Kembali ke kelas, Agatha mengambil posisi di samping Gavin. Mereka berjalan bersisian dengan Andra. Rindu dan Erika sengaja melerai diri untuk mengobrol.
"Ndu, lo lihat nggak pas dia ngaku punya pacar dan Gavin ngakuin lo sebagai sahabat."
"Iya, aku lihat. Kenapa?"
"Apa mereka udah pacaran, cepet banget."
Rindu mengedikan bahu.
"Tapi mereka nggak pegangan tangan."
"Pacaran kan nggak selalu harus pegangan tangan, Ndu. Kalau Gavin pindah bangku gimana?"
Rindu tertegun.
"Ya biarin aja, masa iya aku halangin."
Erika tampak gemas melihat reaksinya.
"Lu ngeselin banget sih, nggak ada niat untuk berjuang atau gimana?"
"Mau berjuang untuk apa? Kalau mereka udah jadian ya udah. Biarin aja."
Erika menghela napas.
Rindu menepikan segala perasaan terluka saat ini. Meski kecewa dia tak mau menunjukannya di muka umum.
Tiba di kelas, Gavin masih duduk di kursinya. Dia tidak beranjak sama sekali. Andra, Erika dan Rindu menatap kelakuan lelaki itu.
"Ehm, Vin. Kamu yakin mau duduknya di sini?" ucapan Rindu menjeda obrolan sahabatnya dengan Agatha.
"Lah kursi gua kan memang di sini, lu ngarepnya gua duduk dimana? Di atas meja?"
Rindu menggeleng, Agatha hanya tersenyum melihat mereka.
"Ya nggak gitu, siapa tahu kan kamu mau pindah tempat."
Gavin mengernyit mendengarnya.
"Lu mau duduk di tempat gua ya udah tinggal tukeran aja." Gavin bangkit dan menukar tas mereka.
Erika dan Andra meringis melihat keduanya.
"Sebenarnya hubungan Gavin sama Agatha tu apaan sih!" keluh Erika kesal pada cowoknya.
"Mana aku tahu, Beb. Tadi saat jalan juga mereka ngobrolnya biasa aja."
Rindu menolak ajakan Gavin.
"Minggir katanya mau tukeran."
"Nggak jadi, sana!"
Rindu melempar tas Gavin ke atas meja.
"Ye, lu kenapa sih? Datang bulan lagi ya," tanya Gavin heran.
"Bukan urusanmu!"
Rindu mengikuti pelajaran dengan hati yang dongkol. Gavin pun tampak cuek, tidak sejail biasanya.
Pelajaran berlangsung membosankan. Dan tanpa terasa bel pulang berbunyi.
Ting ting ting ting.
Rindu tak membuang waktu, dia langsung berkemas dan berjalan keluar.
Erika dan Andra segera mengejarnya.
"Rindu tunggu!"
Gavin ikut menyusul. Rindu menghela napas panjang saat melihat supirnya tak ada di parkiran.
"Rindu lo buru-buru banget sih?" ucap Erika berdiri di sampingnya.
"Iya, tapi jemputan aku belum datang juga."
Tring.
Notif pesan terdengar di ponselnya. Rindu segera melihat siapa dia.
[Non, ban mobilnya kempes. Saya bawa ke bengkel dulu.]
Rindu mendadak lemas.
"Kenapa?" Erika tampak penasaran.
"Nih, aku harus naik taksi untuk pulang ke rumah."
"Taksi?" Erika melihat isi pesan di ponsel Rindu, bersamaan dengan itu, Gavin keluar dari kelas. Anak-anak berhamburan termasuk si anak baru.
"Ngapain naik taksi, tu Gavin kan ada," ucap Erika lantang.
Mendengar namanya di sebut Gavin langsung menoleh.
"Ada apa?"
Rindu menyikut lengan Erika.
"Hust, nggak ada apa-apa kok," ucap Rindu mengelak.
Agatha berdiri di tepian, dia tampak melihat jam tangannya dan menunggu dengan gelisah.
"Mau pesan taksi di depan sekolah ada kan ya?" tanyanya ramah.
Gavin langsung menoleh.
"Ada, emang lo mau kemana?"
"Ke Jalan Kenanga."
Rindu dan Gavin terkejut.
"Kita searah, lo baru pindah ya? Ikut gua aja kalau gitu."
Agatha tersenyum tidak menolak.
"Boleh, terimakasih."
Suasana hati Rindu semakin buruk. Dia tak ingin tinggal lebih lama lagi. Dan berjalan keluar, Erika yang melihatnya lalu mendorong Gavin.
"Eh, jemputannya Rindu nggak datang. Lo ngapain repot-repot nawarin diri nganter orang lain. Sana kejar!"
Gavin hampir saja terjungkang.
"Yang benar?"
Erika mengangguk.
"Sana kejar! Keburu Rindu pergi."
Gavin pun segera bergegas. Sikap sahabatnya itu terbilang aneh.
"Rindu!" panggilnya.
Gadis itu memilih mengabaikan, dia berharap ada taksi yang akan lewat dan menyelamatkan hidupnya.
"Woi, lo kenapa sih? Kenapa nggak ngomong kalau mobil lo nggak datang."
Netra Rindu tengah berkaca-kaca. Dia berusaha menahan sesak, tidak ingin Gavin menertawakan perasaannya.
"Nggak apa-apa, aku maunya naik taksi."
Rindu kembali menatao ke jalan, melihat mobil incarannya dia pun segera melambai.
"Taksi!" panggilnya.
Di saat yang sama Agatha juga menghampiri Gavin.
"Eh, kamu pulang bareng Agatha aja, kalian kan searah. Aku duluan ya," ucap Rindu menggapai pintu mobil.
Gavin melihat kecemburuan di matanya. Hatinya menimbang antara merelakan Rindu pergi atau memperjelas hubungan mereka.
"Bye!"
Agatha akan membalasnya tapi Gavin lebih dulu memegang tangan Rindu.
Hup.
Gadis itu terkejut, Gavin menyentak lengannya hingga gadis itu berbalik.
"Vin, kamu ngapain."
Gavin menariknya mundur lalu menoleh ke Agatha.
"Hey, sorry ya. Kita pulang barengnya lain kali aja. Tadi lu nyari taksi kan?"
"Hah," Agatha terperangah. Rindu ikut bingung melihat tingkah Gavin.
"Jadi naik nggak nih?" tanya si supir taksi.
Agatha menatap Gavin, pemuda itu memegang lengan Rindu erat.
"Baiklah, terimakasih udah tahan taksinya. Sampai jumpa besok."
Agatha masuk ke dalam mobil, taksi itu pun berlalu membuat Rindu membeku.
"Kamu apa-apaan sih, orang mau pulang juga."
"Kamu yang apa-apaan!"
Gavin menarik Rindu ke mobilnya.
"Vin, aku mau di bawah kemana?"
"Pulang bareng gua,"
Rindu berusaha melepaskan genggaman pemuda itu.
"Nggak mau, kok kamu maksa sih?" Zean memperhatikan mereka dari jauh.
Gavin membuka pintu dan membantu Rindu masuk.
"Jangan memberontak atau gua telepon nyokab lo," ancaman itu membuat Rindu tak berdaya.
Gavin menaiki mobilnya, dengan cepat meluncur meninggalkan sekolah.
Erika dan Andra sangat senang melihat merekap pulang bareng.
"Gila, semoga aja Gavin beneran nggak pacaran sama si anak baru."
Zean terkejut mendengar berita itu.
"Semoga aja, kenapa Rindu cemburu ya?" ucap Andra.
Mereka tak sadar jika Zean tengah menguping.
"Nggak ada reaksi, makanya gue bingung, Beb. Rindu tuh melempem aja, kayak nggak peduli."
Zeana mengerutkan kening mendengarnya.
"Kok bisa, bukannya mereka saling cinta," batinnya.
**
Di perjalanan pulang, baik Gavin dan Rindu sama-sama diam. Rindu terus menatap keluar jendela dan itu membuat Gavin tersiksa.
Khiiik.
Mobil berhenti di area taman. Sebelum masuk ke jalur rumah Rindu. Gavin mengunci mobil lalu mematikan mesin.
"Ada apa? Kenapa mood lu berubah nggak karuan," tanyanya to the point
Rindu mengelak dari pertanyaan itu.
"Enggak, kapan moodku nggak karuan. Kamu tuh yang aneh, aku mau naik taksi kamu malah kasih ke orang. Nggak sopan banget."
Gavin menghela napas.
"Ngapain juga lu naik taksi kalau ada gua."
"Ya nggak apa-apa, toh aku bisa bayar."
"Lu anggap gua nggak sih, Ndu? Apa gua ini hanya orang lain jadi lo bersikap kayak gitu."
Rindu terkesiap. Sikap angkuhnya melemah.
"Ya ampun, Vin. Aku cuman nggak mau ngerepotin kamu. Lagian kan aku bisa pulang sendiri."
"Kemarin lu juga pulang sendiri. Lu, ada masalah sama gua?"
Rindu menggeleng.
"Apa karena Agatha?"
"Nggak!" ucap Rindu tegas.
Gavin memejamkan mata, benar-benar bingung menghadapi sikap Rindu.
"Dia gadis yang baik, ramah, cantik. Kalian tampak cocok. Ngapain aku marah."
Gavin menatapnya heran.
"Maksud lo apaan?"
Rindu menggelengkan kepala.
"Nggak ada masuk apa-apa. Cuman berpendapat."
"Lo masih nyuruh gua nyari pacar, emang lu nggak sakit hati kalau gua selingkuh."
"Dih, kapan kita jadiannya. Ngaco."
Gavin mendekat menghapus jarak di antara mereka, dia memegang kepala Rindu membuat sahabatnya itu mengerjap beberapa kali.
"Kamu ngapain!?"
Tanpa di duga.
Gavin menciumnya, tepat di bibir gadis itu. Rindu memberontak dia berusaha mendorong tapi Gavin tak melepaskannya. Setengah hatinya menolak, dan setengahnya lagi dia memang mencintai pemuda itu.
Rindu menyerah, pertahanannya melemah. Gavin menyudahi kising itu dan menatap Rindu yang tertegun.
"Gua udah menyatakannya berulang kali, meski lo nggak nganggep. Semua teman udah tahu jika lo itu pacar gua."
Rindu memukul bahunya.
"Dengan ciuman ini apa lu masih berpikir jika perasaan gua main-main?"
Rindu menatapnya kesal.
Sebelum emosi gadis itu memuncak. Gavin kembali mencium keningnya.
"Aku bukannya nggak nganggep, Vin. Aku memang nggak mau jadi pacar kamu,"
Gavin tersentak di tempatnya.
"Memangnya kamu siapa yang berhak merebut ciuman pertamaku."
Pengakuan Rindu membuatnya shock.
"Apa yang salah, Ndu? Jelas gua tahu pasti kalau lo juga sayang sama gua."
"Untuk apa? Setelah lulus kau akan pergi kan. Kau akan menyusul Kak Devon. Kau akan tinggal di sana, lalu hubungan ini untuk apa?"
Rindu menangis.
"Bukan kah lebih baik kita berteman saja, kau akan pergi dan aku akan mengenang mu dengan perasaan itu."
"Gua ke sana hanya untuk kuliah, dan itupun masih lama, Ndu. Setelah kuliah mama sama papa akan ngasih kami kebebasan mau kerja di mana. Gua akan pilih untuk kembali. Kita hanya terpisah beberapa tahun."
"Dari semua n****+ yang aku baca dan film yang aku tonton. Hubungan jarak jauh tak selamanya berhasil. Kau mungkin akan berpaling."
Gavin tertawa. Rindu menatapnya kesal.
"Lo percaya? Jika lo meragukan diri sendiri maka itu benar. Karena gua nggak ragu sedikitpun dengan perasaan gua. Gua cinta sam lo, suka atau tidak. Gadis hujan."
Rindu terpukau.
Gavin menariknya, mencium bibir Rindu sekali lagi.
"Lo mau kan jadi pacar gua."
"Terus sama si Agatha tadi apa?"
Gavin mengernyit.
"Apa? Gua baru kenal di sekolah. Lo nuduh gua macam-macam?"
Rindu bingung mengutarakan perasaannya.
"Ah, gua ngerti. Lu cemburu kan, makanya lu bersikap nyebelin kayak tadi."
"Nggak,"
"Iya."
"Nggak!"
"Terserah, yang penting sekarang lo tahu kalau gua cinta sama lo."
Pengakuan dengan terpaksa. Gavin tersenyum mendapat first kiss dari Rindu.