Hari berlanjut, kini saatnya menyetor hasil maha karya. Gavin memutuskan mengendarai sepeda, bodoh amat dengan tatapan Devon yang mengikuti langkahnya.
Semalam mereka bertengkar hebat, Gavin mengadukan tingkah Zeana yang sudah sangat keterlaluan.
"Bang, aku mau bicara." Pulang dari taman, Gavin langsung menghadap.
"Soal apa?" Devon sibuk dengan laptopnya. Tugas kuliah semakin menumpuk membuatnya harus bergadang untuk menyelesaikannya.
"Abang yakin Zean setia sama Bang Devon?"
"Maksud kamu apa?"
Setelah mendengar cerita Andra, Gavin memilih untuk membicarakannya. Berharap kakaknya akan memberikan solusi.
"Zeana selalu mengangguku di sekolah, dia membatasi ruang yang aku miliki."
Devon tersenyum kecut.
"Wajar saja, kau adikku. Dia juga menyayangimu."
Kepercayaan Devon pada Zeana adalah seratus persen. Tidak ada yang bisa menggoyahkan itu.
"Kemarin dia melabrak sahabatku di kantin, dia dan gengnya meminta sahabatku untuk tidak sebangku lagi denganku."
Devon mengerutkan kening.
"Apa dia Rindu? Zean mengatakan gadis itu sangat mempengaruhimu."
Gavin menghela napas.
"Dia mengatakan cinta padaku, aku jijik melihatnya terlebih dia adalah kekasihmu!"
Prak.
"Jangan lancang kamu, Vin!" Gavin tersentak melihat Devon memukul meja.
"Kau kira Zeana mau sama kamu? Nggak. Jangan kepedean. Mungkin saja Rindu memang bukan gadis yang baik-baik."
Gavin berdecak.
"Abang jika belum bertemu dengannya bagaimana bisa menilainya? Apa yang aku katakan adalah kebenaran. Suka atau tidak, aku hanya tidak ingin Abang menyesal nantinya."
Devon bangkit menyingkirkan laptop miliknya, dengan tegas memegang kerah baju saudaranya.
"Dengar, aku sangat percaya padanya. Jangan coba-coba memfitnah Zean di hadapanku. Karena itu tidak akan mempan."
Tatapan keduanya saling bersih tegang.
Gavin heran, kenapa Devon tak mau mendengarkannya.
"Peletnya terlalu kuat hingga mata abang buta, tunggu saja sampai aku buktikan. Semua ucapanku adalah benar."
Napas lelaki itu memburu, dia tak pernah berselisih paham seperti ini sebelumnya. Dia sangat menghargai Devon.
"Kau salah, kau yang kini dalam pengaruh ilmu hitam. Gadis itu telah mengendalikanmu."
Gavin berhenti berdebat. Dia menyentak tangan Devon hingga kerah bajunya terlepas. Tatapan kecewa tak terhindarkan. Gavin memilih pergi meninggalkan Devon dan naik ke kamarnya.
Kesal dan benci menjadi satu. Dia tak percaya Zeana telah merebut saudaranya itu.
**
Pagi ini sebelum berangkat sekolah, keduanya bertemu di meja makan. Mereka tidak saling bicara. Gavin yang biasanya menyapa lebih dulu memilih mengabaikan sampai Devon sadar. Zeana bukanlah gadis yang pantas.
"Yuhuu, minggir dong. Mau pamer nih," seru Erika membawa bingkai kerajinan tangan miliknya.
Rindu yang baru tiba, tertegun melihat emot love yang sengaja di gambar oleh gadis itu.
"Wah, kerajinan yang di buat oleh duo couple memang beda sih, keren banget sumpah."
Erika tersenyum menerima pujian dari teman sekelasnya.
Maha karya itu di pajang di depan kelas bersama karya teman-teman lainnya.
"Duh, Erika," ucap Rindu meringis.
"Eh, Rindu. Udah tiba aja, lihat ide lo yang milih gitar tuh keren banget." Erika merangkul Rindu di depan semua orang.
"Bukan itu,"
Erika pun tersadar.
"Ah, hehe maaf. Nggak apa-apa kan? Pura-pura nggak lihat aja, oke."
Rindu tersenyum konyol mendengarnya.
"Bisa gitu?"
"Bisa dong."
Para siswa saling memuji karya dari tim masing-masing. Mereka tak sabar menunggu hasil dari guru. Erika dan Andra yakin mereka akan masuk tiga besar.
Riuh yang terdengar hingga keluar ruangan mengganggu siswa yang lain. Beberapa murid terganggu, bagaimana tidak. Kelas tempat Rindu berada mulai melakukan yel-yel yang berlebihan.
The Geng Zeana yang baru memasuki parkiran mengerutkan kening mendengar keriuhan itu.
"Ada apaan sih? Kayaknya seru banget," ucap Tasya.
"Entahlah, yuk mampir."
Zeana mendelik.
"Gue nggak ada waktu ngurusin hal-hal yang nggak bermutu."
"Eh itu kan dari kelasnya Gavin," Tasya pun mampir bersama geng yang lain. Zeana yang mendengar itu tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ada apaan sih?"
The Geng Zeana tiba di kelas itu, semua siswa sontak saja terdiam melihat kehadiran kakak seniornya.
Zean dengan angkuh berjalan ke depan, dia mengerutkan kening. Bingung kenapa kelas itu begitu berisik.
"Eh mereka datang lagi," bisik Erika pada Rindu. Gadis itu sedikit gugup. Apalagi namanya dan nama Gavin berdampingan.
