Chapter 55 Kesabaran yang meledak.

1078 Kata
Waktu berlalu dengan cepat. Liburan sekolah ini di manfaatkan Gavin dan keluarga untuk menghabiskan waktu bersama. Sudah sangat lama setelah acara makan malam waktu itu. Gavin benar-benar tidak sabar menunggu kabar baik dari Rindu yang tak kunjung datang. Tidak ada pesan juga tidak ada telepon. "Vin, bagaimana dengan rencana makan malam bersama dengan keluarga Rindu? Waktu kami semakin sempit. Jangan sampai nggak jadi loh." Nagita memperingatkan. Gavin menghela napas panjang. "Nggak tahu ah, Ma. Gavin juga bingung. Rindu tak pernah ngabarin, di telepon pun nggak di angkat." "Kok gitu?" tanya sang mama heran. "Nggak tahu, Ma." Gavin mendadak bete karenanya. "Kamu nggak coba samperin, Vin?" tanya Devon yang juga peduli dengan adiknya itu. "Nggak, Bang. Sekali-kali dia harus tahu kalau aku tidak suka diperlakukan seperti ini." Ardian yang mendengar ucapan putranya terkejut. "Cinta tak memandang gensi, Vin. Kau harus bisa mengalah dan membujuknya," sang mama kembali menasehati. "Tapi, mau sampai kapan Ma? Masa Gavin terus yang harus mengalah." "Abang bantu bicara sama Rindu mau nggak?" tanya Devon. Gavin terkekeh. "Terserah abang." Pemuda itu berbaring lemah di atas sofa, moodnya mendadak kacau karena pertanyaan membahas Rindu. Dia kembali melihat layar di ponselnya, mengecek kalau-kalau Rindu akan mengabarinya. Namun, harapan itu semu, tak ada apapun di sana. "Ma, aku cabut ya!" seru Gavin meraih kunci motor. "Mau kemana?" "Hang out bentar, bosan di rumah terus." Pemuda itu mengulurkan tangan menjabat tangan kedua orangtuanya. "Oke, ingat pulangnya jangan kemaleman, oke." "Siap, Ma." Gavin meningalkan rumah dalam keadaan yang kacau. Di naikinya si kuda besi dan mengerang di jalanan. Gavin tidak tahu mau kemana, dia hanya ingin tempat dan waktu sendirian. "Dev, tolong ikuti adikmu. Mama takutnya dia akan kenapa-napa." "Ya, mama ngomongnya telat, sekarang Gavinnya udah jauh, mana bisa ke kejar." "Cari aja sih, masa tempat nongkrong adiknya sendiri nggak tahu, kamu payah." Devon tertegun. "Ye mama, ya udah Devon pergi. Tapi, kalau nggak nemu jangan di marahin ya." "Iya, asal nggak kelayapan aja, kamu. Awas kalau nemuin Zean." "Iya, bu boss. Siap laksanakan!" Nagita tersenyum mendengar candaan putranya. ** Gavin menuju ke pantai dan duduk di atas pasir putih, dia melempar pandangan ke arah laut memikirkan segala masalahnya membuat kepalanya berdenyut. Gavin memutuskan untuk memperingatkan Rindu soal makan malam keluarga itu. [Hay, Ndu. Sudah satu minggu berlalu, kau kemana saja? Telepon tak di angkat pesan tak di balas. Rindu aku ingin bertemu.] Send. Menunggu lagi beberapa saat namun tak ada balasan yang datang. "Ah sial! Semua ini percuma." Tring. Notif pesan tiba-tiba masuk. Pesan balasan dari Rindu membuat Gavin terpukau. "Wow, apa ini nyata?" Disana tertulis. [Hay, Gavin. Mari bertemu di tempat biasa. Aku sedang menuju ke taman.] Mata Gavin melotot. Tak menunggu waktu lama untuk segera bangkit dan berlari keluar dari tempat itu. Dia meraih helm dan mengeluarkan motornya dari barisan. Gavin menstater dengan cepat lalu keluar dari area itu. Tak di sangka Rindu benar-benar membalasnya dan ingin bertemu. 