Rindu menyuguhkan teh hangat dan juga cemilan yang telah di buat sang mama sore tadi. Gadis itu juga tampak telaten memanaskan lauk dan makanan lainnya.
"Pa, ini tehnya. Rindu tinggal sajiin makanan dulu ya."
"Oke,"
Riki menatap ke sekeliling. Dia menghirup wangi teh buatan putrinya dan meneguknya perlahan.
Rasa hangat menjalar ke tenggorokan, rasanya nikmat dan nyaman.
"Pa, Mama ke rumah sakit jagain bude," sahut Rindu dari dapur.
"Papa tahu, libur kerja kita akan menyusul."
Rindu selesai dengan makanannya dan bergabung di ruang tengah.
"Pa, Rindu kan libur nih. Boleh nggak besok Rindu nemuin mama sendiri," pintanya.
"No, kalau mama bilang nggak boleh ya nggak boleh. Jangan ngeyel."
"Tapi, Pa. Bosan tahu di rumah terus, sendirian lagi."
Riki menatap putrinya, segenap hati dia membawanya ke dalam dekapan.
"Mama punya alasan sendiri kenapa kamu nggak boleh berkeliaran di rumah sakit. Papa nggak mau membahasnya karena ini udah larut dan papa capek banget. Besok kamu boleh jalan-jalan tapi di sekitar komplek aja atau di taman depan. Lebih dari itu, no!"
Rindu menghela napas.
"Iya deh." Gadis itu merasa bingung bagaimana caranya menceritakan tentang undangan makan malam dari orangtua Gavin. Dia ingin bercerita tapi di hadapan sang mama.
"Uh, kamu nggak makan?" tanya Riki saat bangkit dari sofa.
"Udah, Pa. Rindu udah kenyang. Tadi makannya duluan karena papa lama banget."
"Oke, papa makan malam dulu ya!"
Rindu mengangguk mengiyakan.
Saat sang papa menuju ke meja makan. Ponsel Rindu terus berdenting di dalam kamar. Ya, dia Gavin memberinya kabar bahwa pemuda itu telah sampai.
Rindu tak beranjak sama sekali, dia seolah asyik menikmati acara di televisi. Menunggu sang papa benar-benar selesai baru naik ke lantai dua.
"Bagaimana, Pa? Enak kan masakan Rindu?"
Riki terperanga dan kembali ke ruang tengah.
"Memangnya masakan kamu yang mana?"
"Yang mie instan lah, yang mana lagi."
Riki tersenyum konyol.
"Kalau nggak bisa masak mie itu keterlaluan namanya, Ndu."
"Ih, Papa. Ketimbang bilang enak saja, pelit."
Riki tertawa kecil.
"Iya deh, enak."
"Auh ah, Rindu udah ngambek."
Rindu bangkit untuk merapikan bekas makan sang Papa lalu mencucinya. Beberapa menit kemudian dia lalu naik ke kamarnya.
"Mau kemana, nggak nonton dulu?"
Rindu menoleh.
"Nggak ah, udah bete banget sama papa."
"Gitu aja ngambek, masa udah SMA ngambekan."
"Au ah, papa nyebelin ih!"
Riki hanya tersenyum melihat wajah cemberut dari putrinya. Dia memang sangat suka menggoda putrinya. Rindu tiba di kamar, dan melepaskan handuk yang melilit kepalanya. Perlahan melepaskan hiasan dan merapikan rambutnya.
Ponselnya terus menyala di atas kasur, Rindu selesai dengan riasannya lalu menuju ke ranjang untuk melihat ada apa?
Pesan dan panggilan video tak terjawab datang dari Gavin.
Rindu menatapnya gugup.
[Aku sudah sampai di rumah. Kamu sedang apa?]
Rindu menatapnya lama, bingung mau membalasn dengan apa.
Tring.
Satu pesan masuk datang lagi.
[Kamu pasti lelah, selamat istrahat ya. Jangan lupa mimpin aku.] Emot hati berjejer di belakang pesannya.
"Dih lebay."
Rindu meletakkan ponselnya dan tersenyum simpul. Gavin benar-benar berubah, dia menjadi sosok yang romantis dan sedikit bucin.
Rindu sangat menyukainya namun malu untuk mengungkapkan.
**
"Ehm! Ngapain tuh," goda Devon saat melihat adiknya melamun menatap ponsel menunggu balasan.
"Apaan sih, ngerecokin aja."
Mereka sedang santai di ruang tengah, Agatha dan Zean telah pulang dari tadi.
"Ponselnya anteng banget, Vin. Nggak di balas lagi ya?" Devon melirik dan asyik menertawakan reaksi sang adik.
"Abang kok rese sih!"
Perdebatan mereka terdengar hingga ke dapur.
"Ada apa ini? Bukannya happy kekasihnya udah bertemu sama mama." Nagita ikut bergabung.
