Curhatnya Si Patah Hati

1799 Kata
Setelah ritual penganiayaan Joshep berakhir, Aurora pergi untuk mengikuti kelas terakhirnya. Sedangkan Kezie pamit untuk mengerjakan tugas kelompok. Tinggal Joshep yang berkeliaran tidak tentu arah pergi ke kantin, ke toilet, pos satpam, sampai menghitung dosen-dosen yang sedang mengajar hari ini. “Untung aja dia masih muda, cantik lagi. Kalau enggak, gue gak bakal mau nganter nih buku-buku. Dikira gue babunya apa, ganteng gini. Princenya Soshi University ini mah,” gerutu Joshep yang kini kembali lagi ke perpustakaan, padahal baru lima belas menit yang lalu ia berada di sini. Salah seorang dosen muda yang melihat Joshep berkeliling, meminta tolong agar untuk mengambalikan beberapa buku. “Dia yang minjem malah gue yang disuruh balikin,” gumam Joshep saat memberikan buku-buku itu pada petugas pustaka. “Ini buku dari Bu Eve, Bu.” “Ini udah semuanya, kan?” “Udah, Bu.“ Joshep berkata dengan sopan tak lupa senyum menawannya. Ia berfikir akan sedikit menggoda penjaga pustaka itu untuk bersenang-senang. “Yaudah,” ujar petugas itu datar lalu pergi membawa buku-buku itu untuk meletakannya kembali ke rak buku. ‘Wah... bener-bener. Gak bisa senyum dikit apa!? Suara kayak kanebo basah, lembut banget. Kenapa tuh muka kaku amat, kayak kanebo kering!’ Joshep pergi dari sana dengan rasa kesal yang bertambah. Namun langkahnya terhenti melihat seorang yang duduk di pojok rak buku Teknik Sipil. Ia duduk sambil meletakan kepalanya di meja. Senyum Joshep mengembang sambil berjalan mendekat. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang akan mengganggunya. Joshep kemudian duduk di samping orang itu. Joshep melihat jari lentik itu mengetuk-ngetuk meja. Ada earphone yang terpasang di kedua telinganya. “Boleh Abang temenin gak, Dek?” Joshep berkata lirih dengan suara yang dibuat lebih berat. “Pergi sana,” ujar orang itu tanpa mengangkat kepalanya. Joshep yang mendapat respon seperti itu menahan tawanya. Gadis itu memang selalu dingin pada orang yang tidak dikenalnya. “Ayolah, Dek. Sini Abang temenin, ya?” Joshep meletakan tangannya di bahu gadis itu. “Iih!! Kurang ajar ya lo, pegang-pegang gue sembarangan!!” Gadis itu mengangkat kepalanya. Ia mengambil tangan Joshep lalu memelintirnya ke belakang membuat pria itu terkejut dan kesakitan karena refleknya. “Aakh! Oii! Aw aw lepas, duh... Ini gue!” Melihat Joshep kesakitan, Kezie segera melepaskan tangannya da Joshep dengan raut wajah terkejut dan khawatir secara bersamaan. “Aakh berasa pulang kampung ke hati otot-otot tangan gue lo puter-puter gitu,” ujar Joshep. “Puter-puter pala lo. Lebay banget. Lagian siapa suruh lo ngerjain gue,” ujar Kezie sambil menyilangkan tangannya, menatap malas Joshep dengan senyuman lebarnya. “Lo ngapain di sini? Kalo mau tidur itu di rumah, bukannya di perpus. Di grepe-grepe penunggu perpus baru tau rasa lo,” ujar Joshep dengan wajah seram menakut-nakuti Kezie. “Di grepe ya tinggal gue geplak palanya sampe copot,” ujar Kezie. Ia kembali meletakan kepalanya di atas meja itu dengan bantalan tangannya. Kali ini Kezie tidak menenggelamkan wajahnya, ia menghadap ke arah Joshep. “Oo iya gue lupa, lo kan pawang hantu. Pasti hantu-hantu di sini pada takut sama lo,” ujar Joshep dengan cengirannya yang hanya ditanggapi dengan wajah datar Kezie. “Jadi, ngapain di sini? Katanya tadi mau bikin tugas kelompok.” “Udah selesai, temen-temen gue udah pada cabut,” ujar Kezie lalu memejamkan matanya. “Trus ngapain lo masih di sini? Kenapa tadi enggak hubungin gue? Udah kaya orang b**o gue muter-muterin nih gedung,” ujar Joshep dengan berapi-api hingga senyum kecil yang manis itu terukir di wajah Kezie. “Lagi ngegalau.” “Kenapa orang-orang jadi lebih sering ngegalau sekarang? Enggak usah mikir terlalu keras. Sok-sokan ngegalau lo,” ujar Joshep sambil tertawa kecil. “Kayak lo yang gak aja. Sampe-sampe gak dateng ke kampus beberapa hari,” ujar Kezie terkekeh menyindir Joshep kembali hingga pria itu terdiam sejenak lalu tersenyum malu. “... Iya. Lo bener,” ujar Joshep lalu melakukan hal yang sama dengan apa yang Kezie lakukan. Ia menopang kepalanya dengan kedua lengannya dan menghadap ke Kezie. Kini keduanya saling berhadapan. Susah payah Kezie menahan debaran yang tak menentu. Debaran yang sudah lama ia sembunyikan. Memang matanya tertutup namun telinganya masih berfungsi baik mendengar pergerakan Joshep hingga hembusan nafas pria itu mengenai wajahnya. “Apa yang ganggu pikiran lo? Apa cowok yang lo suka itu?” Tanya Joshep. Kezie terdiam sejenak, matanya perlahan terbuka. Namun secepat pula ia mengalihkan pandangannya dari Joshep yang tengah menatapnya. Ini terlalu dekat untuk Kezie dan itu menyiksanya. “Iya, padahal gue udah berusaha buat damai, tapi kenapa dia selalu ganggu fikiran sama hati gue. Bener-bener enggak adil kan? Gue segalau ini karena dia yang enggak ngelakuin apapun, bahkan dia enggak tau sama sekali.” “Kenapa?” Tanya Joshep. “Selalu aja, berada di sekitar dia malah bikin gue sakit. Tapi ya gak jarang juga, dia bisa buat hari-hari gue lebih baik. Lebih banyaknya gitu sih,” ujar Kezie tersenyum tipis melihat kerutan di dahi Joshep. “Kenapa jadi creepy ya kalau lo ngomong gitu,” ujar Joshep sambil mengusap tengkuknya. “Ish! Si k*****t! Ngancurin suasana aja lo!” Kezie dengan segera melayangkan jurus seribu tangan untuk memukuli Joshep. Terhitung sudah puluhan kali Joshep menerima kekerasan fisik hari ini. Plak plak “Duh... maap maap. Kekerasan terooos. Kasian besok suami lo digebukin mulu,” ujar Joshep terkekeh sambil mengusap lengannya yang terasa panas dipukul Kezie. “Lo nyebelin sih. Dasar perusak suasana, orang gue udah serius juga,” ujar Kezie cemberut. “Hehe... maap maap. Adohh imut banget sih Kejiaaa,” ujar Joshep lalu mencubit gemas pipi Kezie yang dengan cepat menepisnya. Terlihat seperti enggan namun sebenarnya hatinya jedagg jederrr. “Jadi apa maksud lo sama sakit dan lebih baik?” Tanya Joshep kembali ke topik membuat Kezie menghela nafas, sedangkan ia menatap Kezie sambil menopang dagu. “Yaa gitu. Dia suka cewek lain. Sakit liat dia deket sama tuh cewek. Sakit liat dia perhatian sama orang lain. Tapi lebih sakit liat dia sedih sih. Lebih baik saat gue liat dia senyum, gue juga suka liat dia ketawa. Cuma liat dia senyum, enggak bohong gue juga ikut senyum. Mungkin kedengerannya lebay tapi emang gitu adanya,” ujar Kezie lalu tertawa kecil. “Disantet kali lo?” Pertanyaan Joshep lagi-lagi membuat Kezie menghela napas. Ingin rasanya Kezie membuka mulut Joshep lebar-lebar lalu menggunting pita suaranya agak tidak berkata seenaknya lagi. Ah… tapi rasanya Kezie tidak tega, kasihan :( “Dia bukan turunan Ki Joko Pinter, Lambad, Diddy Corbuzer ataupun Harry Petir. Jadi gak mungkin kalau gue disantet, hipnotis, sihir, atau apapun lah yang lo sebut. Perasaan gue tulus,” jelas Kezie ketus. Untuk beberapa detik Joshep terdiam menatap dalam Kezie. Baginya Kezie adalah sosok yang kuat, tapi entah kenapa malah terlihat lemah saat jatuh cinta. Apakah semua orang memang begitu saat jatuh cinta? “Dia tau lo suka?” Joshep mulai penasaran dengan orang yang diceritakan Kezie. Kezie menggeleng membuat dahi Joshep lagi-lagi berkerut. “Jangan dikerutin terus. Ntar cepet tua,” ujar Kezie tersenyum sambil mengusap dahi Joshep yang sempat tersentak dengan sentuhan Kezie. “L-lo gak ada rencana mau ngasih tau dia?” Tanya Joshep sambil menjauhkan wajahnya dari tangan Kezie. Lagi-lagi dibalas sebuah gelengan. “Biar gini aja dulu. Gue cuma mau mainin peran gue. Tuhan yang