Omongan Rindu bukanlah isapan jempol semata, dia benar-benar pindah dan kini duduk pas di belakang Gavin. Tidak memilih teman sebangku membuatnya berpikir akan aman dari amukan sahabatnya itu.
Ting ting ting ting.
Lonceng berbunyi, Gavin dan yang lainnya kembali ke kelas. Pandangan lelaki itu langsung tertuju pada Rindu yang sudah stay di bangku barunya.
"Lo ngapain, di belakang?"
Gavin merebut tas Rindu dan memindahkannya ke depan.
"Apa sih, aku mau duduk sendirian."
Rindu menarik ujung tas miliknya. Dua sahabat itu saling menatap di saksikan oleh murid yang lain.
"Lo kenapa? Dateng bulan ya, ha?"
Rindu menatap sedih, dia merebut tas miliknya dengan paksa.
"Bukan urusan kamu."
Gavin membiarkannya, setidaknya Rindu masih dekat dengannya. Pelajaran berlangsung dan Bu Hafzah mengisi kelas. Melihat Gavin dan Rindu tidak duduk bersama, sang wali kelas itu hanya diam sejenak.
"Anak-anak, sekarang kita buka halaman 30 sampai 32, kerjakan soal yang kita bahas kemarin. Dan kumpulkan sebelum bel berbunyi."
"Baik, Bu."
Gavin dan Rindu membuka buku sekolah masing-masing. Rindu tampak serius mengerjakan tugas sedang Gavin merasa gundah.
Waktu berlalu dan pelajaran terakhir pun selesai. Gavin sudah selesai dari tadi, dia tak beranjak karena menunggu Rindu sejak tadi.
Satu per satu murid meninggalkan kelas, termasuk Rindu yang berdiri bersamaan dengan Andra.
"Ini, Bu." Bu Hafzah menerima buku dan memeriksa tugas Rindu.
"Silahkan pulang."
"Terimakasih," Setelah memastikan Rindu pergi, Gavin pun menyusul.
Gadis itu berjalan menuju ke mobil jemputan. Tanpa sepengetahuan Rindu, sahabatnya itu mengekorinya dari belakang.
"Silahkan, Non." Pak Supir membukakan pintu dan tersenyum pada Gavin.
"Terimakasih, Mang."
Rindu masuk ke mobil, dan tiba-tiba.
"Geser, woi! Geser! Geser!"
Rindu yang terkejut segera bergeser, hal itu membuat Gavin tersenyum konyol.
"Kau!" pekik Rindu kesal. Dia merasa sedang di bodohi.
"Iya, Ndu. Ini gua."
"Ngapain kamu di mobil aku, sana keluar."
Gavin menghela napas, dia mengeluarkan dompet dan memperlihatkan isinya pada Rindu.
"Gua bokek, lu tega lihat gue jalan kaki pulang ke rumah."
Rindu menoleh ke sekeliling, beruntung tidak ada siapa-siapa di sana. Rindu sangat takut jika ada seseorang yang akan melaporkannya pada Geng Zean.
"Iya, iya. Tapi, ini terakhir kali ya, lain kali nggak boleh."
"Oke, thank you, Ndu."
Rindu menyipitkan matanya. Kesal karena tidak dapat menolak.
"Pak, jalan. Antarkan dia dulu," pinta Rindu pada supir pribadinya.
"Baik, Non."
Mobil meninggalkan parkiran, sepanjang perjalanan Rindu membuang wajah ke arah jendela.
Jarak tak kasat mata membentang, memisahkan hati yang saling mengasihi.
"Hoam, Pak ke jalan Kenanga, ya. Nomor 205, terimakasih."
"Baik, Den. Sama-sama."
Gavin pun bersandar, matanya terpejam tapi tidak terlelap. Gavin hanya sedih satu mobil dengan Rindu tapi tidak saling bicara. Dia tidak mengerti kenapa gadis itu tiba-tiba berubah.
Lima belas menit kemudian.
Sang supir berhenti. Gavin sengaja tidak membuka mata menunggu Rindu bereaksi.
"Sudah sampai, Den," seru pak supir sopan.
Marsya melihat keluar, rumah Gavin sangat mewah, sangat aneh melihat anak orang kaya di hukum sedang pemuda itu tidak bandel sama sekali.
"Ehm, Vin. Udah sampai nih. Bangun dong," pinta Rindu memandangi wajah sahabatnya lebih dekat.
Bukannya bangun, Gavin malah menyenderkan kepalanya di bahu gadis itu.
"Hah,"
Gadis itu terkejut, dia menatap pak supir yang kini memergokinya.
Rindu menjadi tegang, Gavin bisa merasakannya.
"Vin, kamu udah sampai!" teriak Rindu kuat. Suara melengkingnya membuat Gavin dan pak supir pengang.
"Buset deh, lo udah nelen petasan atau gimana sih? Ribut banget."
Rindu menggigit bibirnya, dia sangat malu mendengar komentar Gavin.
"Habis nggak mau bangun, sana pergi, udah sampai kan."
Gavin melihat keluar, sesuai pesanan. Dia sangat lega.
