Mobil Gavin dan kendaraan Zeana berhenti bersamaan di halaman rumah. Ya, gadis itu juga di undang tapi Devon tidak pergi menjemputnya melainkan Zean datang sendiri.
"Eh, Vin. Lo dari mana?" tanya Zean langsung menyapa. Seperti biasa, Gavin mengabaikannya.
Agatha muncul dari balik pagar, sahabat Gavin itu datang dengan penampilan sederhana.
"Hay, rame nih. Eh lo dari mana?" tanya gadis itu menghampiri.
Gavin menoleh sedikit tersenyum dan membuka pintu mobil untuk Rindu.
"Dari jemput ayang gua."
Rindu terkesiap? Gavin sangat terang-terangan.
"Eh, Rindu. Hay, lo cantik banget," puji Agatha tulus.
"Thank you, Tha. Lo juga cantik banget."
Gavin meraih tangannya seolah tak ingin melepaskan.
"Yuk masuk, bokap dan nyokap gue pasti udah nunggu dari tadi."
"Yuk."
Mereka berjalan bersisian memasuki rumah, Zean merasa sangat terhina, penampilan Rindu benar-benar perfect. Dia bahkan tak percaya jika gadis biasa sepertinya dapat mengoleksi tas bermerk.
Zean menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dia harus tebal muka jika tidak mau Gavin mempermalukannya.
**
Semua orang sibuk di dapur. Nagita sibuk menata makanan di atas meja. Sedang Ardian tampak asyik mencicipi kue. Suara bel terdengar nyaring, semua orang berhenti dari aktifitasnya. Agatha sempat memencet bellnya sebelum Gavin membuka pintu.
"Ma, Pa!" seru Gavin membawa tamu-tamunya menuju ke ruang keluarga.
"Wah, Gavin udah datang tuh, Ma." Devon segera keluar di susul dengan sang papa.
"Eh, mama kok di tinggal."
Nagita menyusul, wanita itu melepas celemek yang menempel di pakainya. Mereka terpukau dengan penampilan para tamu yang datang. Wajah-wajah cantik dan muda, menambah keceriaan malam ini.
"Mama! Perkenalkan, ini dia pacar Gavin. Rindu."
Kedua orangtuanya menatap gadis itu dari kaki hingga ujung kepala.
"Cantik banget, Vin, kok mau sih sama kamu?"
"Mama!" Gavin menyipitkan mata.
Rindu tersipu mendengarnya.
"Selamat malam, tante, om. Nama saya Rindu."
"Saya Nagita, mamanya Gavin. Dan, ini suami saya Ardian."
Rindu menyalami mereka bergantian. Gadis itu sangat santun, dia terlihat sangat lembut membuat kedua orangtua Gavin tidak bosan memandangnya. Devon memiringkan kepala dan tersenyum.
"Hay gadis cat, kau tidak menyapaku?"
Agatha tertegun, semua orang tampak sangat mengistimewakan Rindu.
"Hay, Kak. Aku sampai pangling." Rindu menjabat tangannya. Devon tersenyum simpul. Rindu tidak banyak berubah.
"Benarkah? Jangan bilang aku lebih tampan dari Gavin."
Lelaki itu berhasil membuat adiknya memberikan lirikan maut.
"Weh, udah punya pacar masih aja genit."
Devon terkekeh.
"Kenalkan juga, Ma, Pa. Anak tetangga sebelah, biang rusuh. Dan ngeselin, namanya Agatha," seru Gavin cuek.
Agatha melotot mendengarnya.
"Eh, kok ngenalinnya gitu sih, nggak keren banget."
Nagita dan Ardian tertawa.
Rindu ikut tersenyum mendengar keluhan Gadis itu.
"Ya, maaf. Terus gua bilang apa dong. Lo kan memang rusuh!"
"Wah, kacau. Jangan di dengerin tante, saya orangnya kalem kok, anak Tante aja yang ngeselin."
Agatha dengan mudah mendapatkan perhatian semua orang.
"Hahaha haha."
"Kau benar, dia memang menyebalkan," ucap Nagita. Agatha senang karena mendapatkan dukungan.
"Lihat Agatha kayak melihat gambaran jika kita punya anak cewe ya, Ma. Pasti seru," ucap Ardian pelan. Nagita sang istri mengangguk setuju.
Pembicaraan mereka terdengar di telinga Agatha.
"Ya udah angkat saya saja om, jajannya ngga banyak kok. Lebih irit dari kang boros ini," Agatha melempar candaan sambil menjinjit memegang kemeja Gavin.
"Idih, ngapain lo. Ngebayangin punya saudara kayak lo amit-amit tahu nggak!" ucap Gavin mendorong bahu Agatha pelan.