10 menit. Gavin mengendara ugal-ugalan dan tiba dalam waktu sepuluh menit. Rindu yang baru tiba terkejut mendengar suara ban berdecit karena tarikan rem yang kuat bertemu dengan aspal. Sejenak jantung Rindu seolah berhenti berdenyut. Motor itu berhenti dengan posisi berputar setelah melakukan freestyle. Gavin pun terkejut dan heran bagaimana dia bisa melakukannya. Semuanya begitu mendadak dan dia hanya mencoba untuk tidak terjatuh. "Gavin!" teriak Rindu menghampiri. Gavin mendongak, dia mematikan mesin motor lalu membuka helm. Rambut lelaki itu tampak berantakan. Dia turun dari motornya bermaksud menghampiri Rindu tapi gadis itu berjalan cepat untuk memukulnya. "Kau ini! Apa kau mau mati di atas motor, ha!" "Auw, sakit." "Biarin! Kau membuatku jantungan. Apa-apaan itu." Netra Rindu memerah, dia benar-benar sangat khawatir untuk saat ini. "Rindu, hey." Gavin memeluknya saat melihat gadis itu begitu frustasi. Rindu tampak begitu tertekan dan menangis di pelukannya. Gavin tak pernah menemukannya serapuh ini. "Ada apa? Cerita padaku." Rindu menumpukan kepalanya pada d**a bidang lelaki itu. Dia tak ingin membagi kesedihannya pada Gavin. Pemuda itu menuntunnya menuju ke taman. Hari sudah sore dan taman mulai sepi. Mereka duduk di salah satu bangku dan saling diam satu sama lain. "Rindu, sebenarnya aku ingin bertemu untuk membicarakan sesuatu." Rindu menyeka airmata yang lolos begitu saja. "Mama papaku akan pulang minggu depan akhir, kau tahu kan permintaan mereka." Rindu mengepalkan tangan lalu tertunduk. Reaksinya membuat Gavin bertanya-tanya. "Ada apa? Apa mama dan papamu tidak mengizinkan?" Rindu menggeleng lemah. Gavin menatapnya seolah menuntut jawaban saat itu juga. "Gavin, aku rasa keluargaku takkan mampu memenuhi undangan itu." Gavin tercengang, sungguh bukan itu jawaban yang dia inginkan. "Jangan main-main, Ndu. Kau tahu bagaimana semua ini sangat penting." Rindu terlihat sangat tertekan. "Memangnya apa jawaban dari orangtuamu?" Rindu memberanikan diri menatap kekasihnya itu. "Aku belum sempat membicarakannya, Vin." "What!" Gavin bangkit mengacak rambutnya dengan kasar. "Apa kau serius padaku, Ndu! Kau tahu bagaimana usaha kedua orangtuaku untuk datang menemuimu." Rindu tertunduk pasrah. Dia tahu Gavin akan semarah ini. "Apa kau tidak mencoba untuk bicara, sampaikanlah walau hanya sekali. Ku mohon." Gavin kembali menangkup tangan kekasihnya. Rindu menggelengkan kepala, menolak keinginannya. Hal itu membuat Gavin benar-benar terluka. "Maafkan aku, Vin. Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa, Ndu? Kenapa tidak bisa, apa perlu aku yang menemui mereka meminta dengan tulus. Itu yang kau ingin? Kalau begitu ayo." Gavin bangkit menarik Rindu ikut serta. "Vin, hentikan!" Rindu berusaha menolak dan melepaskan diri namun Gavin seolah kalap. "Nggak, aku tidak yakin bahwa kau akan bicara." "Vin, aku mohon hentikan." Gavin tiba di motor dan Rindu masih berkeras tak mau menurutinya. Gavin meraih helm, saat tangannya terlepas Rindu segera pergi. "Kamu mau kemana!" Gavin msngejar dan kembali memegang tangannya namun sang kekasih Rindu terlanjur kesal. Plak. Gavin terkejut. Rindu baru saja menamparnya. Pandangan mereka bertemu dan rasa kecewa Gavin semakin menyeruak. "Aku tidak bisa, ya tidak bisa! Kamu ngerti nggak sih!" Gavin diam sejenak hatinya hancur mendapatkan perlakuan ini. "Kamu egois tau nggak, kamu hanya memperdulikan kepentingan sendiri." Gavin kehilangan kata-kata. Jauh dalam hatinya diapun ingin berteriak. Wajah Rindu terlihat merah padam. Tatapannya menghunus karena amarah dalam hatinya. "Apa kau tidak sayang padaku, Ndu? Aku tidak tahu masalahmu apa? Tapi jika kau menganggapku egois, maka kau di namakan apa?" Rindu menggigit bibirnya, airmatanya jatuh tak terbendung. "Sudah satu minggu, aku mengirimkan pesan juga menelponmu. Tapi, apa yang aku dapatkan. Apa kau membalasnya? Tidak kan." "Jika ingin putus dariku kau hanya perlu bilang, jangan buat aku terus berusaha dan kau tampak acuh tak peduli." Deg. Rindu melihat tatapan terluka di mata Gavin, tak mendapatkan jawaban dari kekasihnya. Gavin pun memilih pergi. Dia tak mau menangis di hadapan orang yang tidak menghargainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN