Chapter 40 ajakan ke pasar malam

1136 Kata
Rindu tak langsung pulang siang itu, Gavin menahannya dan mengajak berjalan-jalan. "Mulai sekarang, gua yang akan jemput dan antar lo pulang sekolah." Gadis itu terkesiap, mendengarnya. Tentu saja, bagaimana tidak, Rindu akan kewalahan mencari alasan nanti. "Vin, jangan aneh-aneh deh. Apa kata mama nanti." "Nanti gua izin sama nyokab lo." Rindu menatap ngeri. "Nggak, aku nggak mau. Aku mau ke sekolah bareng supir aja sama seperti biasanya." Gavin sudah terbiasa dengan sikap keras kepala sahabatnya itu. "Ndu, kita kan udah jadian, hal ini tuh wajar." Pipi Rindu seketika merona mendengarnya. "Masa iya lo berangkat sendiri, yang ada temen-temen nggak percaya kita pacaran. Lihat Andra dan Erika, mereka selalu barengan. Andra minta izin ke orangtua Erika untuk bawa anaknya pulang pergi ke sekolah. Nggak ada masalah." Rindu bimbang, semuanya terasa baru baginya. "Vin, semua ini mendadak tahu nggak. Aku bingung bilangnya ke mama gimana! Dan di sekolah, kamu nggak berniat buat nge umumin kan, apa kata kak Zean nanti." Gavin tertegun sejenak. "Baiklah kalau begitu, maaf karena gua maksa." Gavin tak ingin berdebat, dia pun mengantar Rindu pulang. Tak ada perasaan yang berbunga-bunga setelah resminya mereka pacaran. Justru sebaliknya, mereka saling diam. Kaku dan merasa sungkan. Rindu tak ingin menampakkan bagaimana dia sangat senang memilik Gavin sebagai kekasihnya. Berbeda dengan Gavin yang tulus menerimanya. Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan rumah Rindu, gadis itu keluar tanpa menoleh seperti biasanya. Rindu bahkan tidak melambaikan tangan lalu segera masuk. Hubungan itu mendadak hambar, Gavin tak bisa melakukan apa-apa selain mengalah. "Eh, Vin. Nggak mampir dulu," sapa mama Rindu dari halaman. Wanita itu sedang berdiri di sana sambil memperhatikan buah mangga yang lebat. Rindu terkejut, begitupun dengan Gavin. Gadis itu menggigit bibir bagian bawahnya. "Eh Tante," Gavin keluar dari mobil, dia merasa tak sopan jika menyahut dari dalam. "Nggak apa-apa, Tante. Jemputannya Rindu nggak datang jadi saya antar pulang." "Mampir dulu minum teh, kamu udah sembuh?" Rindu menatap Gavin yang kini juga menatapnya. "Iya Tante, terimakasih buburnya. Em, kalau nggak keberatan. Rindu biar di jemput sama saya saja, sampai mobilnya beres," ucapan Gavin membuat Rindu terperangah. Mama Rindu sudah sangat percaya pada pemuda itu. "Em, boleh. Tapi, semoga aja mobilnya udah selesai perbaikan sore ini." Gavin bingung mau bilang apa lagi. "Kalau begitu saya pamit Tante." Mama Asyla melambaikan tangan, melepas kepergian pemuda itu. Melihat mobil Gavin menghilang, Rindu pun segera masuk ke rumah. Langkahnya cepat menuju ke lantai dua. "Apa-apaan dia, berani sekali meminta izin sama mama," Rindu berbaring di atas kasur, memandang langit-langit rumah yang berwarna putih. Teringat kejadian tadi siang membuatnya sangat malu. Rindu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Malu, karena sempat membalas pangutan Gavin. "Ah, apa yang telah aku lakukan." Tring. Ponselnya berdering, pesan masuk dari sahabatnya Erika. [Hay, Ndu. Gimana, lo bicara apa sama Gavin.] Di todong dengan pertanyaan itu membuat Rindu panik sendiri. "Eh, kok Erika nanya gini. Apa dia tahu kalau aku dan Gavin udah jadian?" Rindu menatap pesan itu lama. "Ah, tidak mungkin. Bagaimana dia bisa tahu. Gavin tidak mungkin mengatakan semuanya pada mereka." [Kok, nggak di balas. Agatha nggak jadi ikut kan?] Rindu meredakan rasa panik di hatinya. [Nggak ngomong apa-apa kok, ini aku udah di rumah.] Send. Erika mengirimkan emot dengan wajah datar. [Duh, lu gimana sih? Kenapa nggak nyatain perasaan lo aja. Keburu Gavin di tangkap Agatha baru nangis loh ] Rindu tersenyum. "Bagaimana mungkin dia bersama Agatha," batin