Gavin dan yang lainnya melongo ketika melihat kedatangan Rindu di tengah-tengah mereka. Bagaimana tidak? Baju gadis itu belepotan, penuh dengan warna yang kental.
"Woi, lo habis berenang dimana? Lama banget, baju lo udah kayak mau balik ke bangku smp aja," seru Andra membuat Gavin dan Erika tersadar.
"Ya ampun, Rindu! Lo nggak apa-apa kan?" Erika menatapnya cemas.
"Tadi, aku nggak sengaja injak catnya. Muncrat ke seluruh baju. Udah aku bersihin di toilet tapi nggak tahu kenapa? Nodanya nggak hilang-hilang."
"Ya iyalah. Auto beli seragam baru, itu mah." Andra tak kuasa menahan tawa.
Rindu meringis melihat pakaiannya.
"Duh, pasti kena omel, mama kalau gini."
Erika berdiri menghampiri lalu menuntunnya duduk.
" Sudahlah, jangan di pikirkan. Lebih baik lo makan dulu, lo pasti laper. Soal baju kita pikirkan nanti."
Gavin meletakkan nasi goreng di hadapan Rindu.
"Ini minumnya, makan yang banyak agar bisa konsen."
Rindu tersenyum melihat es teh manis yang di bawah Gavin.
"Terimakasih,"
Mereka semua makan dengan lahap, kantin yang sepi menjadi kenangan tersendiri bagi mereka.
"Nanti prakaryanya mau buat bentuk apa? Gitar lagi?" Andra tampak lahap menikmati bakso di hadapannya.
"Nggak, ah! Trauma, takut hancur lagi. Ganti aja," ucap Rindu.
Erika langsung memberinya jempol.
"Setuju sama Rindu, buat yang beda aja. Yang buat adik kelas pada terkesima saat mereka masuk sekolah nanti."
Gavin terkekeh.
"Pikiran lu jauh banget, sampai mikir ke sana."
Rindu tersedak.
"Eheem, uhuk uhuk." Gavin yang melihatnya begitu panik.
"Kenapa? Keselek?"
Rindu mengangguk. Gavin memberinya air putih lalu mengusap pundaknya.
"Makanya, kalau makan hati-hati, pelan-pelan saja."
Rindu tertegun sejenak. Dia meminum airnya lalu kembali tenang, Gavin dengan cekatan mengusap punggung gadis itu.
"Ehm, udah Vin. Udah lega."
Gavin tertegun melihat Rindu kewalahan.
"Syukurlah,"
Erika dan Andra ikut panik karenanya.
"Banyak pikiran ya, hati-hati kalau lagi makan," seru Andra.
Rindu mengangguk pelan.
"Iya nih, lagi mikirin gimana kalau kita buat biola aja, sepertinya seru."
Gavin, Erika dan Andra kompak menoleh dengan tatapan heran.
"Kenapa?" tanya Rindu.
"Bukannya itu lebih ribet dari gitar, ya?"
Rindu meringis. Erika tertawa melihatnya.
"Kan cuman usul, siapa tahu kalian berkenan."
"Vin, lo ada ide?" tanya Andra.
"Apa? Buat bola sepak aja." Keisengan Gavin membuat Erika dan Andra tertarik dan langsung setuju.
"Nah, itu. Bola sepak, unik juga."
"Gua hanya bercanda, kenapa lu tanggepinya serius, Ndra!"
Andra dan Erika telah menentukan pilihan. Mereka tinggal menunggu Rindu untuk meminta pendapatnya.
"Ya, kan bagus. Simple, dan keren. Gimana, Ndu?"
Rindu menatap Gavin sejenak.
"Oke, nggak masalah. Bola juga bagus."
"Yee, suara sudah terkumpul," Erika dan Andra tampak antusias.
Gavin melirik Rindu, dia tahu gadis itu tidak benar-benar mendukung tentang bola tadi.
"Ya udah, kalau sudah selesai makan, langsung cabut aja. Agar pulangnya nggak ke sorean. Entar bokapnya Erika ngira kita keluyuran lagi," seru Andra.
Rindu dan Gavin segera menghabiskan makanannya. Sebagai bentuk persahabatan. Andra membayar semua makanan yang ada.
"Ini, Buk. Untuk pesanan. Lebihnya buat ibu saja."
"Wah, Den Andra ulang tahun, ya? Bagi tipnya banyak banget." Bu Siti tampak sumringah menerima uang kertas berwarna merah itu.
"Nggak, kok. Acara makan biasa aja."
"Wah, sering-sering ya, Den."
