Rindu duduk di kursi kantin sekolah menikmati bakso yang baru saja dipesan. Mendadak Rindu menjadi terkenal karena penampilannya bersama Gavin. Sebagian siswa baru, kepincut dengan pembawaan gadis itu.
"Hey, partner. Lo ninggalin gua gitu aja?" Gavin menarik kursi yang ada dihadapan Rindu dan duduk di sana.
Rindu terperangah dan mengemut sendok garpu di tangannya. Beberapa kali Rindu menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan Gavin bicara pada siapa. Suasana kantin sedang sepi, hal itu membuat Gavin leluasa untuk menggodanya.
"Suara lo bagus," puji Gavin.
Rindu terbelalak, hanya sesaat lalu melanjutkan makan siangnya.
"Gua ke sini pengen berterima kasih karena lu nyelamatin harga diri kita. Kebayang nggak kalau suara lo cempreng dan kita akan dikenang sebagai pasangan tercempreng tahun ini, ha ha ha." Gavin tertawa renyah.
Pemuda itu berusaha melawak, tapi Rindu tidak terpancing. Rindu masih terdiam kaku mencerna dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut pemuda itu.
"Lo diem aja sih, Ndu?" tanya pemuda itu. Gavin seolah tidak menyerah.
"Gimana kalau makan siang kali ini, gue yang traktir lu nggak perlu bayar. Hitung-hitung tanda terima kasih gua."
Rindu pun jengah, baginya Gavin terlalu banyak bicara.
"Aku bisa bayar sendiri," ucapnya pendek.
Rindu kembali melahap makanannya. Kali ini gadis itu makan dan fokus menatap mangkuk dihadapannya. Rindu berusaha mengabaikan agar Gavin segera berlalu.
"Gua tahu lu mampu bayar, tapi ini sebagai tanda terima kasih gua, Ndu."
Rindu mengenggam erat sendoknya, dia risih terus didekati.
"Lu kenapa sih, ntar tu mangkok salah tingkah loh lu pandang gitu amat. Nih, gua lu anggurin," keluh Gavin.
Rindu tidak tahan lalu mendongak menatap pemuda itu.
"Kamu tuh maunya apa, sih?" tanyanya jengkel.
Penghuni kantin langsung menoleh ke arah mereka. Gavin tersenyum dan semakin mendekat.
"Gua mau jadi temen lu. Jadi pacar belum tentu mau kan?"
Pipi Rindu bersemu merah, dia merasa malu. Makanan yang masuk di mulutnya terasa serat di tenggorokan.
"Apaan sih!" Rindu bangkit dan meninggalkan kantin. Gelayar aneh menyebar di rongga d**a.
Gavin merasa bersalah karena bakso yang dinikmati Rindu belum habis setengahnya.
"Eh ini, jaket kamu. Thank you, jangan ngikutin aku lagi. Awas aja!" Rindu melepaskan jaket yang di berikan Gavin dan segera pergi dari kantin. Jantungnya berdebar tak karuan. Hal ini adalah pengalaman pertama baginya.
"Ya, dia ngambek," gumam pemuda itu dan menggaruk kepalanya.
Zeana berdiri tidak jauh dari tempat itu. Wanita itu kesal mendengar semua pembicaraan mereka. Zeana tidak suka Gavin menggoda Rindu. Alasan sebenarnya Zeana berpacaran dengan Devon hanya untuk lebih dekat dengan Gavin. Pemuda itu lebih muda dua tahun darinya, tapi Gavin sangat dewasa bahkan lebih dewasa dari kekasihnya.
Rindu berjalan cepat mencari tempat untuk menyendiri. Gadis itu menyentuh dadanya, debaran jantung yang berdetak tidak seperti biasa. Pipinya pun ikut memanas.
"Apa yang terjadi? Tu orang gesrek atau gimana. Kok mepet terus," ucap Rindu cemas.
Gadis itu berbelok menuju taman sekolah. Rindu menenangkan diri di sana dan berusaha mengatur napas. Apa yang dilakukan Gavin menurutnya gila. Bagaimana mungkin dia berkata demikian di hari pertama mereka bertemu. Asyik memikirkan kegilaan yang baru dialami, muncul lagi orang-orang baru yang tidak dia ketahui siapa.
"Hay cantik! Kenalkan gua Andra dan ini teman-teman gua." Tiga orang siswa kini berdiri dihadapan Rindu.
'Apa lagi ini?' batin gadis itu.
Rindu menatap mereka satu per satu.
"Suara lu tadi bagus banget, gimana kalau lu jadi vokalis di band kita?" tawar Andra.