Rindu bergejolak. [Ini malam Minggu, ngedate bareng yuk. Doble date.] Ajakan yang mendadak itu membuat Rindu terperangah. Tring. Sebuah foto screen shot percakapan Andra dan Gavin terkirim ke ponsel Rindu. Gadis itu melotot di tempatnya. [Bro, hang out yuk. Malam Minggu nih, lo bareng Rindu gua bareng Erika mau nggak?] tanya Andra dalam percakapan itu. [Nggak, ah. Rindu mungkin mau istrahat. Kasihan.] [Ada pasar malam di daerah pinggiran kota, gua dan Erika menuju ke sana. Lo coba ajak Rindu gih, siapa tahu dia mau.] [Enggak, gua nggak berani Minta Erika aja, kalau dia mau gua juga mau.] Rindu menatap pesan itu lama. Dia masih gugup, membayangkan bertemu dengan Gavin membuat jantungnya berdebar tak karuan. [Ndu, jawab dong. Mau nggak?] [Em, gimana ya?] Erika gemas di ujung sana. [Oke, jam 7 kita jemput. Lo nggak akan di jemput Gavin dan ini akan menjadi rahasia kita.] Rindu tersenyum melihatnya. [Tapi,] [Jangan ada tapi, ingat ya dandan yang cantik.] Rindu meletakkan ponselnya, merabah hati yang tak sabar untuk bertemu. Dia beranjak membuka lemari dan mencari pakaian terbaiknya. "Aku harus pakai apa? Celana jeans atau rok?" "Gaun atau baju kaos." Rindu begitu excited. Dia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mendadak moodnya berantakan. "Ah, aku bingung." Di tengah ke kalutannya. Rindu membuka majalah fashion dan melihat-lihat mode baju seperti apa yang cocok di pakai berkencan. Akhirnya pilihannya jatuh pada dress berwarna pink tanpa lengan yang telah di beli beberapa bulan yang lalu. "Ah, sempurna." Rindu mundur, tak sabar menunggu malam tiba. ** Tring. Ponsel Gavin berdering saat dia tiba di rumah. Pesan masuk datang dari Andra. [Vin, Rindu berangkat bareng kita. Erika Berhasil membujuknya. Lo siap-siap ya, kita ketemunya di pasar malam aja.] Gavin tersenyum melihat pesan itu. "Dasar, giliran di ajak yang lain cepet banget maunya." [Oke, gua istrahat dulu.] Gavin bersiul menuju ke lantai dua, bibi yang melihatnya sedikit heran. "Den, makan siang," panggilnya. "Oke, Bi." Lelaki itu mengganti pakaiannya, dia juga mandi dan terus bernyanyi. Gavin tampak segar saat turun ke bawah menikmati makan siang. "Kayaknya lagi seneng, ehm cerita dong sama bibi." Gavin terkekeh. "Dih, bibi mau tahu aja." Gavin makan dengan lahap, mulutnya terus mengunyah namun pikirannya berada di tempat lain. "Den Gavin udah tahu belum? Kita punya tetangga baru," ucap si bibi dan menuangkan air untuk Gavin. "Tetangga?" "Iya, sepertinya putrinya juga sekolah di tempat yang sama dengan den Gavin. Seragamnya sama soalnya." Gavin teringat Agatha. "Oh ya?" "Iya, nanti bibi bikinin kue, den Gavin antar ke sebelah ya." "Loh kok aku, Bi? Aku mau keluar setelah ini." Wajahnya berubah bete. "Bentar doang, Den. Ya iya harus den Gavin yang antaerin. Kalau bibi atau mamang kan nggak sopan karena kami hanya Art. Kalau den Gavin kan yang punya rumah." Gavin lemas seketika. "Emang harus banget ya, aku ada urusan soalnya." "Iya, den Devon juga mintanya demikian." "Ya udah deh, tapi jangan lama-lama." Si bibi mengangguk. Selesai makan siang, Gavin pun berbaring di sofa. Dia menunggu kue buatan si bibi selesai di buat. "Inget, Bi! Jangan lama-lama!" teriak Gavin mengingatkan. "Siap, Den." Gavin menatap ponselnya berharap Rindu akan menghubunginya, tidak ada pesan terlihat di sana membuatnya bete. "Dia sedang apa? Kenapa nggak ngehubungin gua." Saat Gavin akan menulis pesan untuk Rindu. Suara bel berbunyi. Ting tung Ting tung. "Bi, ada orang," ucapnya malas. Si bibi muncul dengan tepung memenuhi tangan. "Den, lihat kesini." Gavin menoleh dan lagi-lagi. "Ah, si bibi nih." Bibi tersenyum melihat Gavin berdiri dengan terpaksa. Lelaki itu menuju ke pintu dan taraa. Kejutan besar menantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN