Rindu sedang temenung di kamarnya saat pesan masuk di ponselnya. Gavin mengajaknya keluar makan malam namun di sisi lain dia merasa badmood.
[Aku ingin mengajakmu jalan nanti malam, jam enam kau harus sudah bersiap.]
Rindu menatap isi pesan itu.
[Tidak ada penolakan, aku sungguh ingin keluar berdua denganmu.]
Rindu berbaring terlentang di kamarnya. Mendadak jalan sama Gavin tidak se excited seperti dulu.
[Sayang, kenapa kau tidak membalasku.]
Rindu terbelalak melihat pesannya.
"Sayang? Apa dia salah kirim."
Rindu sangat penasaran, sebelumnya Gavin tidak pernah berkata demikian.
[Aku akan ke taman sore nanti, apa kau tidak ingin bertemu?]
Rindu menarik napas panjang. Sungguh ajakan ini sangat mendadak baginya.
[Sayang! Kau mengabaikan pesanku lagi.]
Rindu tidak tahan. Dia pun membalas pesan Gavin untuk bertemu.
[Oke, sampai bertemu di taman]
Rindu segera bersiap, dia memakai pakaian santai dan tampak enggan untuk berdandan.
Wajahnya terlihat cemberut, Rindu bergegas turun dan terkejut melihat sang ibunda meneteng sebuah tas.
"Mama mau kemana? Kok bawa tas segala?" tanyanya penasaran.
Asyla mendongak, melihat putrinya menuruni tangga.
"Rindu, mama lupa bilang, budemu sedang di rumah sakit. Tidak ada yang menjaganya jadi mama akan tinggal disana untuk beberapa hari."
Rindu terkejut mendengarnya.
"Rindu ikut Ma."
"Nggak boleh dong sayang, kamu kan mesti ngurusin papa."
Rindu menghela napas.
"Ma, Rindu kan bakal libur juga. Masa nggak boleh ikutan sih."
Asyla menatapnya lekat.
"Baiklah, kalau papa libur kamu boleh nyusul ke rumah sakit, mama nggak biarin kamu kesana. Bukan apanya, kamu tuh rentan terhadap penyakit. Mama nggak mau kamu sakit karena mondar mandir dan terkena virus."
Rindu mendadak lemas.
"Mama berangkat ya, taksi mama udah nunggu di depan."
Rindu menghela napas, dia membantu mamanya keluar menuju mobil jemputan.
"Bye, hati-hati di rumah ya. Jangan berkeliaran."
Rindu megangguk samar. Tangannya melambai melepas kepergian sang ibunda.
"Mama kaku banget sih, gitu aja nggak boleh. Apa salahnya coba aku ikut nungguin bude."
Rindu terus mengomel dan mengeluarkan sepeda dari garasi. Setelah memastikan telah mengunci rumah, dia keluar dan mendayu sepedanya.
Pikiran Rindu bercabang, setengah memikirkan mamanya dan setengah lagi memikirkan Gavin. Angin sore menerbangkan rambutnya yang tergerai, Rindu memakai kaos putih dengan motif Mickey mouse. Tidak lupa bawahan celana panjang kain berwarna biru.
Dia sangat cantik, bahkan beberapa orang rela untuk berhenti dan memandanginya.
Tak melihat mobil Gavin di taman, Rindu pun terus berkeliling mengelilingi tempat itu, satu putaran. Dua putaran hingga dia merasa lelah dan berkeringat. Rindu membeli air mineral botol dan mencari tempat untuk duduk. Napasnya terengah dia mengatur napas dalam-dalam dan kembali tenang.
"Wah, hebat banget sampai mutar delapan putaran." Gavin bergabung setelah membeli cemilan.
"Kamu!" Rindu benar-benar terkejut.
"Sorry, aku lihat kamu fokus bersepeda jadi aku nggak ganggu."
"Mobil kamu di mana?" tanya Rindu.
"Makai sepeda, tuh di samping sepeda kamu."
Hah. Rindu menatap ke samping.
"Pantas saja aku nggak nemu tadi, ih, iseng banget sih!"
Gavin menikmati siomay yang baru dia beli.
"Mukanya kok masih bete, ada apa?" tanya Gavin to the point.
Rindu menggelengkan kepala. Dia memandangi area sekitar dan beberapa muda-mudi juga sedang berkencan.
"Nanti malam aku jemput ya? Mama papaku mau bertemu kamu."
Deg.
Uhuk uhuk uhuk uhuk.
Rindu kaget, dia pun keselek dengan air minum.
"Pelan-pelan minumnya, jangan buru-buru gitu."
"Papa mama?" Rindu kembali menegaskan.
"Iya, mereka tiba hari ini. Sebenarnya mereka minta aku ngajak kamu buat jemput di bandara. Tapi, ponsel kamu mati semalaman, dan pagi tadi aku ketiduran."
Rindu menelan salivanya. Dia mendadak gugup dan tidak percaya diri.
