Akhirnya prakarya itu selesai juga. Mereka mengambil gambar bola sebagai temannya. Nama mereka pun di tulis satu per satu dan tidak berpasangan lagi.
"Gimana, cantik kan?"
Andra dan Erika tersenyum kala melihat Rindu membuat gambar bunga di sekitar bolanya.
"Ada apa, ini? Kenapa ada bunga segala?" Andra menegur pekerjaan Rindu. Bunga dan bola tidak saling terhubung.
"Jelek, ya? Maaf deh aku singkirkan sekarang."
Rindu benar-benar akan menyingkirkannya, beruntung Erika menahan secepat mungkin.
"Nggak usah, cantik kok. Yuk pulang, udah selesai ini."
Gavin baru kembali dari mencuci tangannya di toilet. Suasana hati lelaki itu sedang bergembira.
"Nonton yuk, gua teraktir."
Rindu terkesiap, dia ingin pergi tapi belum izin sama sekali.
"Ya, udah sore, Vin. Mana belum izin sama ortu. Ini aja udah ke sorean." Andra dan Erika menolak.
"Ya udah deh, berarti bukan rezeki lo pada. Lu gimana, Ndu?" tanya Gavin menatapnya telak.
Rindu terkesiap, dia menggeleng lemah.
"Sama, aku juga mau pulang. Kamu nggak lihat baju aku berantakan kek gini?"
Gavin menghela napas panjang, bagaimana tidak. uangnya tidak bisa di pakai untuk bersenang-senang.
"Ah nggak asyik lo semua. Ya udah gua seneng-senengnya sendirian aja."
Andra tersenyum. Lelaki itu membawa masuk hasil kerja mereka ke dalam kelas lalu mengunci pintu. Andra menatap sekeliling dan mencari Mang Khaidir.
"Vin, lo sama Rindu bareng gua aja. Udah mau magrib, gua anterin deh sampai di depan gerbang rumah lo pada," seru Andra berbaik hati.
Gavin menoleh ke Rindu, mobil jemputannya belum datang sama sekali sedang ponsel Rindu kini mulai lobet.
"Gimana? Lo mau pulang bareng mereka?"
Rindu mengangguk.
"Dari pada jalan kaki, nggak sanggup kan. Mana ada taksi sore-sore gini."
Gavin makin dongkol mendengar alasan Rindu.
"Baiklah, ayo pergi."
Mereka menuju ke mobil Andra, semuanya masuk satu per satu. Andra dan Erika jelas di bagian depan, sedang Gavin dan Rindu di belakang. Duduk berdampingan.
"Oke cabut!"
Mereka bergegas pulang, tidak lupa Andra berhenti untuk mengembalikan kunci di pos.
"Semuanya udah pulang?" tanya Mang Khaidir.
"Iya, Pak. Maaf telah menunggu lama."
Lelaki tua itu hanya tersenyum.
"Tidak apa-apa, Den."
"Kalau begitu kami pamit, Pak."
Rindu dan Erika melambai sebelum menghilang di balik pandangan.
Gavin bersandar pada kursi, matanya terpejam. Dia sangat lelah.
"Vin, uang lo simpen aja buat besok. Kita kan bisa janjian besok. Jadi jangan lupa pada izin sama orangtua."
Erika dan Rindu hanya diam.
"Iye, gue simpan khusus untuk kalian."
"Yees!" Gavin tersenyum melihat kehebohan mereka. Erika dan Rindu saling tos untuk merayakannya.
Orang pertama yang di antar pulang adalah Rindu. Mereka kompak turun bersama untuk mengantarkan gadis itu.
"Kalian mau kemana?" tanya Rindu saat melihat mereka bergegas keluar dari mobil.
"Kita mau bantu lo untuk menjelaskan semuanya, nyokab lo pasti heran melihat baju sekolah lo yang kotor dan pulangnya setelat ini. Jangan sampai lo kena omel," ucap Erika.
Rindu meringis mendengar penuturannya.
"Duh, nggak usah. Kalian, nggak usah repot-repot."
"Tapi, Ndu."
Rindu menolak dengan tegas.
