Makan malam berjalan lancar, Rindu makan dengan leluasa karena di layani oleh Gavin. Kedua orangtua kekasihnya tampak memperhatikan satu sama lain. Zean tampak elegan dengan caranya memegang pisau dan garpu. Sedang Rindu. Dia makan tanpa seperti biasa.
"Bagaimana? Masakan Tante enak kan?" tanya Nagita.
Rindu dan Agatha mengangguk tersenyum.
"Enak banget tante," hanya Zean yang menimpali dengan ucapan.
"Oh ya, kalau gitu makan yang banyak dong, tante perhatiin hanya kamu yang makannya dikit."
Deg.
Agatha hampir saja menyemburkan air yang baru di minumnya
"Mama," ucap Devon.
Nagita menyendokkan sayur dan menambahkan lauk.
"Mama sayang sama dia, Dev. Makanya mama perhatiin. Tubuh yang ideal itu nggak penting selama kita puas dengan hidup kita. Lihat Rindu dan Agatha makan dengan lahap buat hati mama seneng."
Zeana meringis, ya dia sedang menjalani diet ketat karena penambahan berat badan.
"Terimakasih, Tante."
Rindu selesai dengan makan malamnya. Gadis itu lumayan rapi dan tidak menyisahkan makanan di atas piring.
Berbeda dengan Agatha yang masih meninggalkan sisa meski sedikit.
"Mama papa kamu kerja atau apa?" tanya Nagita.
Rindu tak sadar jika wanita itu mengajaknya bicara.
"Ndu," bisik Gavin menyenggol tangannya.
"Apa?"
"Mama nanyain."
Rindu terkesiap, dia menatap Nagita tenang.
"Mama saya ibu rumah tangga biasa Tante, kalau papa. Beliau kerja di salah satu perusahaan di kota ini."
Rindu tidak menjawab detailnya.
"Oh,"
Kedua orangtua Gavin saling melirik.
Rindu tampak gelisah setelah melihat jam tangannya.
"Ada apa? Kamu kayaknya panik banget."
Gavin menatap Rindu, pemuda itu melihat jam tangannya dan menyadari waktunya sudah tiba.
"Ma, jadi Rindu ini anak rumahan. Dia jarang keluar rumah. Gavin izin antar dia pulang dulu, ya."
Nagita tertegun.
"Loh kok buru-buru, besok kan libur."
Mama Gavin lantas berdiri mengambil sesuatu.
"Iya, Tante. Sebenarnya mama saya tidak ada di rumah. Beliau di rumah sakit merawat bibi. Saya juga baru tahu tadi dan keburu udah janjian sama Gavin. Saya nggak bisa lama-lama, papa mungkin sudah dalam perjalanan pulang dari kantor. Kasihan kalau papa tiba tapi Rindu nggak di rumah."
Nagita tersentuh mendengarnya.
"Oh, maafkan tante ya. Ya udah, ini sedikit bingkisan untuk kamu dari Tante dan om. Semoga kamu suka."
Rindu menerimah sebuah paper bag berwarna merah. Gadis itu tertegun lalu mengangguk hormat.
"Terimakasih, Tante."
Rindu tidak lupa menyalami mereka sebelum keluar dari rumah itu.
"Jangan kapok main ke sini ya, kapan-kapan kita makan malam bersama dengan orang tua kamu."
Rindu lagi-lagi terkesiap mendengarnya.
"Kok bengong sih?"
"Ah baiklah Tante, nanti akan saya sampaikan ke mama dan papa."
Zeana merasa sangat cemburu. Dia tak suka melihat orangtua Devon yang begitu meninggikan Rindu di hadapannya.
"Oke, Ma. Kami pergi takut terhalang macet."
"Hati-hati Gavin," ucap Nagita.
Rindu dan Gavin berjalan keluar meninggalkan ruangan.
Dan keluarganya melanjutkan perjamuan. Rindu menghela napas saat mereka tiba di mobil. Gavin memperhatikannya dengan seksama.
"Ada apa? Nervous ya?"
Rindu mengangguk.
"Banget, mama sama papa kamu kok mendadak banget sih, Vin."
Gavin tertawa kecil, dia menyalahkan mesin dan pergi dari sana.
"Kamu tuh aneh, itu artinya Mama sama papa aku percaya sama kamu. Bukankah lebih baik ya, orangtua kita bertemu."
Rindu menganggap hal itu begitu horor.
"Ya, kali Vin. Kita baru kelas 11, belum juga tamat SMA."