"Eh, kok nyerang sih, kan aku tamu."
"Gavin," tegur Nagita.
Gavin tertawa, dia merangkul Rindu yang tampak tidak nyaman.
"Kalau ini?" tanya Nagita menghadap Zean.
"Pacar Devon dong, Ma. Lihat yang paling cantik di antara yang lain."
Devon sengaja memuji Zean, dia tahu wanitanya tak mendapatkan tempat di antara Gavin dan yang lainnya.
"Mama tahu, mama kan udah lihat fotonya."
Zean dengan santun menyalami kedua orangtua Gavin. Wajah pemuda itu merah, sungguh Zeana sangat lihai mencari muka.
"Silahkan duduk dulu ya. Tante lihat makanan udah siap atau belum."
"Baik, Tante."
Nagita merasa sangat senang, bagaimana tidak. Kedua putranya terlihat sangat bahagia.
"Sayang, kau terlihat sangat cantik," Devon terus menghibur Zeana.
"Terimakasih, kau sudah mengatakan itu tadi."
Ardian menatap putranya.
"Memangnya kenapa? Aku bahkan tidak bosan mengatakan kau cantik." Devon terlihat memuja Zeana.
Ardian menoleh ke putra bungsunya, Gavin.
"Rindu,"
"Hem,"
"Kau, " ucapnya bersemangat.
"Diamlah," ucap Rindu memperingatkan.
Agatha tertawa.
"Dih, kasihan banget."
Gavin menoleh menatapnya tegas.
"Apa lu?" ucapnya kesal.
"Dih, apaan? Kenapa tu mata, gue pulang nih. Bawa Rindu sekalian."
Gavin panik untuk sesaat. Ardian melihat jika putranya yang satu itu di kelilingi banyak anak gadis.
"Ndu, lo kan belum pernah mampir ke rumah gue. Iyakan?" ucap Agatha.
Rindu mengangguk mengiyakan.
"Nah, pas banget. Gimana kalau pulang dari sini lo mampir ke rumah gue. Ntar gue kenalin ke nyokab. Gue juga mau dong temen-temen main ke rumah. Gavin aja nih, nggak pernah berkunjung. Sekalinya berkunjung dia hanya sampai di depan pagar membawa puding. Percaya nggak lo? Padahal udah berapa bulan gue di sini."
Rindu senang mengetahui Gavin menjaga diri, sayangnya dia tak bisa menerima tawaran Agatha untuk berkunjung.
"Mau ya?"
"Nggak bisa, jam malam Rindu hanya sampai jam 9, artinya setengah sembilan gua udah harus nganter tuan putri pulang," ucap Gavin menegaskan.
"Dih, itu jam malam atau lepas nonton kartun? Cepet banget."
"Diem lo, lo nggak tahu aja gimana gua berhadapan ma pak RT juga pak hansip kalau dia telat pulang."
Seketika Agatha menahan senyuman.
"What!" Semua orang menoleh. termasuk pada Ardian sang papa yang juga ikut terkejut.
"Kok bisa, Vin?" tanyanya penasaran.
"Kembang komplek nih, Pa. Nggak bisa di ajak kemana-mana. Dapat izinnya pun susah."
"Gavin," tegur Rindu.
"Sorry,"
Ardian melihat gaya pacaran mereka, Gavin dan Rindu tampak unik. Putranya itu masih di jalur yang aman.
"Kalau Zean gimana?" tanya Ardian ingin tahu.
"Ah?" Zean terperangah mendapatkan pertanyaan yang tiba-tiba.
"Kalau nak Zean. Apa memiliki jam malam juga?"
Zeana menoleh, menatap Devon.
"Gini, Pa. Orangtua Zean adalah pekerja keras, mereka tidak melarang Zean bepergian asal jelas mau kemana dan dengan siapa."
Jawaban Devon tidak mengesankannya.
"Oh begitu, kok bisa?"
"Mereka sibuk, Pa. Zean juga sama seperti kami, di atur jadwalnya sama bibi."
Ardian merasa iba, dia membuka kacamatanya lalu mengusapnya pelan.
"Untuk anak perempuan, memang sebaiknya tidak berkeliaran larut malam. Walaupun itu bersama teman lelakinya. Apa kata orang nanti."
"Persis sama, Pa. Jalan sama Rindu tu susah banget, syukur-syukur keluar janjian satu kali sebulan. Selebihnya hanya di sekolah, itupun belajar."
"Oh ya, bagus dong. Itu Artinya Rindu memahami adab dan menjaga dirinya sendiri."
Zean menatap cemburu, dia tak suka melihat ayah Gavin menatap takjub kepadanya.