"Abang nih Ma, rese banget. Nyebelin, mau tahu aja sama urusan orang lain."
Nagita tertegun mendengarnya
"Gavin, ngomongnya kok kasar gitu?"
Gavin semakin bete membuat tawa Devon kian meledak.
"Ma, kalau cewek telat ngasih balasan pesan atau telepon. Atau bahkan nggak ngasih balasan sama sekali itu gimana sih. Apa iya, dia nggak suka dan nggak serius sama kita."
"Kok ngomongnya gitu? Emang Rindu nggak balas pesan kamu?" Nagita memperhatikan putra bungsunya itu. Gavin tampak kehilangan mood dan berbaring di atas pangkuan sang mama.
"Mungkin dia sibuk, atau merasa malu, kau tahu anak perempuan sangat lembut."
Gavin berdecak.
"Malu, masa sama pacar sendiri malu."
Nagita tersenyum mendengarnya.
"Iya dong, mama aja sama papa kamu masih malu-malu. Mama terkesan cuek kalau berbalas pesan, namun sebenarnya yang terjadi. Mama sungkan, kadang malu atau bingung mau bilang apa."
"Dengerin tuh, makanya jangan di buat tertekan dong Rindunya. Kirim pesan itu sewajarnya aja." Devon menimpali pembicaraan mereka. Tak lama ponsel sang kakak berdering dan Devon langsung menghindar untuk menuju ke lantai dua agar tidak ada yang menganggu pembicaraannya.
"Lihat tuh, kalau bang Devon mah, udah kebablasan, Ma. Dia akan nelpon sampai kupingnya pengang. Heran."
"Udah, ah. Biarin aja."
Gavin kian bete. Dia berharap Rindu juga demikian. Sedikit menuntut waktunya agar lelaki itu menelpon menemani waktu senggang. Namun, hubungannya malah terkesan melempem, Rindu lebih asyik saat mereka mode teman seperti dulu.
"Rindu itu unik, Vin. Wajarlah kalau dia tidak seperti gadis seusianya. Dia tak membalas belum tentu nggak cinta kan."
Gavin mendengarkan nasehat bijak dari sang Mama.
"Mama benar, tapi kadang Gavin sengaja buat kejutan untuk dia. Bawa-bawa teman satu rombongan. Bukannya seneng dia malah makin diam. Di tanyai eh dia malah tampak santai gitu, aku benar-benar mati gaya karenanya, Ma."
Nagita tertawa ringan.
"Aneh juga ya, kuat banget dia kalau nggak pernah salting sama kamu. Secara anak mama kan ganteng."
"Salting kadang-kadang sih, cemburuan juga. Kalau Rindu cemburu auto nyerah, Ma. Dia ngambeknya susah buat di bujuk."
"Oh ya?"
"He um." Gavin bangkit dan duduk di hadapan sang mama.
"Aku punya permintaan, semoga mama dan papa mau mempertimbangkan," ucap pemuda itu serius
"Apa itu?"
Sang Papa Ardian baru saja bergabung dan menatap anak dan istrinya.
"Bahas apaan nih, kok wajahnya tegang gitu?"
Gavin menatap sendu.
"Ini, Pa. Katanya Gavin ada permintaan. Ngomong aja, Nak. Siapa tahu mama dan papa bisa kabulkan," ucap Nagita.
Gavin menjadi gugup, kedua orangtuanya menatap lekat.
"Em, Pa, Ma. Boleh nggak lulus sekolah nanti, Gavin kuliahnya di sini saja."
Kedua orangtuanya langsung saling memandang.
"Gavin janji nggak akan bandel, juga nggak akan nakal."
"Alasan dari permintaanmu ini, apa, Vin?"
Gavin tertunduk, bingung tak tahu harus beralasan apa.
"Apa karena Rindu?" tebak Nagita.
Gavin mendongak, dia tak menampik tapi juga tak mengakui.
"Jika alasannya karena kamu punya pacar. Mama nggak setuju."
Nagita menatap tegas.
Gavin takluk tak mampu membantah.
"Perpisahan selama beberapa tahun untuk mengejar pendidikan itu nggak berat, Vin. Yang ada itu akan memperkuat cinta kalian. Lihat Devon, sebelumnya dia kuliah di sini. Dia punya masalah dengan Zean, berangkat ke Singapore dan menjalani hubungan jarak jauh. Buktinya cinta mereka semakin lengket. Kalau soal ada yang selingkuh bukankah itu baik."
"Kok gitu, Ma?" Gavin menatapnya tidak percaya.
"Iya, dong. Kan dengan begitu kamu bisa tahu aslinya seperti apa. Dia ngga bisa setia artinya kalian nggak jodoh, dengan cobaan seperti ini saja dia sudah nyerah bagaimana jika mau di ajak hidup berumah tangga."
Gavin tertunduk, ucapan sang mama langsung keintinya dan memberikan penolak tegas.