Waktu berlalu dan maha karya mereka akhirnya selesai, waktu menunjukkan pukul empat sore. Rindu dan Erika menjadi lebih dekat seiringnya waktu. Rindu malu karena salah paham pada gadis itu.
"Ye, akhirnya selesai juga. Di warnain nggak?" tanya Erika.
Rindu menatapnya takjub.
"Kayaknya seru, lo mau pakai warna apa?"
Rindu berpikir sebentar, kedua gadis itu saling bercengkrama.
"Eh, kalian nggak nanya kita?" tanya Gavin.
"Ngapain," ucap Rindu.
"Eh, kan ini kerja kelompok. Jangan egois dong."
Rindu mendelik.
"Tadi aja, nggak mau ngasih saran. Giliran ngasih warna jadi mau ikutan."
Andra tertawa.
"Masih mau lo, Vin! Haha haha!"
"Diem lo, Ndra." Gavin menatap bete.
"Kasih warna biru aja, Ndu. Cocok, tuh," usul kekasih Erika.
"Enggak! Enggak! Apaan biru, kasih warna sesuai aslinya. Warna pernis kayu gitu."
Erika mengangguk setuju.
"Bener tuh, untuk nadanya kasih warna pink." Rindu mengangguk membuat Erika bahagia dan spontan memeluknya.
"Yeeh."
Gavin dan Andra jengah, mereka merasa tidak berguna di hadapan kedua gadis itu.
"Yuk, cabut. Biarkan aja mereka asyik bermain." Andra segera berdiri. Bersiap membersihkan tangan.
Erika menatap kekasihnya.
"Jangan jauh-jauh, kita nggak lama kok, warnainya."
"Sip, kita hanya cuci tangan dan duduk di sana," tunjuk Andra pada sebuah bangku.
"Oke."
Asyik memainkan warna, Rindu tampak berhati-hati mengukir nama mereka.
"Nama lo dan Gavin deketin aja, kasih love di tengahnya."
"Hah," Rindu terperangah mendengar usul Erika.
"Sini gue conto hin. Nama gue dan nama Andra."
Rindu memperhatikan gadis itu, dia berpikir sejenak. Alangkah bahagianya menjadi Erika. Bisa mengepresikan perasaannya secara bebas.
"Sekarang giliran lo, sana tulis nama kalian."
Rindu menggeleng.
"Aku dan Gavin hanya sebatas sahabat."
"Lo, emangnya kalau sahabat kenapa? Bersahabat juga bisa saling mengasihi bukan, sahabat nggak ngelarang lo mengepresikan diri. Menulis love nggak selamanya karena cinta, tapi juga karena sayang." Rindu terhenyak.
Gavin selalu perhatian, tapi dia merasa malu.
"Sini deh, gua yang tulis kalau lo nggak mau."
"Eh, jangan. Biar aku saja."
Rindu menuliskan namanya dengan Gavin tapi tidak menuliskan hati di sana.
"Gini aja, sederhana."
Erika tersenyum dan selesai dengan tugas kelompoknya.
"Waktunya cuci tangan, sambil nungu ini kering."
Rindu mengangguk. Dia tak percaya dengan bergabungnya Andra dia bisa memiliki teman seperti Erika.
"Eh, lo duluan aja. Gue ambil sabun dulu di mobil. Sengaja tadi gue siapin sebelum berangkat."
"Oke, aku tunggu di sana, ya," ucap Rindu.
Erika pun tersenyum.
**
Gavin dan Andra tengah berbincang tak jauh dari keran air. Mereka tak menyadari kedatangan Rindu ke tempat itu.
"Bro, sepertinya kakak-kakak senior itu nggak suka deh sama Rindu. Lo nggak lihat aja gimana dia tertekan meninggalkan area kantin."
Gavin bersender, tampak tenang dan menjawab.
"Biarkan saja, toh dia nggak mau bicara. Dia membiarkan dirinya dalam masalah. Mengizinkan orang lain mengendalikan kehidupannya."
Rindu mendengar itu, hatinya tersentil. Gavin seolah tidak peduli mengetahui musibah yang telah menimpanya.
"Kok lo gitu sih, dia kan sahabat lo," seru Andra.
"Iya, dia sahabat gua. Tapi, keputusan untuk menjadi lebih berani ada di tangan dia. Rindu itu bukannya lemah. Dia hanya takut menolak setiap bullying yang mengarah padanya. Andai saja dia mau bersikap tegas. Tentu gua nggak akan tinggal diam."
"Hey, sorry lama, ini sabunnya," seru Erika.
Andra dan Gavin kompak menoleh. Mereka terkejut melihat Rindu berdiri di sana.
"Ah, jadi menyusahkanmu saja."
Rindu tertunduk menyembunyikan wajah yang kecewa.
"Eh, apa dia mendengar obrolan kita?" ucap Andra tak enak hati.
Melihat raut wajah Rindu, Gavin menyadari jika sahabatnya itu telah menguping.
"Terimakasih, Erika. Oh iya, karena kerajinannya sudah selesai, aku langsung pulang aja ya,"
Erika menatap bingung.
"Kok buru-buru, kita kan belum jalan-jalan. Rencananya kita mau nonton dulu atau kemana kek."
Rindu menggeleng lemah, hatinya terlanjur sakit. Dia tak mau orang lain melihat kelemahannya.
"Mama tadi mintanya aku segera pulang, jangan lupa besok bawa kerajinannya, ya. Hati-hati ngebawanya jangan sampai retak."
Rindu pun bergegas kembali ke tempat tadi lalu mengambil tasnya.
"Eh, kok."
Gavin dan Andra saling menatap.
"Sana lu, kejar!"
Gavin merasa ragu.
"Eh dia malah diam. Sana!"
Gavin pun bergegas.
Rindu langsung cabut tidak memperhatikan kerajinannya. Gadis itu langsung keluar ke jalan dan pergi dari sana.
Gavin yang menyusul, melihat kerajinan itu saat mengambil ranselnya.
Ada tanda hati di sana membuatnya terkesiap.
Lelaki itu mengeluarkan ponsel dan mengabadikan tulisan tadi. Seutas senyum tercipta di wajahnya.
"Rindu, tunggu aku!"
Gavin mengejar, dia menggapai sepedanya dan menuju ke jalanan rumah Rindu.
"Rindu!" panggilnya setelah melihat gadis itu berjalan sendirian.
Sepedanya di tepikan begitu saja, Rindu terpaku melihat kedatangan Gavin. Lelaki itu mendekat memegang tangannya erat.
"Ada apa? Kenapa kau menyusul?"
Gavin memeluknya erat.
Reaksi Rindu benar-benar terkejut.
"Eh, Vin. Kamu kenapa, nggak enak di lihatin sama orang-orang."
Gavin tak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Terimakasih sudah nulis nama gua pakai emot hati."
Rindu terperangah. Lelaki itu melerai pelukannya.
"Loh, itu kan Erika yang ngegambar di tengah nama dia dan Andra. Apa dia melakukan hal yang sama dengan nama kita?"
Ekspresi Gavin yang bahagia berubah datar.
"Apa? Maksud lo gimana?"
Rindu pun menceritakan kejadian tadi. Gavin meringis, sudah terlanjur percaya diri.
"Jadi bukan lo yang melakukan itu?"
Rindu mengangguk. Pegangan Gavin terurai, keduanya menjadi canggung satu sama lain.
"Memangnya, kamu tadi mikir apa, Vin? Kamu mau aku nulis nama kita dengan emot love juga?"
Gavin sangat malu, dia menghela napas dan berbalik.
"Sudah lupakan saja."
Lelaki itu beranjak pergi dan mengambil sepedanya. Rindu memikirkan ucapan Erika, bersahabat bukan berarti tidak bisa menyuarakan perasaan.
"Vin, antar aku pulang?" pintanya.
Lelaki itu mematung.
"Mobil lo di sana? Naik sepeda hanya akan membuat kulit lo gosong."
Rindu tidak peduli.
"Apa aku melakukan kesalahan? Kau sepertinya sedang marah."
Gavin menggeleng, dia naik ke sepedanya dan Rindu ikut duduk di atas boncengan.
"Lo ngapain?"
Rindu tersenyum.
"Aku tahu, aku salah. Kemarin membuat kesalahan dengan tidak bicara padamu sama sekali, sebenarnya kemarin di kantin."
"Lupakan saja, lo lebih milih mereka di banding gua. Itu pilihan."
Rindu berpegangan erat. Dia memeluk pinggang lelaki itu.
"Tidak, aku hanya belum mengerti. Kau tidak cukup terbuka hingga aku bisa memahami."
Deg.
Pandangan keduanya saling bertaut.
"Tadinya aku mikir, Zeana cantik. Pintar, anak orang kaya, dia suka sama kamu. Aku mengira kau juga menyukainya."
"Heh, omong kosong macam apa itu?"
"Aku telah bodoh, bersahabat dengamu harusnya banyak tahu. Bukan meninggalkanmu seperti tadi. Kata Erika, bersahabat bukan berarti menyembunyikan perasaan."
Gavin tertegun cukup lama. Pegangannya semakin erat di gagang sepeda.
"Ke depannya selama kau mendukungku, aku akan bertahan. Bagaimana, kau puas?"
Lelaki itu berdecak.
"Pegangan yang erat, gua akan antar lo pulang."
Senyum terbit di wajah keduanya.
Gavin mulai risih dengan Zean. Gadis itu sangat mengganggunya.
"Lo mau denger satu fakta, Ndu?" tanya Gavin.
"Hem, apa?"
"Zeana itu, pacarnya Bang Devon."
"Devon?"
"Iya, dia abang gua. Gua hanya dua bersaudara."
Rindu mengangguk mengerti.
"Devon nggak tahu jika Zean ngejar-ngejar gua, jangan di ladenin lagi, ya. Dia itu bermuka dua."
Rindu mengangguk.
"Aku mengerti, Vin."
"Sepertinya Erika teman yang cocok, lo boleh bersahabat dengan dia."
"Benarkah?"
"Iya, ada baiknya kan. Lo bisa makin peka, setidaknya lo punya temen berbagi cerita karena nggak semuanya masalah lo mau bagi ke gua."
Nada kesal masih terdengar di sana.
"Sorry, Vin. Janji nggak akan ke ulang lagi."
"Ha, janji aja trus."
Rindu yang gemas, mencubit perutnya.
"Auw, sakit."
"Mengadu aja terus," Gavin menoleh, dia melihat Rindu tersenyum puas.