Andra tersenyum.
"Yuk cabut, udah gua bayarin termasuk makanan lo, Ndu."
"Wah terimahkasih, Ndra." Baru kali ini Rindu merasakan arti persahabatan yang sesungguhnya.
"Oke, sama-sama."
Mereka berjalan keluar dari kantin sambil bercanda, Erika sesekali menggosok noda cat di baju Rindu tapi tidak mempan sama sekali. Saat akan menuju ke depan kelas. Mereka bertemu dengan Devon dan Zeana secara tak sengaja.
"Eh, gadis cat kita bertemu lagi."
"Bang Devon?"
Gavin terhenyak mendengar kata yang diucapkan oleh abangnya.
"Eh, Kakak belum keluar?" Devon dan Rindu saling menyapa seolah mereka telah mengenal cukup lama.
"Kamu kenal dia?" Zeana tampak jealous melihat kedekatan keduanya.
"Iya, dia gadis cat yang aku ceritakan tadi."
Gavin spontan menggenggam tangan Rindu.
"Oh, jadi setelah lu ngambil Gavin, lo juga ngerayu cowok gue, iya! Dasar kecentilan!" Zeana kesal dan menyerang.
Rindu refleks melindungi wajahnya saat melihat Zeana akan menamparnya.
Lima detik berlalu dan tidak terjadi apapun. Rindu membuka mata lalu mendapati punggung Gavin yang kokoh berdiri di hadapannya.
"Vin," ucap Rindu cemas.
"Tidak apa-apa," bisik lelaki itu.
Yang lebih menakjubkan adalah. Di depan sana, Devon menahan tangan Zean.
"Apa-apaan ini? Kamu lebih milih belain dia ketimbang aku. Pacar kamu sendiri!" Devon melepaskan tangan Zeana perlahan.
"Rindu, lo nggak apa-apa?" Erika menghampiri.
Devon terkejut mendengar nama gadis itu.
"Jadi, dia?"
Zeana merasa kecewa, dia pergi lebih dulu meninggalkan tempat itu.
"Eh Zean, tunggu." Devon mengejarnya.
"Nggak usah deket aku lagi."
Devon tersadar, ucapan Gavin tergiang di kepala. Semua penjelasan Gavin kemarin membuatnya berpikir ulang tentang hubungannya yang tidak sehat
Zeana tak pernah menghargainya.
"Abang ngapain di sekolah Gavin?"
Rindu dan Erika terperangah.
"Abang? Kalian bersaudara?" tanya Rindu.
Gavin mengangguk mengakui, sedang Devon hanya terpaku.
"Wah, abang lo ganteng, Vin," seru Erika. Andra langsung melotot ke arahnya.
"Bercanda sayang. Hehe,"
"Ngapain kamu di sekolah sampai jam segini? Bukankah kau harus pulang tepat waktu!" Devon memperlihatkan kekuasaannya.
Gavin menatapnya sendu.
"Aku ada keperluan, makanya tetap tinggal."
"Keperluan? Keperluan apa?"
Rindu menatap Devon takut.
"Abang nggak nanya sama Zeana? Dia tahu pasti apa yang terjadi."
Gavin lelah untuk meyakinkan.
"Kau ingin menfitnanya lagi!"
Rindu yang mendengar itu segera bersuara.
"Tidak, Gavin tidak seperti itu."
Rindu berdiri di depan Gavin untuk bicara.
"Ndu, hentikan."
"Nggak, kita semua saksinya jika kamu selalu di kejar oleh kakak kelas kita. Hari ini, satu sekolah menjadi saksi, apapun yang dikatakan Gavin semua itu benar."
Devon menatap Rindu. Gadis ceria yang di anggap Zeana sebagai gadis introvert yang membawa pengaruh buruk. Terlihat berbeda di matanya.
"Rindu jangan ikut campur, sebaiknya lo dan yang lain ke kelas duluan." Bujukan Gavin membuat Rindu enggan pergi.
"Tidak, Gavin. Erika, kau masih punya rekamannya? Bisakah pinjamkan ponselmu padaku."
Gavin terkejut melihat keberanian Rindu.
"Apa yang ingin lo lakuin. Rindu hentikan!"
Rindu menggeleng lemah.
"Maaf Gavin, Kak Devon harus tahu agar kalian tidak saling berselisih lagi."
"Itu urusan gua, bukan urusan lo."
"Kau kehilangan hakmu karena ini, aku tahu kau kesulitan belakangan ini karena aku. Ka Zeana telah mengatakan semuanya padaku. Maafkan aku Gavin."