"Vin, aku."
Gavin meraih tangannya, membawa Rindu ke dalam dekapan.
"Tolong jangan menolak, kau tahu kedua orangtuaku terbang dari Singapure agar bisa bertemu denganmu."
Rindu tidak yakin, perasaannya benar-benar tidak karuan.
"Sayang!"
Rindu yang melamun pun terkejut.
"Kau bilang apa tadi?"
"Sayang! Memangnya kenapa?" Gavin meletakkan makanan di rumput lalu berbaring di bangku dengan kepala berpangku pada Rindu. Gadis itu terkejut, dia reflek menatap ke sekeliling
"Vin, kamu apa-apaan. Malu tahu di lihat orang."
Gavin tak peduli.
"Malu mana sama itu dan itu."
Gavin menunjuk ke arah berlawanan, terlihat beberapa pasang muda-mudi saling mepet.
"Ya jangan di samain dong. Bangun nggak!"
Gavin menghela napas dan nenuruti keinginan kekasihnya. Dia kembali meraih somay dan tampak kesal.
"Mamaku di rumah sakit lagi ngurusin bude, papa kerja. Kau tahu papaku pulang sekitar jam sembilan atau sepuluh malam."
"Terus?"
"Aku harus berada di rumah sebelum papa pulang."
"Oke, aku ngerti. Tidak masalah asal kau mau datang dulu."
Rindu kembali tertunduk.
"Ada apa?" tanya Gavin menggodanya.
"Aku gugup, apa kau tidak bisa lihat. Aku harus bagaimana nanti di depan mama papa kamu!"
Gavin terkejut mendengar suara ngegas keluar dari mulut Rindu.
"Nanti lihat wajah aku saja, agar nggak gugup."
"Ish nyebelin!" Rindu memukulnya dengan botol minuman.
"Ampun Rindu."
Sore itu Gavin mengantarnya sampai pintu gerbang.
"Jangan lupa nanti malam," seru Gavin.
Rindu melambaikan tangan, tidak yakin dengan keputusannya sendiri.
Tiba di rumah, Rindu langsung melihat koleksi pakaiannya. Kali ini dia cukup terampil dengan memilih dres tampa lengan berwarna hitam.
"Aku rasa ini cocok." Rindu segera mandi dan bersiap, waktunya dua jam lagi, dia berharap bisa selesai sebelum Gavin tiba menjemputnya.
Rindu keluar setelah setengah jam di dalam sana, entah apa saja yang dia lakukan, namun dia tampak fresh.
Setelah bermain dengan hair dryer, Rindu pun mengenakan dresnya. Karena ini acara makan malam, Rindu ingin tampil senyaman mungkin. Dia menghias rambutnya dan mengikatnya ke belakang. Memakai hiasan super natural, dengan perpaduan beberapa warna liptin di bibirnya. Rindu tampak sangat menawan.
"Ah, aku butuh tas."
Rindu menuju ke kamar mamanya, dia terbilang nekat karena belum meminta izin sebelumnya.
Rindu membuka lemari koleksi dan memilih tas kecil berwarna senada dengan dresnya.
"Aku pikir ini cocok. Ma, maafkan Rindu. Tasnya aku pinjam dulu."
Rindu menggapai tas itu dan melihat penampilannya sekali lagi.
"Aku rasa ini tidak berlebihan."
Suara klakson terdengar nyaring, Rindu mengerutkan kening dan menatap jam tangannya.
Waktu berlalu dengan cepat, hingga dia tak menyadari telah tiba waktunya untuk pergi. Gadis itu tak lupa menyemprotkan parfum favoritnya. Gavin keluar dari mobil dan memasukkan tangan ke dalam saku. Pemuda itu memakai kemeja berwarna biru tua. Dia melihat jam tangannya sekali lagi dan mencoba menghubungi Rindu.
"Jangan bilang dia batalin janji," racaunya.
Gavin merasa sangat was-was. Pintu di depan sana terbuka dan muncullah Rindu setelah memastikan rumah terkunci.
Cahaya lampu taman menyinari gadis itu. Rindu berjalan pasti, dia memakai sneker untuk melengkapi penampilannya. Khawatir jika memakai hels akan membuat Gavin merasa malu karena tidak terbiasa.
Gadis itu berdiri tepat di hadapan sang kekasih, Gavin menatapnya tak berkedip.
"Kenapa? Apa aku terlihat aneh?"
Gavin menggelengkan kepala.
"Tidak, kau sangat cantik. Maksudku, kau memang cantik tapi ini jauh lebih cantik."
Rindu tersenyum.
"Benarkah?"
Gavin tersenyum simpul, dia membukakan pintu mobil dan melihat penampilannya.
"Aku harap kau tidak malu menggandengku." Rindu spontan menoleh.
"Kenapa bicara seperti itu?"
"Karena aku merasa membawa seorang bidadari."
Keduanya terdiam.
"Gavin! Rayuanmu sanga konyol, kau tahu."