"Wah, Z lihat deh. Ternyata mereka baru saja dapat tugas kerajinan. Lucu-lucu banget." Tasya menatap semua kerajinan yang telah di buat.
Tiba saat maha karya buatan Rindu dan Gavin. Wajah Tasya yang tadinya ceria berubah datar.
"Ehm, kayaknya nggak cantik-cantik banget, yuk cabut!"
Tasya menggandeng lengan Zeana, bersiap untuk pergi. Namun ekor mata gadis itu melihat hal yang seharusnya tidak di lihatnya.
"Lancang sekali, rupanya dia tidak mendengarkan peringatan yang gue sampaikan."
Zeana membalikkan badan, melihat di antara para siswi. Zeana mencari keberadaan Rindu saat ini.
Setelah menemukan targetnya, Zean dan gengnya mengelilingi gadis itu.
"Hey, lo!" tunjuknya.
Erika seketika merinding, gadis itu ikut menjauh dan segera menghubungi Gavin lewat pesan.
"Bukannya gue udah tegesin, jauhi Gavin. Jangan coba-coba kecentilan!"
Rindu menjadi tontonan, dia tidak berani mengangkat wajahnya sedikit pun.
"Lo sebenarnya ngerti nggak sih," Zeana berjalan lalu meraih bingkai gitar itu."
"Kak, jangan. Itu adalah tugas sekolah kami," Erika berusaha menyelamatkan maha karyanya.
"Diem, minggir lo!"
Brak!
Maha Karya itu hancur berantakan, nama Gavin dan Rindu pecah berserahkan.
"Sudah gue peringatin tapi lo anggap main-main. Denger ya, jangan buat kesabaran gue habis. Jauhi Gavin, titik!"
Rindu tertegun. Dia menelan salivanya dengan susah payah.
"Ayo cabut," ucap Zean puas. Dia dan gengnya bersiap untuk pergi."
"Tunggu!" Rindu memberanikan diri menahannya.
"Heh, nantang nih anak." Zean berbalik dan saling berhadapan.
"Dia sahabatku. Bagaimana bisa aku menghindarinya hanya karena kau mengaguminya."
Zeana terpaku sedang Erika tersenyum melihat keberanian Rindu.
"Lo! Udah berani ngejawab, ha?!"
Gavin dan Andra tiba di depan kelas.
"Kemarin, aku tidak tahu siapa kau. Seperti yang kau lakukan sekarang. Kau menghancurkan apa yang bukan milikmu."
Set.
Tangan kanan Zean melayang, Rindu replek menutup mata berusaha melindungi wajahnya.
Hup.
"Lo, emangnya lu siapa yang bisa bebas berkeliaran di sini!"
Zean dan Rindu tercengang.
Gavin tiba tepat waktu untuk menahan tangan Zeana.
"Ga-Gavin!" Zean gemetar. Tatapan Gavin terlihat sangat berbeda dari biasanya.
"Gua muak lihat tingkah lo. Kerajinan ini, di buat susah payah. Lo nggak ada hak sama sekali untuk protes dengan apa yang tertulis di atasnya. Bukan Rindu yang menulisnya!"
Zean berpikir keras.
Sang wali kelas pun tiba.
Melihat Zean dan Gavin bersih tegang, Bu Hafzah pun melerai mereka.
"Ada apa ini?"
Gavin tidak segan mendorong tangan Zean hingga dia mengadu seperti korban.
"Bu, lihat. Gavin kasar banget."
Gavin dan seluruh penghuni kelas menatap jijik ke arah Zean.
"Gavin, kau berani melawan perempuan? Kamu mau diskors iya!"
Ancaman itu membuat Gavin terkekeh.
"Bu, bukannya sebaliknya. Mereka ini yang bukan siswa di kelas kami telah seenaknya merusak tugas sekolah yang sudah mati-matian di kerjakan. Ibu jangan tertipu dengan mulut iblisnya itu."
Mata Zeana membulat sempurna mendengar julukan yang keluar dari mulut pemuda itu.
"Gavin, kau sungguh tidak sopan!"
Gavin sadar, bagaimanapun dia berkeras Zeana akan tetap di bela. Dia anak orang terpandang dan juga sangat berpengaruh di sekolah itu.
"Hey temen-temen, kalian adalah saksi. Siapa yang sebenarnya yang salah di sini?" Gavin meminta dukungan.
Seketika semua siswa angkat bicara dan menciptakan suara yang bising.
"Dia tu, Bu."
"Dia emang semena-mena!"
"Dia, Bu. Datang-datang langsung rusakin barang saya, capek tahu bikinnya," bela Erika.
"Iya benar, Bu. Kalau bisa kakak kelas nggak usah masuk ke kelas kita. Jangan mentang-mentang mereka senior lalu bisa seenaknya saja."
Zeana dan Gengnya sangat malu.
"Nih, kami videoin. Ini bukti kalau kakak senior suka menindas."
Gavin tersenyum kecut.
"Sudah diam! Kalian semua kembali ke tempat duduk. Gavin, ikut saya ke kantor."
Rindu dan Erika menatap tak percaya.
"Bu, nggak adil dong," protes Rindu.
Bu Hafzah menatap gadis itu.
"Adil atau tidaknya itu tergantung saya.
Gavin dan Zean ikut ibu ke kantor kepala sekolah."
Rindu menatap Gavin, lelaki itu menoleh untuk tersenyum.
"Kerja bagus, gua akan baik-baik saja, oke. Jangan khawatir."
Rindu menatapnya cemas. Zean yang melihat itu semua semakin meradang.