Tangan Rindu saling terpaut karena gugup, dia tidak terbiasa di dekati secara tiba-tiba seperti ini.
"Kok nggak dijawab sih, jawab dong." Teman Andra mulai menggodanya.
"M-maaf, aku nggak mau." Rindu gugup, bayangan bullyan yang pernah dialami saat di sekolah sebelumnya kembali terlintas. Gadis itu bangkit dan akan pergi dari tempat itu.
"Wait wait, kenapa buru-buru kita ngobrol aja dulu, kelas juga belum mulai, kok," ucap Andra menahan pergelangan tangan gadis itu.
Rindu panik dan memberontak, gadis itu berusaha lepas dari cengkeraman, sayangnya kekuatannya tak sebesar kekuatan Andra.
"Lepas, aku nggak mau," ucapnya memelas.
"Sombong banget, sih. Baru nyanyi gitu aja belagu," sahut teman Andra.
Gavin tiba dan melihat apa yang mereka lakukan pada Rindu. Pemuda itu tadinya ingin meminta maaf dan memberinya air mineral. Tapi, pemandangan yang terjadi membuat Gavin tak bisa berdiam diri.
"Woi, lepas nggak!" Seru Gavin menatap nyalang pada Andra dan Gengnya.
"Widih, temen duetnya datang, nih."
Gavin mengenggam tangan Andra dengan kuat hingga pemuda itu melepaskan tangan Rindu. Gadis itu lantas berdiri dibelakang Gavin untuk berlindung.
"Kita cuman mau ngajak dia ngeband bareng, Bro. Lu jangan salah paham," ucap Andra menjelaskan.
Rindu gugup dan menatap Andra takut.
"Nggak gini caranya, lo pada nakutin dia." Gavin mendorong tubuh Andra sedikit menjauh.
"Jangan kasar, dong!" sahut kedua teman Andra.
Andra yang tidak ingin membuat keributan segera menahan teman-temannya.
"Sudah, kita kesini bukan untuk berkelahi," ucapnya.
"Sorry kalau gua nakutin, Bray. Tapi, lo lihat kan dia kayak sembunyi gitu. Kita tu kayak seolah monster siap nerkam tahu nggak lo?"
Gavin menoleh ke arah Rindu. Sorot mata gadis itu berbeda karena bullyan yang pernah dilaluinya di masa lalu.
"Oke, kalian bubar deh, nanti kita bicarakan lagi soal ngeband itu," ucap Gavin. Andra mengangguk dan menyalami pemuda itu.
"Oke, Bro. Sorry, ya," ucapnya menyesal.
"It's okay."
Andra dan the Geng bubar dari hadapan. Gavin pun menoleh dan memberikan sebotol air mineral pada gadis itu.
"Nih, minum," titahnya.
Rindu diam mematung, hanya sorot matanya yang terlihat kuat menatap Gavin.
"Gua tahu lo belum minum, lagi pula. Sampai kapan lu mau menghindari gua, lu nggak punya temen, Anak-anak ngejar lu. Lu bisa hadapi mereka sendiri?"
Rindu menggeleng, dia sadar dirinya tidak se berani itu.
"Bagus, mulai sekarang gua yang akan jadi teman lo."
"Eh, kok kamu maksa?"
Gavin menatapnya sekali lagi.
"Nggak, gua nggak maksa. Kalau lo nggak mau nggak apa-apa sih. Gua cari temen yang lain aja."
Rindu merasa pemuda itu cukup baik, walau persahabatan begitu cepat untuk di mulai. Tapi, Rindu merasa Gavin lebih baik dan ketiga pemuda tadi.
"Oke, aku mau jadi temanmu. Tapi, aku nggak mau di panggil Rindu. Panggil saja Sanjana."
Kening Gavin berkerut.
"Aturan pertama dalam sebuah persahabatan adalah, Tidak ada aturan. Gua suka nama lo, unik."
Rindu akan protes tapi Gavin segera berlalu meninggalkannya.
"Buruan atau lo bakal di gangguin lagi sama yang lain."
Rindu tersentak dan mengejar langkahnya.
Senyum terpancar di wajah keduanya, persahabatan di musim semi. Persahabatan yang mendekatkan satu sama lain. Mulai saat itu Rindu dan Gavin tak terpisahkan seiring berjalannya waktu.
Rindu mulai terbiasa dengan segala kejahilan pemuda itu.
Waktu berlalu, hari ini Rindu datang dengan wajah sendu. Gavin menatapnya sedih. Gadis itu tidak mood untuk melakukan apapun. Tidak ingin ke kantin atau ke perpus. Dia hanya nongkrong di taman sekolah. Gavin yang bingung bagaimana mendapatkan perhatiannya memikirkan satu ide. Lelaki itu nekat membawa petasan dan membakarnya di tengah lapangan.
Brukk brukk brukk.
Siswa-siswi berhamburan dan berteriak histeris. Gavin tertawa dan menunjuk ke arah lapangan. Rindu menatapnya datar, demi membuat kejutan itu. Pihak sekolah turun tangan dan menghukumnya.
"Siapa yang berani bakar petasan di sekolah, angkat tangan! Nggak bisa di biarkan ini!" Kepala sekolah berteriak.
Gavin dan siswa yang lain hanya diam. Tidak ada satupun dari mereka yanv akan bicara. Rindu mendekati sahabat barunya itu.
"Kamu ngapain bawa petasan, kayak anak SD aja?" bisiknnya.
"Lo tahu dari mana kalau yang bawa petasan adalah gue?"
"Gavin!"
Pemuda itu cengengesan.
"Okey, gua lihat lo sedih terus, kalau ada apa-apa bicara sama gua. Jangan di pendam."
"Ih, apaan. Aku tanya apa? Kamu bahasnya apa!"
Gavin tersenyum.
"Nggak ada yang ngaku!" ucap kepala sekolah.
"Saya, Pak. Maaf tadi itu barang nemu, saya kira nggak udah rusak, iseng aja."
"Gavian Ardian!"
Pemuda itu berakhir berdiri di depan bendera. Para siswa menertawainya tapi tidak dengan Rindu.
"Kamu akan di sini sampai jam istrahat selesai, paham!"
Gavin mengangguk, menerima konsekuensinya.
"Baik, Pak. Maafkan saya, saya janji nggak akan ngulangin lagi."
"Heh!"
Pak kepala sekolah pergi dengan wajah kesal.
Arah yang di pilih Gavin berhadapan dengan posisi Rindu. Mereka saling menatap selama hukuman berlangsung.
Rindu bicara tanpa suara, hanya bibirnya yang bergerak namun dapat di baca oleh sahabatnya.
"Bandel, sih!"
Gavin tersenyum kecut.
"Biarin!"
Hanya mereka yang tahu bahasa masing-masing. Rindu menungguinya hingga lonceng istrahat berbunyi. Panasnya matahari membuat Gavin sedikit pusing dan haus, ini kali pertama lelaki itu di hukum. Dan dia tidak menyesal.
**
Mereka duduk di bangku yang sama, Gavin melakukan segala cara agar tidak jauh dari gadis itu.
"Nih, minum." Rindu memberinya minuman rasa jeruk.
"Thank you, tau aja gua haus."
Rindu hanya menggelengkan kepala saat minuman iru langsung tandas begitu saja.
"Aneh. Masa bawa petasan hanya karena alasan aku cemberut, lain kali jangan lakukan lagi!"
"Emang kenapa? Kalau lo sedih terus gua bawa satu container lo mau?" Rindu menggeleng cepat. Ngeri mendengar rencana gila sahabatnya itu.
"Haha haha, gua bercanda kali. Ya kali gua bawa petasan sebanyak itu. Alamak ni sekolah bakal meledak, terus lo jadi serpihan awan di langit sana."
Rindu terkekeh dan mencubitnya.
"Sialan! Kamu ngerjain aku?" Mereka tertawa bersama.
Gavin berhasil membuat Rindu keluar dari zona nyaman, dia membuat Rindu berani untuk tampil, dia tidak lagi ketus. Sebaliknya sangat ceria.
Gavin membawanya ikut ambil bagian di setiap pentas yang di adakan sekolah. Gadis penakut itu menjelma menjadi gadis yang penuh percaya diri. Tidak ada lagi Rindu yang takluk karena bullyan. Apalagi dengan nama yang selalu dibencinya.
***
Tradisi MOS telah berlalu, Gavin dan Rindu menjadi pasangan tak terpisahkan. Di mana Ada Rindu di sana pasti ada Gavin. Demi melindungi gadis itu, Gavin selalu mengikutinya kemana-mana.
"Rindu," panggil Gavin saat dia akan mendekati mobil jemputannya.
"Ya?" ucapnya.
Gavin tersenyum mendengar jawaban sederhana itu, bukan kata 'apa' atau 'iya' tapi kata 'ya' yang selalu di ucapkan Rindu dengan lembut.
"Gua ingin ngajak lo keluar rumah atau sekedar hang out."
Rindu tampak berfikir keras mendengar ajakan Gavin, ini adalah kali pertama baginya akan keluar dengan seorang pria.