"Udah sana pulang. Jangan sampai kalian yang kena omel." Rindu tersenyum.
"Lo yakin?" tanya Erika lagi.
"Iya, yakin."
"Oke deh, bye!" Erika melambai.
Rindu membalasnya dan menatap Gavin yang juga memperhatikannya. Mobil Andra melaju dan Rindu pun masuk ke dalam rumah.
Benar saja, saat mama dan papanya melihat penampilan Rindu, keduanya melotot melihat putri kesayangan mereka.
"Kamu, dari mana aja? Seragamnya kenapa biru begini?"
Rindu hanya bisa cengengesan.
"Kan aku udah izin, Ma. Prakarya aku tuh di senggol temen. Mau tidak mau aku dan tim kelompokku bikin ulang," jelasnya.
"Lalu baju kamu? Sayang kamu bukan anak kecil lagi. Apa ada yang ngebully di sekolah. Bilang sama mama!"
Asyla tampak kesal.
"Nggak, ini kecipratan pewarna aja, nggak sengaja gitu. Mama nggak perlu khawatir. Sekarang Rindu udah punya beberapa temen yang jagain Rindu di sekolah. Nggak akan ada deh yang berani ngebully lagi."
Asyla dan suaminya merasa lega.
"Syukurlah kalau begitu. Ya, udah kamu langsung naik, ganti baju. Seragamnya jangan lupa di rendam."
Rindu mengangguk antusias.
"Baik, Ma. Bye."
Kedua orangtuanya saling melirik.
"Pa, lihat Rindu seperti sekarang. Apa Papa nggak cemas? Kok Mama mulai parno ya."
Sang suami tak ingin memperburuk keadaan, di matanya Rindu justru terlihat happy.
"Biarin aja sih, Ma. Rindu pasti ngomong kalau terjadi sesuatu."
"Papa!"
"Putri kita pasti lapar. Mama buat makanan gih,"
Asyla hanya bisa menarik napas panjang. Suaminya Riki tampak tenang menganggapi semuanya.
"Ish, Papa kalau di ajak ngomong selalu gini."
Rindu menatap seragam sekolahnya. Dia jadi ingat Devon dan Gavin karena warna itu.
"Ah, ceroboh sekali." Kedua lelaki itu juga mendapatkan warna yang sama karena Rindu.
"Mana nggak mau hilang lagi."
**
Di sisi lain. Di Kediaman Ardian.
Gavin baru saja tiba di pintu gerbang.
"Oke thank you, Bro," seru pemuda itu pada Erika dan Andra.
Andra melambaikan tangan kepadanya.
"Inget, besok jangan sampai telat. Lo tahu kan apapun bisa saja terjadi."
Gavin mengangguk patuh.
"Siap, bye!"
Erika terperangah melihat rumah Gavin.
"Beb, dia anak orang kaya? Lalu kenapa ke sekolah nggak punya kendaraan?"
Andra mengedikan bahu.
"Sebelumnya di anterin supirnya, belakangan ini memang dia datang sendiri. Sepedanya kadang di simpan gitu aja di sekolah. Lucu kan?"
Erika mengangguk.
"Lucu banget, ya udah cabut."
Gavin memasuki halaman. Melihat mobil Zean terparkir di sana membuat lelaki itu memutar bola matanya.
Jengah.
"Nih nenek gayung ngapain datang sih, ngerusak mood aja."
Gavin berjalan pelan menuju ke rumah, samar terdengar suara pertengkaran Zean dan Devon dari dalam.
"Pergilah, Zean. Aku tidak memiliki apapun untuk di bicarakan lagi. Hubungan kita berakhir sampai di sini."
"Yes!" Gavin sangat senang mendengar keputusan abangnya.
"Kamu mutusin aku hanya karena cewe itu?" Gavin mengernyit.
"Cewek, perasaan abang gua nggak selingkuh," ucap lelaki itu masih di luar pintu.
"Kamu jangan menambah masalah, kita putus karena kamu selalu gangguin Gavin. Ngga ada persoalan dengan Rindu."
Gavin terkejut luar biasa.
"Ah, wanita ular ini. Pakai bawa-bawa nama Rindu lagi. Kenapa nggak langsung pergi aja sih, heran."
"Kamu salah paham, aku nggak gangguin Gavin. Untuk apa juga."
Zeana berusaha menyelamatkan hubungannya.
"Bukan hanya itu yang membuatku menyerah padamu. Kau selalu semena-mena. Pergilah, pintu terbuka lebar."
Zeana tak menyangka Devon akan bicara demikian.
"Beb, dengarkan aku dulu. Semuanya nggak seperti bayangan kamu."
Klik. Gavin tidak tahan untuk masuk ke dalam rumah.
"Bang aku pulang." Devon menoleh saat adiknya menyapa.
"Istrahatlah, kau pasti lelah."
Gavin mengangguk.
Melihat ke akraban mereka, Zean yakin jika dua saudara itu sudah berbaikan.
"Sangat lelah untuk membereskan kekacauan yang terjadi. Abang ke kamar gih, di sini terus yang ada Abang akan di pengaruhi lagi."
Zeana menatapnya sarkas.
"Maksud kamu apa, Vin? Kamu nggak puas lihat aku di hukum. Di permalukan di depan umum. Sekarang kamu mau ikut campur antara aku dan Devon."
Zeana merasa gugup, dia tak mau berpisah dengan kekasihnya itu. Salah satu putra Ardian adalah aset, dia tidak mau kehilangan kekasihnya.
"Salah lu sendiri. Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Pergi deh lo. Masih banyak cewek yang baik hati yang pantas buat abang gua."
Netra Zeana berkaca-kaca. Devon bahkan mengalihkan pendangan karena enggan menatapnya.
"Devon, dengerin aku."
"Pergi atau lo di seret sama security. Airmata lo itu simpan saja, lumayan kan kalau bisa menghiba di tempat lain."
"Vin," kali ini Devon menegurnya.
Zeana tak ingin beranjak sama sekali. Besar harapanya agar Devon berubah pikiran.
"Udah, Bang, Serahkan masalah ini padaku."
Gavin tak mau, Zean bersandiwara lagi. Dia tak mau abangnya luluh karena Devon memiliki hati yang lemah. Pendiriannya mudah goyah.
"Pergi nggak! Jijik gua lihat muka lo."
Zeana akhirnya mengalah. Dia tak ingin berkeras saat Devon masih marah padanya.
"Aku pergi bukan berarti setuju untuk putus. Devon tak ada orang lain selain kamu di hati aku," ucapan itu membuat Gavin tertawa.
"Haha, dasar pembual!"
Zean pergi meninggalkan rumah itu. Devon yang gundah lalu berbaring di sofa.
"Dia itu pandai bersilat lidah. Abang jangan mudah tertipu. Jika dia sayang sama Abang. Dia nggak akan lakuin sesuatu yang kiranya menyakiti hati abang," ucapan Gavin menggema di kepalanya.
"Oke, aku baik-baik saja. Sana istrahat. Dan kunci motormu. Ada di atas meja."
Gavin tersenyum bahagia.
"Ihi, thank you, Bang."
Gavin segera pergi, tapi sebelum itu dia memeriksa mobil Zean yang di luar.
"Gimana caranya agar Zean nggak ngejar-ngejar Bang Gavin lagi, ya. Ngeri gua kalau sampai hubungan mereka kembali serius. Punya ipar toxic begitu mending di buang ke laut aja. Belum apa-apa udah banyak ngatur, serem."
"Vin!" panggil Devon.
"Iya, Bang." Gavin mengunci pintu, berjaga-jaga agar Zeana tidak datang lagi.
"Kamu ngapain di luar?" tanya Devon.
"Nggak ada, cuman mastiin aja Zeana udah cabut atau belum."
"Aku jadi mikir, ingin nyusul ayah dan Bunda secepatnya. Jika Zean datang terus. Abang mungkin akan berubah pikiran."
Gavin mengerutkan kening.
"Jangan dong, terus aku sama siapa? Abang jangan aneh-aneh."
Devon beranjak pergi. Dia sangat malu sekarang.