Erika mnyerahkan ponselnya, Rindu langsung menggapainya dan berjalan ke depan.
"Rindu hentikan!"
Dengan berani, Rindu menyodorkan rekaman itu.
"Aku senang kita bertemu di sekolah ini kakak baik. Tolong jangan perlakukan Gavin seperti itu lagi."
Devon menerima rekaman itu, di dalam sana dia melihat bagaimana Zean menghancurkan prakarya yang ada. Dia juga melihat bagaimana Zeana menunjuki Rindu yang tidak melawan sama sekali. Acting Zean mencari pembelaan. Devon sangat malu, dia malu membuat adiknya sangat menderita.
"Vin," ucap Devon akhirnya.
Gavin yang takut Rindu mendapatkan masalah segera menariknya mundur.
"Katakan padaku, Bang. Biarkan teman-teman ku pergi dulu."
Gavin sangat menghargai persahabatan yang baru terjalin dengan Erika dan Andra.
"Baiklah, begini saja. Kau ikut aku ke mobil. Aku ingin mendengarkan semuanya darimu."
Rindu menggeleng. Setelah cukup lama berpikir. Gavin pun mengiyakan.
"Oke."
"Loh, prakarya kita gimana dong, Vin?" Andra menahan langkahnya.
"Gua balik lagi nanti. Hanya sebentar, Ndra."
Devon dan Gavin melangkah ke parkiran, Rindu kembali mengejarnya. Saat Gavin menoleh langkah gadis itu tertahan.
"Dia Abangku bukanlah monster, kau tidak perlu khawatir."
Mendengar itu, Devon berbalik melihat Rindu.
Gadis itu tersentak lalu tertunduk.
"Vin, aku akan menunggu di sini."
Gavin mengangguk. Baik Erika maupun Andra ikut menemani Rindu.
"Gila sih, nggak nyangka kakaknya Gavin pacaran dengan Kak Zean. Pantes tu nenek sihir selalu ngintilin Gavin kemana-mana."
Rindu tidak menanggapi ucapan Erika. Dia hanya cemas dengan Gavin di ujung sana.
Blam.
Pintu mobil di tutup. Devon dan Gavin berada di dalam mobil.
Mereka terdiam cukup lama hingga Devon memulai pembicaraan.
"Tadinya aku sangat cemas dan buru-buru ke sini. Zean bilang dia jatuh pinsan di tengah lapangan tapi nggak ada yang nolongin."
Gavin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Semua siswa di kelasku tak menyukainya. Aku ingin menolong tapi Rindu menahanku."
"Jadi dia yang namanya Rindu?" Devon menatap kaca spion. Rindu masih di sana berdiri menantikan Gavin.
"Iya, dia menahanku lalu membantu Zean sendirian. Sayangnya Geng Zean tak menginginkan bantuannya."
Devon mengangguk mendengar itu. Pembawaan Rindu memang terbilang unik baginya.
"Entah dia bisa berubah atau tidak, jika abang tetap melanjutkan hubungan kalian. Aku harap batasi dia berada di dekatku. Aku benar-benar kesal dengannya."
Devon menggeleng.
"Aku rasa kau benar. Dia juga begitu egois. Aku tidak bisa bertahan lebih lama dengan perempuan seperti itu."
Gavin terpukau tak percaya.
"Abang serius? Nggak lagi mabok kan."
Devon tersenyum. Dia mengeluarkan dompet dan memberikan uang saku adiknya yang sudah dia tahan beberapa hari.
"Ini, bersenang-senanglah. Soal Rindu, aku rasa dia gadis baik-baik."
Gavin reflek memeluk lelaki itu.
"Thank you, Bang. Lo emang abang gua paling the best."
Devon terkekeh.
"Aku cabut ya, ntar pulangnya agak malaman."
Devon mengangguk mantap.
"Yes, yuhuu!"
Gavin segera keluar membawa uang saku miliknya. Rindu menatapnya bingung. Karena wajah Gavin terlihat begitu ceria.
"Eh, mau kemana, Vin?" Gavin mencubit pipi Rindu gemas.
"Bayar hutang ke ibu kantin,"
Rindu terperangah.
"Kamu di maafin?"
Gavin mengangguk dan mereka saling berpelukan.
"Yeeh, akhirnya."
Terlalu bahagia membuat mereka tidak sadar.
"Woy, baju lo tuh, lihat!" seru Andra.
Gavin dan Rindu tertunduk. Rindu meringis sedang Gavin tersenyum happy.
"Ya, emang kita pasangan serasi."
Erika dan Andra tertawa mendengarnya.