"Bagaimana, kok bengong?" tanya Gavin dan berkacak pinggang.
"Baiklah, nanti di taman."
Senyum terbit di wajah Gavin, pemuda itu sangat senang hingga ingin melompat dan berteriak.
"Yess!"
"Aku akan memberimu alamatku dan ini ...." Rindu menulis sesuatu di kertas lalu menyerahkannya pada Gavin.
"Nomor ponselku, kabari aku di sana." Butuh keberanian yang luar biasa bagi Rindu mengambil langkah itu. Gavin sampai tertegun, tidak menyangka jika Rindu akan memberinya dua hal penting itu. Nomor ponsel dan alamat rumah.
"Oke, akan segera gua hubungi."
Rindu tersenyum sebagai jawaban, gadis itu melangkah ke mobil dan tidak menoleh lagi. Getaran aneh kembali bergelayar, Rindu tak hentinya tersenyum.
Gavin melompat berjingkratan sesaat setelah mobil yang ditumpangi Rindu keluar dari gerbang sekolah.
"Yes," serunya.
***
Sore yang dinanti akhirnya tiba, Rindu telah mematut dirinya di depan cermin sedari tadi. Beberapa baju telah keluar dari lemari pakaian, gadis itu mencoba dari baju ke baju yang lain. Anehnya tidak ada satu pun yang membuatnya klik.
"Pakai yang mana?" ucap Rindu dalam kebingungan.
Ponselnya berdering membuat Rindu segera mengecek. Nomor baru tertera di layar, Rindu pun segera mengangkatnya.
[Halo,] ucapnya.
Jantungnya berdetak kian bertalu, Rindu yakin dia adalah Gavin. Satu-satunya orang luar yang tahu nomor ponselnya.
[Hay, ini gua.]
Senyum terbit di wajah gadis itu.
[Haloo, ini Rindu, 'Kan?] tanya Gavin memastikan.
[Ya, ini aku.]
Gavin menanyakan alamat Rindu agar bisa menjemputnya.
[Berikan alamatnya, agar gua bisa datang dengan kuda putih.]
Rindu tertawa renyah, tawanya membuat Gavin ikut tersenyum di seberang sana.
[Emangnya kamu pangeran dari mana? Oke akan aku kirimkan lewat pesan, tapi ada syaratnya.]
[Wow,] Gavin terkejut di ujung sana.
[Baiklah, apapun akan gua lakukan. Asal lu nggak minta gunung dan pantai,] ucap Gavin menuai tawa renyah dari Rindu.
[Ha ha ha, ngaco, aku mau kau datang dengan sepeda.]
Gavin tertegun di ujung sana, syarat yang sedikit membingungkan menurutnya.
[Kau yakin?] tanyanya. Rindu mengangguk seolah Gavin dapat melihatnya.
[Ya, aku hanya ingin keluar jika kau datang dengan sepeda.] Rindu mempertegas hal itu.
[Baiklah, gua akan kesana.]
Rindu tersenyum dan mematikan panggilan. Dia pun segera mengirim alamat rumahnya pada Gavin.
Satu jam kemudian ...
Kring kring kring kring
Denting suara lonceng sepeda berbunyi, Gavin telah tiba dan menunggunya di depan. Rindu mengintip dari jendela dan benar saja. Lelaki itu sudah tiba.
Seluruh tubuhnya bergetar, Rindu gugup.
Dia segera turun setelah memoles bedak tipis di wajah cantiknya, Gavin menggunakan kaos berwarna putih cerah dengan celana pendek berwarna biru tua serta topi yang menyempurnakan penampilannya.
Setelah mengintip beberapa kali, Rindu menarik napas lalu menghembuskannya. Gadis itu keluar dan menemui Gavin.
"Hay," sapa Rindu canggung.
Gavin tersenyum melihat penampilan gadis itu. Rindu terlihat santun dan sederhana memakai setelan santai.
"Lo, yakin akan pergi dengan naik sepeda seperti ini?" tanya Gavin memastikan.
"Ya, sangat yakin. Kita hanya di taman, 'kan?"
Gavin sangat ingin membawa Rindu keluar, lebih jauh dari sekedar taman. Tapi, apa boleh buat.
"Baiklah, naik dan berpegangan Tuan Putri."
Rindu tersenyum dan menuruti ucapan Gavin, sudah lama dia sangat memimpikan hal ini. Namun, sayangnya. Rindu tidak bisa mengendarai sepeda.
Gavin menggoes sepedanya menuju taman yang di maksudkan oleh Rindu. Senyum terus terpancar di wajah keduanya. Sore hari yang tidak terlupakan.