Gavin duduk termenung, sorak sorai yang terdengar membuatnya diam mematung. Ada rasa kasihan melihat Zeana di perlakukan seperti itu. Rindu menyadari ekspresinya.
"Kenapa? Kok ngelihat kesana terus?" Gadis itu menyerahkan botol minuman rasa jeruk.
"Apa ini, lo neraktik gua?"
Rindu tidak menjawabnya, dia hanya duduk dan tersenyum.
"Gavin, apa kau merasa semua ini berlebihan. Anak-anak sepertinya sangat kesal pada Kak Zeana."
Gavin membuka tutup botol itu, dia menenggak minumannya hingga tersisa setengahnya. Pikiranya semrawut lalu menatap ke Rindu.
"Entahlah, mereka juga tidak akan seperti itu andai Zean tidak keterlaluan."
Rindu menunduk menyesali perbuatannya.
"Masalah tidak akan besar andai aku tidak menentangnya, maafkan aku."
Gavin terperangah, sikap Rindu membuatnya salut pada gadis itu.
"Nggak, lo nggak salah, Ndu. Wajar lo membela diri, gua memang ingin lo tampil kuat, agar orang lain nggak semena-mena atau ngebully lo."
Bibirnya mengatakan demikian, tapi ekspresi Gavin yang mengkhawatirkan Zeana membuatnya cemburu.
" Terimakasih, Vin."
Bruk.
"Hah!"
"Tolong! Zeana jatuh pinsan."
Semua orang terkejut begitupun dengan Gavin dan Rindu.
The Geng Z itu berdiri memutari ketuanya yang sedang terkapar.
"Cepat bawa ke uks," ucap Tasya.
Tidak ada yang maju, tidak ada yang berniat untuk menolong.
"Kok pada diem sih? Kalian ini manusia atau bukan!?"
Erika dan Andra yang berada di lokasi itu juga tak berniat untuk mendekat.
"Alah, paling dia cuman pura-pura. Ratu acting, cari perhatian."
Tasya melongo, kata-kata seperti itu membuatnya kesal.
"Ngomong apa lo?" tantangnya.
Seorang pemuda menatap mereka remeh.
"Nyatanya tidak ada yang peduli. Paling akal-akalan dia aja agar bisa neduh. Yuk, cabut guys. Mending kita ke kantin. Keburu jam istirahat habis."
"Woi jangan kabur lo!"
Beberapa murid meninggalkan lapangan. Hati Gavin tergerak. Lelaki itu bersiap untuk menolongnya tetapi Rindu dengan berani menahannya.
Gavin berhenti saat tangan Rindu memegang lengannya.
"Jangan bilang lo juga memikirkan hal yang sama dengan anak-anak lain? Kita boleh membencinya tapi tidak boleh membiarkan dia terkapar begitu saja."
Rindu tersenyum.
"Bukan itu, aku ingin kau tetap di sini. The Gengnya ada, empat orang siswi tidak mungkin, tidak bisa mengangkat satu orang."
Gavin tersadar.
"Jadi."
"Biar aku yang kesana untuk menawarkan bantuan."
"Tapi, Rindu."
Rindu tetap kekeh.
"Tunggu dan lihat, Gavin." Dia pun berjalan mendekat, melewati murid-murid yang menonton sejak tadi.
Semua orang menatap Rindu. Begitupun dengan geng Z.
"Mau apa lo?" tanya Tasya kesal.
Erika dan Andra tampak bingung melihat kehadiran Rindu.
"Kau butuh bantuan, aku ingin membantumu."
Semua yang mendengarnya kini terkejut.
"Elo! Yang benar saja." Tasya jelas menolaknya.
"Lalu kau menunggu siapa? Apa perlu ku panggilkan sang penjaga gerbang?" Masih dengan ketenangan yang luar biasa.
Tasya mati gaya mendengar ucapan Rindu.
"Jika ada aku, dan kalian berempat. Aku rasa kita bisa membawanya ke uks. Kalian mau menunggu siapa? Memangnya nggak takut temennya kenapa-napa?"
The Geng Z akhirnya terpojok. Tasya sedikit gelagapan.
"Udah Rindu, nggak usah di ladenin. Mereka itu alasan saja. Ketahuan kok kartunya!"
Rindu tetap berdiri di posisinya. Menunggu The Geng Zeana bergerak.