"Orangtua bertemu nggak berarti kita langsung nikah, Ndu. Kamu parnoan banget, heran."
Rindu terdiam merasakan debaran jantungnya.
"Kamu nggak tahu aja gimana jadi aku. Dan tadi, untung ada Agatha yang cairin suasana. Coba kalau nggak, aku gimana, Vin."
"Mau ngomong sama mama aku juga caranya gimana? Duh,"
Gavin terdiam cukup lama, dia mengira Rindu akan senang dengan hal ini namun semuanya lagi-lagi tak sesuai ekspektasi.
Mobil melaju dan kini memasuki area taman, Gavin perlahan menepikan mobilnya. Dia ingin bicara serius dengan Rindu.
"Eh kok berhenti, kita kan belum sampai."
Rindu langsung melihat jam tangannya. Masih banyak waktu, namun tetap saja dia merasa deg-degan.
"Aku hanya ingin membuktikan bahwa perasaan ini serius, Ndu. Dan soal permintaan mama tadi. Itu bukan keninginanku. Mama dan papa lah yang memang ingin mengenal keluarga kamu lebih jauh."
Rindu terkesiap.
"Tapi, Vin. Bagaimana kalau mama kamu nggak suka dengan keluarga aku?"
"Kok mikirnya kesana? Kamu tuh ada-ada aja tahu nggak."
"Bukan gitu," Rindu bingung bagaimana dia akan menjelaskan semuanya.
"Jika benar aku akan pergi, sekolah keluar negeri suatu saat nanti. Setidaknya kau percaya padaku. Aku dan orangtuaku ingin serius, emang kamu mau aku pergi tanpa kepastian."
Rindu terkesiap melihat sorot mata yang tampak menawan. Perlahan posisi pemuda itu mendekat, Rindu reflek terpejam membuat Gavin semakin gemas.
Cup.
Dia mencium kening Rindu dan tersenyum.
"Hayo, kamu mikirin apa?"
Rindu sangat malu sekarang.
"Gavin apaan sih!"
Rindu menyentuh wajahnya yang memerah.
"Bukan kah akan lebih baik jika kita bertunangan di usia muda. Kau akan menjadi pasanganku jika kita dewasa nanti."
Mobil kembali melaju perlahan.
"Kamu tuh ya,"
Mereka tiba tepat waktu. Papa Rindu belum datang juga.
"Bye, aku masuk ya. Soal pertemuan keluarga, aku nggak janji. Mama masih di rumah sakit."
Rindu meraih tuas untuk membuka pintu. Gavin yang tergiang ucapan Devon tentang kising sepasang kekasih menarik gadis itu spontan dan mencium bibirnya.
Rindu terkejut. Pemuda itu menekannya lama dan ... .
"Gavin!"
"Selamat malam, Rindu," bisiknya.
Gadis itu malu, dia segera turun dan masuk ke kediamannya. Dia tak mengucapkan satu kata pun membuat Gavin dilema.
"Apa dia marah? Hah, semoga saja tidak."
Rindu menutup pintu dan menguncinya. Dia berlari naik ke lantai dua dan melihat mobil Gavin setelah pergi.
Jantungnya berdebar tak karuan, Rindu menuju ke cermin dan melihat pantulan dirinya.
"Tadi itu apa?"
Rindu menggigit bibirnya malu. Tak lama, suara mobil terdengar berhenti ternyata sang papa baru saja pulang dari kantor.
Rindu gelagapan dan segera mengganti pakaiannya, dia sangat terburu-buru hingga hampir merobek dress yang dia kenakan. Rindu meraih kaos polos lalu membuka snikernya.
Suara bel terdengar nyaring dan gadis itu segera mencuci muka.
"Rindu! Apa kau di rumah!"
Rindu bergegas menuruni tangga, dia bahkan terpentok dengan ujung meja. Gadis itu meringis, tapi tak memiliki banyak waktu.
"Rindu!"
Ceklek.
Pintu terbuka.
"Papa! Sorry Rindu dari kamar mandi."
Rindu sempat melilit rambutnya dengan handuk. Riki sang papa menatapnya heran.
"Kamu nggak kemana-mana kan? Kok wangi!"
"Ih, Papa. Masa anak perempuan bau sih ya wangi dong."
Riki menghela napas. Dia mengitari putrinya dan ... .
"Tolong buatin teh untuk papa."
"Yess!" Rindu bersorak di dalam hati, dia senang karena papanya tidak menaruh curiga.