"Yup, thank you, Ndu. Ntar sore kita ketemu di taman, ya. Anak-anak akan menyusul ke sana."
"Eh tapi!"
Gavin segera keluar dan menutup pintu mobil.
Dia melambaikan tangan melepas kepergian Rindu.
"Lo nggak akan bisa nyuekin gua, Ndu. Semakin lo jauhi, gua akan semakin bersemangat untuk membuat lo terus berada di sekitar gua," batinnya.
Gavin berjalan masuk setelah penjaga rumahnya membuka pintu pagar.
"Siang, Den."
"Siang, Pak."
Istrahat sejenak, di ruang tamu sambil menunggu Devon kembali. Bibi datang membawakan minuman dan juga cemilan.
"Den, Gavin? Gimana caranya pulang ke rumah secepat ini? Bukannya aden nggak boleh bawah motor dan uang jajan di cabut?"
Gavin tersenyum.
"Rahasia dong, Bi. Mau tahu aja."
Gavin mencicipi jus buatan si bibi. Dan beralih menuju ke ruang keluarga.
"Den, kan ada mamang. Biar mamang yang jemput ya, kasihan den Gavin harus jalan kaki pulang ke rumah."
Gavin menggeleng.
"Tidak perlu, jangan buat Bang Devon marah. Kalian tenang saja, aku kuat kok."
Bibi yang telah bekerja dengan keluarga Ardian cukup lama, hingga pemuda itu telah duduk di bangku SMA. Merasa khawatir pada Gavin, apalagi pemuda itu tidak pernah di perlakukan seperti ini sebelumnya.
"Bagaimana kalau den Gavin menyerah aja. Jauhi temen aden itu."
"Bibi ini, masa saya harus jauhi orang yang ngga ada salah sama saya, kan nggak sopan."
"Tapi, Den."
"Sudahlah, sore nanti aku akan keluar untuk bekerja kelompok. Jika bang Devon belum pulang. Tolong bibi sampaikan, ya."
Sang Bibi hanya bisa merenggut.
"Baik, Den."
Gavin menuju ke kamarnya dan berbaring sebentar. Tak lama, ponselnya berdering. Telepon datang dari Andra.
[Hallo]
[Bro, kita akan berkumpul dimana? Gua bawah Erika nih, sebagai pelengkap tim kita.]
Gavin memejamkan mata, Andra bersiap terlalu cepat.
[Di, taman. Jalan Azoka, duluan aja. Gua nyusul kok.]
[Oke, Bray. Sampai ketemu di taman.]
Gavin bergegas mandi lalu berganti pakaian. Dia memakai kaos berwarna putih dengan kemeja berwarna biru sebagai pelengkapnya. Tidak lupa, gel untuk menata rambutnya tetap stay dan cool.
"Oke, saatnya ngeluarin sepeda."
Gavin meraih ransel dan mengirim pesan ke Rindu.
[Anak-anak udah otw, sampai jumpa di taman.] ucapnya send.
Gavin bersiul, sedikit berdendang menuruni tangga. Di saat yang sama, Devon dan Zeana baru saja tiba.
"Mau kemana? Rapi banget," tegur abangnya.
Zean tak dapat mengalihkan pandangan, gadis itu terpaku, terpesona melihat penampilan Gavin.
"Ada kerja kelompok, Bang. Temen-temen aku udah ngumpul."
Devon merasa tak tega telah menghukum Gavin tanpa memberinya fasilitas.
"Kamu pergi di jemput?"
"Nggak? Ada sepeda di garasi. Bolehkan?"
Devon terdiam cukup lama, tidak ada jawaban membuat Gavin jengah.
"Kalau tidak boleh, juga nggak apa-apa, Bang. Aku bisa jalan kaki."
Zean yang mendengar itu sontak menatap sang pacar.
"Kasih aja, kasihan kan dia jalan kaki."
Gavin kecewa, abangnya benar-benar di bawah kendali Zean.
"Pakai aja, Vin. Tapi, pulangnya jangan kemalaman. Kamu mau nongkrong dimana?"
Gavin tidak mau membocorkan lokasinya, dia tahu Zean mungkin saja akan mematai-matainya nanti.
"Entahlah, aku bokek, Bang. Mana bisa nongkrong di tempat yang berduit."
Deg.
Gavin membuat Devon semakin merasa bersalah.
"Aku pergi, Bang." Langkah Gavin begitu mantap keluar dari rumah.
"Sayang, aku merasa sangat jahat sama Gavin, sebaiknya hukumannya disudahi sampai di sini saja. Jika orangtuaku tahu, beliau pasti marah besar."
Zeana mengerutkan kening.
"Nggak, ini baru sehari loh. Gavin mana kapok, sayang semua ini tidak benar."
"Tapi, Zean."
Zeana mendadak cemberut.
"Kamu nggak sayang sama aku lagi ya, aku tuh nggak bohong. Rindu itu memang nggak baik untuk adik kamu. Aku cuman berniat baik untuk melindunginya, tapi kalau kamu nggak setuju, ya terserah."
Zean berjalan keluar sembari menghentakkan sepatunya.
"Bukan gitu Zean,"
"Dahlah, aku capek. Aku mau pulang aja."