluar.
Sayangnya adiknya itu telah melaju meninggalkan halaman.
"Ada apa sih?" tanya Zean lagi.
Devon meliriknya tidak bersemangat.
"Tidak ada apa-apa."
"Muka kamu kok jutek?"
Devon segera masuk dan membuang dirinya di atas sofa.
Dia mencoba menelpon beberapa kali namun adiknya itu tidak memperdulikan.
"Ah, mana waktu tinggal sejam lagi. Duh, Gavin kamu kemana sih?"
Zeana mengambil tempat di sisinya.
"Paling dia menemui si Rindu. Emang mau kemana lagi. Pergaulan Gavin tu terbatas, hanya berputar pada gengnya saja yang berisi empat orang."
Devon terhenyak.
"Sepertinya kau tahu banyak," ucap lelaki itu memancingnya.
"Iya dong tahu, tapi di antara mereka ngga ada satupun yang jadi temanku."
"Kenapa? Apa karena mereka cupu?"
"Bukan, mereka nyebelin. Kamu udah mau pergi kenapa malah ngurusin temennya Gavin. Aku malah di cuekin." Zeana bergelayut manja.
Devon merasa sangat risih. Perlahan dia menyingkirkan tangan Zean dari lengannya.
"Harusnya aku yang mengatakan hal demikian."
"Apa maksudmu?"
Zean tampak bingung.
"Di sekolah kamu ngapain Rindu? Aku udah denger semuanya dari Gavin. Itu alasannya pergi begitu saja."
Zeana menatapnya diam. Sesaat dia pun tersadar.
"Devon, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Jadi tadi tuh di sekolah, aku dan temen-temen, "
"Diam! Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Sepertinya kau tidak mengerti dengan kesempatan kedua."
Zeana menggeleng kuat.
"Devon, aku nggak melakukan yang tidak-tidak. Percayalah! Jangan salah paham."
"Benarkah! Aku dengar kau melukainya."
"Melukai? Gavin bilang gitu. Yang benar saja. Yang ada tuh, Rindu jatuh dan sikunya terluka. Aku nggak ngapain dia. Telepon aja kalau nggak percaya."
Devon bingung mau percaya pada siapa.
Zeana mendelik dengan wajahnya berubah bete.
Tring.
Suara notif pesan, masuk di ponselnya.
[Bang.
Aku jemput Rindu sekarang. Sampai jumpa di bandara.]
Devon merasa lega melihat pesan Gavin.
Lelaki itu segera ke kamar merapikan barang-barangnya.
"Kak Devon, dengar aku nggak sih?" Zeana mengikutinya ke lantai dua. Bibi yang melihat mereka hanya bisa menghela napas. Tidak ada yang benar-benar menyukai Zean di sana kecuali Devon.
"Aku buru-buru, takut terlambat sampai bandara."
Zean menatapnya kesal.
"Kamu nyuekin aku ya? Kamu nggak percaya sama aku kan, kamu percayanya sama omongan Gavin."
"Zean sekarang bukan waktunya berdebat."
"Ya tapi, kamu mengabaikan aku,"
Devon terus berlalu lalang, hingga Zean menarik jaketnya mendekat.
Posisi mereka tidak berjarak. Devon mengerutkan kening tidak mengerti kenapa Zean melakukannya.
"Kamu ngapain?" tanya Devon kesal.
"Selama kita pacaran, kamu nggak pernah kising aku, bahkan sekarang kamu mau pergi, kepercayaan kamu hilang dari aku."
"Apasih, Z. Aku buru-buru!"
Zeana tidak melepasnya, dia ingin mengambil hati lelaki itu kembali.
"Ini kising pertama aku kak."
Shet.
Cup.
Devon terkejut. Zeana menciumnya tepat di bibir. Keduanya tampak kaku karena tidak pernah melakukannya sebelumnya.
Tangan Zean gemetar, perlahan dia melepaskan genggamannya. Bersiap untuk mundur namun Devon menahannya.
Kising mereka hanyut dalam suasana, Devon tersenyum mengecap bibir manis gadis itu. Zean sampai terpejam, menikmati perlakuan lembut dari Devon.
Napas mereka memburu, Devon sampai lupa dengan keterlambatannya.
"Den, jangan sampai terjebak macet!"seru bibi dari lantai bawah
Pangutannya terlepas, Zean langsung tertunduk karena malu.
"Ah, aku ke kamar mandi dulu," ucap gadis itu.
jantungnya berdebar kuat, tak percaya melakukan hal itu sekarang.
"Z," ucap Devon menariknya kepelukan.
Zeana mendongak menatap wajah tampan itu.
"Aku ingin kau setia hanya kepadaku. Jangan melirik siapapun walau dia adalah Gavin."
Zeana mengerjap beberapa kali.
"Kau dengar, kau milikku," ucapnya mengecup bibir kekasihnya.
Zeana mengangguk patuh.
"Aku akan segera menyusulmu. Setelah lulus sekolah. Janji."
Devon merasa lega, mereka berpelukan erat seolah tidak ingin terpisah.
"Kenapa tidak meciumku dari jauh-jauh hari," goda lelaki itu.
Zeana memukul lengannya.
"Kamu, ya! Ih, jangan di bahas."
"Sayang sekali aku tidak bisa menikmatinya lagi."
"Devon, Ih nyebelin banget."