"Erika, tolong panggil bu guru dan penjaga sekolah, sepertinya mereka tidak percaya bantuanku."
Erika terkesima.
Rindu menoleh lalu tersenyum ke arah gadis itu.
"Oke, tunggu ya."
Tasya terlihat panik. Mendengar Rindu melibatkan guru dia pun bersuara.
"Eh nggak perlu, kita bisa kok. Ayo guys, bantu Zean berdiri."
Erika dan yang lainnya terkejut melihat Tasya dan teman-temannya. Jika bisa sendiri kenapa tadi meminta bantuan? Mereka membopong tubuh Zean menjauh.
"Perlu bantuanku?" tawar Rindu sekali lagi.
Tasya menggeleng. Rindu pun mundur. Mereka perlahan cabut dari sana.
"Kan, udah ke tebak permainannya. Udah basi kali cara seperti ini. Hebat juga lu. Bisa membuat mereka berhenti ngedrama," komentar kakak kelasnya membuat Gavin meringis.
Rindu menoleh ke arah pemuda itu.
"Kakak salah paham, aku memang ingin membantunya."
"Lo terlalu polos, kita udah tahu sepak terjangnya. Lain kali abaikan saja, ya."
Rindu menunduk dan tidak membalas ucapan lelaki itu.
"Ndu, lo tahu ini?" Gavin menghampiri.
Rindu menggeleng.
"Udah yuk, masuk ke kelas. Jangan memikirkan yang tidak-tidak."
"Eh, tapi!"
Rindu menarik Gavin pergi. Semakin lama di sana mereka akan mendengar semakin banyak kebusukan. Rindu tidak mau menjejali kepalanya dengan pikiran kotor.
**
Disisi lain.
Zeana sangat kesal, dia sangat dongkol saat tiba di ruangan uks. Rencananya memancing Gavin datang menolong sirna sudah.
"Ih nyebelin, lepasin gue!"
Tasya dan gengnya berhamburan, salah satu dari mereka langsung sigap mengunci pintu.
"Hush, diam dong Z. Jangan sampai suara lo di denger sama anak-anak."
Zeana menatap jengah.
"Semua ini gara-gara tu cewek. Gue yakin, Gavin pasti bakal nolongin gue andai dia nggak datang."
Tasya yang mendengarnya sudah muak.
"Stop, Zean. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Lo di permaluin di depan semua orang karena lo terlalu terobsesi dengan Gavin. Lo itu sebenarnya jahat tahu nggak. Lo mau adeknya tapi macarin kakaknya. Lo waras kan? Jangan serakah deh. Apa pun yang berlebihan itu selalu nggak baik."
Zean menatap Tasya. Hanya gadis itu yang berani menentangnya.
"Kalau Gavin jatuh hati ke gue, kakaknya mah bodoh amat, gue nggak peduli sama siapapun kecuali diri gue sendiri."
Tasya menggelengkan kepala.
"Lo seyko, bener kata temen-temen. Lo gila, terlalu ambisius membuat lo akan hancur, Zean."
"Diem Tasya! Nggak usah ceramah, selama hati gue seneng. Gue akan lakuin apapun."
The Gengnya menatap sendu.
"Kalau gitu lo nggak perlu kita, lo hanya peduli dengan diri lo sendiri. Ingat Zean, Devon lelaki yang baik. Jangan di sia-siakan."
Gengnya kesal melihat tingkah laku Zeana yang selalu mencari perhatian.
"Yuk cabut. Gue rasanya malu jadi temen dia."
Zean kehilangan respect dari teman-temannya. Semua orang pergi dan tinggal lah dia berbaring dalam sandiwaranya.
Harapan terakhirnya, adalah. Gavin akan datang mencarinya saat jam pulang sekolah.
Setelah beberapa menit, waktu berlalu dan pelajaran terakhir pun selesai. Lonceng berbunyi, para murid berhamburan. Zean berharap besar kali ini Gavin akan datang.
Dia menunggu hingga sekolah menjadi sepi. Tidak ada yang mengingat dirinya sama sekali. Bahkan Gengnya tidak muncul untuk sekedar berpamitan.
Zean terpaksa meraih ponsel dan menghubungi seseorang.
[Jemput aku, aku sedang di ruang uks. Semua orang telah pergi meninggalkan aku sendirian.]
Send pesan terkirim.
Zean menunggu balasan dengan sabar.
Ting.
[Aku menuju ke sana.]
Senyumnya merekah, lelaki itu memang tidak pernah mengecewakannya. Zean kembali berbaring menikmati waktunya.
Tanpa sepengetahuannya, di kuar sana. Tim Gavin masih tinggal di sekolah. Bu Hafzah memberikan mereka bahan dan meminta menyelesaikan tugas prakarya saat itu juga.
Rindu, Erika, Andra dan Gavin duduk dengan posisi melingkar.
Meski kecewa pulang terlambat tapi, aktivitas itu sangat seru karena hanya tinggal mereka dan Mang Khaidir juga penjaga kantin yang berada di sana.
"Makan, yuk. Laper nih," ajak Andra.
Rindu dan Erika menatapnya bersamaan.
"Kan belum selesai, gimana sih. Main cabut aja." Rindu tidak setuju.
"Gua punya maag akut, harus makan tepat waktu."
Erika mengangguk untuk mendukungnya.
"Ah, baiklah. Kalian duluan saja. Aku akan merendam bahannya dulu."
Erika lantas berdiri bersama kekasihnya.
"Oke, kami tunggu di kantin," ucap gadis itu bersemangat.
Andra menoleh pada Gavin.
"Bro, lo nggak ikut? Gua teraktir deh, hitung-hitung karena lo udah ngasih pelajaran ke mak lampir."
Rindu dan Erika tertawa.
"Ih, jahat banget sih."
"Emang iya kan, kayak nenek sihir. Kalau bukan karena dia, kita nggak mungkin kerja dua kali lipat seperti sekarang. Ayo, Vin. Buruan."
Gavin melengos.
"Ogah ah. Paling lu traktirnya bakso doang, minumnya kagak. Males gua." Gavin selonjoran. Bodoh amat dengan ajakan Andra.
"Yakin lu? Bajet buat lu lima puluh ribu."
Wajah Gavin berubah cerah.
"Oke, I'm coming. Ayo, Ndu buruan!"
Gavin berdiri dengan senyum melebar, setidaknya dia bisa jajan hari ini.
"Duluan aja, pesankan seperti biasa. Aku akan siapkan semua bahan jadi nanti tinggal di kerjain."
"Lo yakin?"
Rindu mengangguk.
"Iya dong, sana Vin. Ingat pesanan aku, ya."
Andra menarik Gavin tidak sabar.
"Ayo buruan!"
"Oke, tapi jangan lama-lama, Ndu!"
Mereka saling melempar senyum. Rindu fokus dengan pekerjaannya. Dia membayangkan kali ini akan membuat prakarya dengan bentuk apa.
"Oh iya, aku kan bawa bekal. Kasih ke Gavin pasti tambah kenyang. Aku harus ke kantin."
Blash, cit. Bruuuot.
Rindu terkejut. Dia tak sengaja menginjak salah satu warna dan menyemprot di seragamnya.
"Aduh, ceroboh banget. Pasti bakal kena omel mama nih."
Rindu berusaha membersihkan seragamnya, naasnya warna biru itu malah menyebar ke seluruh seragam putihnya.
"Ya, jangan."
Kedua tangannya penuh dengan warna. Dia panik lalu bergegas menuju ke toilet. Di saat yang sama. Devon tiba di sekolah. Lelaki itu memarkirkan mobilnya lalu masuk ke bangunan sekolah tanpa izin.
Mang Khaidir sedang tidak ada di pos.
Devon pun kewalahan mencari ruangan uks. Sudah berputar-putar berapa kali, tapi dia tidak menemukan jalannya. Devon menatap semua ruangan, berusaha mencari tujuannya. Tapi tak ketemu juga.
"Mungkin di sana," tunjuknya pas di persimpangan jalan.
Saat dia berbelok.
Bruk.
"Awwh," Seseorang menabraknya dan Rindu meringis karena terjatuh di atas tubuh lelaki itu.
Posisi itu membuat Devon menahan napas.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Mendengar suara yang begitu asing. Rindu mendongak dan terkejut.
"Ya ampun, maaf saya tidak sengaja."
Rindu segera menyingkir, Devon yang masih terlentang melihat bajunya yang terkena noda cat dari Rindu.
"Hah, maaf! Maaf! Akan saya cucikan, maaf Kak."
Devon menatapnya lekat.
"Kau, sedang apa kau berkeliaran di sekolah yang sudah tutup?"
Rindu mengernyit, dia sama sekali tidak mengenal lelaki yang ada di hadapannya itu.
"Saya masih ada tugas, membuat prakarya. Kakak sendiri, tidak memakai seragam. Sepertinya bukan anak sekolah sini. Sedang apa?"
Devon bangkit dan menatap pakaiannya.
"Saya Devon, kesini mau jemput pacar saya."
Rindu mengangguk seperti anak kecil.
"Eh, tapi kenapa masuk ke sekolah. Ini tidak benar, aku harus lapor Mang Khaidir!"
Devon meringis, dia menahan Rindu dan membekap mulutnya yang siap berteriak.
"Heeemm!"
"Hush! Pacarku sedang sakit, dia di ruang uks. Aku di minta menjemputnya di sana. Apa kau bisa menolongku?"
Rindu berpikir sejenak. Devon memperhatikannya dengan seksama. Melihat Rindu tidak memberontak dia pun melepaskannya.
"Anggap aja sebagai permintaan maafmu. Kau mengotori pakaianku."
"Baiklah, tapi untuk jaga-jaga. Kakak jangan deket-deket."
"Kenapa?"
"Mana tahu orang jahat, iya kan."
Devon berdecak, gadis itu sangat menggemaskan.
"Oke, dill."
Rindu mencuci tangannya lebih dulu. Rambutnya tergerai hingga Devon tak bisa membaca namanya.
"Lain kali jika mau masuk ke sekolah, izin dulu. Jangan sampai di kira maling atau penjahat. Kan berabe kalau di pukulin mang Khaidir. Bisa bonyok."
Devon terkekeh mendengarnya.
"Oke, lain kali nggak akan aku ulangi lagi."
Rindu berjalan naik ke lantai dua. Dia sama sekali tidak meragukan lelaki itu.
"Nah, itu dia." Aku anterinnya sampai sini saja, ya. Temen-temen udah nungguin di kantin."
Devon menatapnya heran.
"Temen-temen?"
Rindu mengangguk.
"Iya, tim aku yang harus menyelesaikan tugas. Ada insiden kecil jadi tugas kami hancur. Jadi mesti ngulang, eh kok aku curhat, ya?"
Devon menertawainya.
"Soal baju kakak bagaimana? Saya benar-benar minta maaf."
"Nggak masalah, nanti - ...."
"Oke, terimakasih." Rindu langsung cabut tanpa menunggu Devon selesai bicara.
Devon terhenyak, dia melepas gadis itu dengan senyuman.
"Ceria sekali. Seperti anak smp."
Lelaki itupun masuk menemui Zeana di dalam sana.
Tok tok tok.
Pintu di buka, melihat Devon yang datang Zean langsung melancarkan misinya.
"Sayang, bagaimana keadaanmu?"
Zean menangis dan memeluk Devon.
"Aku jatuh di lapangan, habis di hukum oleh guru karena Gavin."
"Gavin?"
Zean mengangguk.
"Kok bisa?"
Zean mendelik.
"Sepertinya dia membenciku. Dia tak sekalipun membelaku."
Devon menyentuh kening Zean, suhu tubuhnya normal. Dia tak bertanya lebih tapi Zean terus bicara panjang lebar.
"Sayang, aku sangat malu hari ini. Adikmu benar-benar mempermalukan aku."
"Gavin tidak mungkin seperti itu. Dia tidak akan melakukan hal yang nekat apalagi jika lawannya seorang perempuan."
Zean kesal, Devon sama sekali tidak mempercayainya.
"Oh gitu, kamu lebih percaya sama Gavin ketimbang aku?"
Devon menggeleng, sungguh lelah berhadapan dengan kekasihnya itu. Zeana selalu membuatnya serbah salah.
"Bukan begitu, dengar aku dulu."
"Nggak, kamu memang udah berubah. Kamu jahat! Lebih baik aku pulang sendirian."
Devon berusaha menenangkannya.
"Aku udah nyampe loh, kamu nggak kasihan sama aku?"
Zean nampak bete, wajahnya semakin kesal saja.
"Kamu pasti akan mempercayai Gavin kan, semua yang dia katakan. Dia akan menjelek-jelek kan aku."
Devon tarik napas, dia menggaruk kepalanya dengan kasar.
"Terserah!"