ngatur semuanya. Ikutin aja alur yang udah dibuat. Gue gak mau buru-buru dan gegabah ngambil keputusan. Ntar yang ada malah dia jauin gue,” ujar Kezie sambil tersenyum kecil membuat Joshep juga ikut tersenyum. “Kita sama.” “Hmm.” “Siapa orangnya, Zie? Gue kenal gak? Pengen banget rasanya nonjok tuh cowok,” ujar Joshep kini dengan nada yang bersahabat, tidak lagi bercanda atau mengejek seperti biasanya. Dahi Kezie berkerut sambil cemberut seolah tidak setuju dengan kalimat terakhir Joshep. “Mungkin lo kenal,” jawab Kezie yang membuat Joshep kesal karena lagi-lagi tidak mendapat jawaban yang dia inginkan. “Ck udahlah. Siapapun orangnya, tuh cowok bener-bener b**o. Gimana mungkin gak ngelirik lo sedikitpun. Gila, ya! Cantik gini temen gue, walaupun galaknya minta ampun,” sewot Joshep dengan jawaban Kezie. “Iya, b**o banget. By the way lo nyindir apa muji gue sih,” ujar Kezie lalu keduanya tertawa. “Tapi tuh cowok juga beruntung bisa ngedapetin hati lo.” “...” Kezie tidak menjawab. Joshep melihat Kezie termenung. Ia mengerti bagaimana perasaan Kezie. Saat kita menyukai seseorang tapi orang itu malah menyukai orang lain. ‘Cakit beut pasti.’ “Hm, Zie. Ikut gue, yuk.” Joshep mengangkat kepalanya menatap Kezie dengan berbinar. “Kemana?” “Udah, ikut aja.” Joshep menarik tangan Kezie. Memaksanya untuk mengikuti kemana Joshep membawanya. *** Aurora mengantar Jessica ke kantor. Sudah seminggu ini Aurora menginap di apartemen kakak sepupunya itu. Ia merasa kesepian tinggal sendirian, biasanya memang ia bergantian menginap di apartemen Jessica atau Kezie. Bahkan bisa dihitung jari Aurora di rumahnya. Bisa dikatakan Aurora salah satu korban anak yang kesepian karena kesibukan orang tua. “Sampai,” ujar Aurora dengan semangatnya. Banyak kurangnya ia sudah sedikit melupakan masalahnya dengan Billy. “Makasih ya, Ra.” “Iya, Kak.” “Perlu bantuan?” Tanya Aurora yang melihat Jessica kesulitan membawa barang-barangnya. “Hehe tolong bawain laptopnya dong, Ra.” Jessica sambil menyerahkan laptop yang kesulitan ia bawa. “Sini, Kak. Kok banyak banget hari ini bawa barangnya?” Tanya Aurora sambil berjalan beriringan dengan Jessica memasuki kantor. “Hari ini ada meeting penting. Banyak yang harus disiapin dengan mateng,” jawab Jessica mempercepat langkahnya. “Yuk, buru.” Aurora menoleh kesetiap sudut. Berharap tidak bertemu dengan orang yang tidak ingin ditemuinya. Setidaknya untuk sekarang, sampai nanti hatinya sembuh. “Duh... lama banget,” kesal Jessica melihat pintu lift itu belum juga terbuka. “Sabar kali, Kak.” Aurora tertawa kecil. Ia selalu suka melihat raut wajah panik Jessica. “Ntar kamu juga telat, Ra. Ada kuliah pagi, kan?” “Santai, Kak. Kelasnya masih 2 jam lagi kok.” Aurora tersenyum menampakan mata bulan sabitnya. “Kakak suka kalau kamu senyum gitu,” ujar Jessica tersenyum lembut memandang Aurora, membuat gadis itu juga ikut tersenyum. “Lah? Biasanya juga gini.” “Kakak-” “Jessie!” Jessica menoleh saat mendengar ada yang memanggilnya. Seorang pria melambaikan tangannya meminta Jessica untuk menghampirinya. “Iish... apa lagi sekarang,” gumam Jessica kesal yang masih bisa didengar oleh Aurora. Ia merasa sedikit kasihan melihat kerepotan Jessica di pagi ini. “Kamu duluan aja, Ra.” “Sini, Kak. Biar aku bawain satu lagi,” ujar Aurora yang melihat tangan Jessica penuh. “Makasih ya, Ra. Ntar taruh di meja Kakak,” ujar Jessica sebelum meninggalkan Aurora dengan tergesa yang hanya mengagguk dengan perintah Jessica. Ting Aurora segera masuk setelah pintu terbuka. Ia mengambil tempat di sudut kanan lift itu. Mata Aurora membesar saat melihat siapa yang berdiri di depan lift. Namun dengan cepat merubah raut wajahnya setenang mungkin. “!!” ‘Kak Billy?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN