A-B-C-D-E-F, U

1807 Kata
Billy tengah asik dengan ponselnya. Tidak memperhatikan jika di hadapannya ada seseorang yang sudah membuatnya kepikiran belakangan ini. Saat satu kakinya telah masuk ke dalam ruang sempit itu. Billy mengalihkan pandangannya dari benda persegi yang di genggamnya. Sama halnya dengan Aurora, Billy juga terkejut. Ia menghentikan langkahnya sejenak. Billy berencana berbalik namun ada beberapa orang di belakangnya yang juga ingin masuk lift. Sehingga ia terpaksa masuk sambil membalas sapaan karyawan sekedarnya. Sebenarnya ada lift khusus menuju ruangan Billy. Namun karena ada perbaikan, Billy menggunakan lift karyawan yang kadang membuatnya risih karena ada beberapa karyawan wanita yang menatapnya seolah ia barang diskonan di mall, ada yang tersenyum malu-malu, menatapnya genit dan banyak lagi. Sekarang Billy berada di sebelah Aurora. Rasanya kecepatan degub jantung Billy lebih cepat dari kecepatan lift. Ia ingin cepat-cepat sampai, tapi entah kenapa lift itu terasa sangat lambat. Ting Billy segera melihat angka di atas pintu lift itu. Ternyata lift terbuka bukan di lantai yang ia tuju. ‘Sial. Kenapa lama banget.’ Sedangkan Aurora di sana mencoba untuk tenang. Ia merasa sama gelisahnya dengan Billy. Sekarang hanya ada empat orang di dalam lift itu, membuat ruang jadi terasa sedikit lebih luas. Billy pindah ke sudut tepi bagian depan. Ting Billy mengehela nafas saat lift itu berhenti di lantai yang ia tuju. Aurora lebih dulu keluar dari Billy. Dan sialnya lagi ruangan Jessica berada di sebelah ruangan Billy. Aurora berjalan di depan, sedangkan Billy beberapa meter di belakangnya. Pandangan Billy tak lepas dari punggung Aurora yang berjalan di depannya. ‘Apa dia baik-baik aja?’ Bukk “Astaga!” Seseorang datang dari arah berlawanan dan tidak sengaja menabrak Aurora sehingga Aurora terjatuh cukup keras. Billy yang melihat itu segera berlari ke arah Aurora. “Ara! Gapapa!?” “Kamu! What the hell are you doing!? Kenapa lari-lari di kantor!? Lihat! Dia sampai jatuh!?” Marah Billy pada orang itu membuat Aurora sedikit terkejut karena baru pertama kali melihat raut wajah marah Billy. “Ma-aaf, P-pak. S-saya...” “Udahlah! Pergi sana!” Bentak Billy lagi sebelum pria yang menabrak Aurora menyelesaikan kalimatnya. Pria itu begitu takut. Belum pernah ia melihat Billy semarah ini. “S-sekali lagi maafkan saya, Mba. Saya permisi.” Orang itu sedikit membungkuk sebelum pergi meninggalkan Billy dan Aurora yang masih terduduk di lantai. “Gapapa, Ra? Ada yang luka? Ada yang sakit?” Aurora hanya menatap datar Billy yang tampak jelas begitu khawatir padanya. Billy begitu panik, padahal gadis itu hanya terjatuh. “Apaan sih?” Gumam Aurora menatap Billy sambil tersenyum mengejek. “Hah?” “Gak usah bersikap seolah-olah Om peduli. Itu malah bikin aku geli,” desis Aurora. Ia segera berdiri. Melepas tangan Billy yang sebelumnya berada di bahunya dengan kasar. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Billy yang terdiam di sana. Aurora mempercepat langkahnya hingga ia sampai di ruangan Jessica. “Ish... air mata bodoh!!” Kesalnya sambil mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba mengalir. *** Di kamar yang bernuansa pink itu seorang gadis sedang kasmaran memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Momen yang hanya berlangsung selama dua jam namun meresahkan hingga dua minggu. Memikirkannya saja menimbulkan banyak reaksi pada gadis itu seperti tersenyum, tertawa kecil, malu-malu hingga kedua pipinya tiba-tiba bersemu merah. Cuaca hari ini memang cukup bagus, namun yang Kezie bingungkan kenapa Joshep tiba-tiba mengajaknya ke sini. “Danau?” Dahi Kezie berkerut melihat pemandangan sekitar danau itu. “Yap!” Jawab Joshep dengan senyum lebarnya. “Ngapain kita kesini?” Tanya Kezie. “Mau senam aerobik di tengah danau! Ya elah, pake nanya lagi. Duduk-duduk aja, sih. Ke sana, yuk.” Joshep sewot lalu segera menarik tangan gadis itu ke arah sebuah pohon di tepi danau. Walaupun masih sedikit bingung, Kezie tetap mengikuti kemana Joshep menariknya. Dalam hati ia juga merasa senang karena mereka jarang-jarang mempunyai waktu berdua. Biasanya selalu bertiga dengan Aurora. “Bentar.” Joshep memegang lengan Kezie menghentikannya yang baru saja akan duduk. “Kenapa?” Tanya Kezie, namun Joshep hanya diam. Ia lalu melepaskan satu-persatu kancing kemejanya. Setelah terlepas semuanya, ia melepas kemejanya dan meletakan di rerumputan. Meninggalkan kaos dengan gambar micky mouse melekat pada tubuhnya yang bisa dikatakan sangat bagus. d**a bidang dan perut kotak-kotaknya bahkan nampak tercetak dengan kaos pas di tubuhnya itu. “Nah... baru boleh duduk,” ujar Joshep tersenyum manis. Dengan patuh Kezie duduk di atas kemeja Joshep, menunduk menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Sikap sederhana Joshep membuat hatinya menghangat. “Lo tunggu di sini bentar. Jangan ngemilin rumput, ya.” Joshep menggoda Kezie yang langsung menatapnya tajam. “Lo kira gue kambing!” Joshep melangkah dengan tawa mendengar teriakan Kezie. Tawa yang masih bisa didengar gadis itu ketika Joshep sudah beberapa meter jauh darinya. “Dasar. Seenaknya aja bawa gue kesini terus ditinggal,” gerutu Kezie yang melihat punggung Joshep semakin menjauh. Namun perlahan senyum mengembang di wajahnya. Ia senang akhir-akhir ini punya banyak waktu bersama Joshep. Selagi menunggu Kezie melakukan beberapa hal untuk membunuh kebosanan. Mulai dari melempar batu-batu kecil ke danau, bermain dengan ponselnya dan mencabuti rumput yang ada di sekitarnya. “Awas kodok ijo!!” “Aaa!! Jijiiiiikkk!!” Teriak Kezie dengan cepat berdiri lalu melompat-lompat kecil. Namun seketika ia sadar jika sedang dikerjai ketika mendengar suara tawa menyebalkan itu. “Apaan sih lo!?” Teriak Kezie disusul dengan pukulan seribu banyangan miliknya. “Hahaa gak lama, kan?” Tanya Joshep dengan cengirannya lalu duduk di sebelah Kezie. “Ya menurut ngana!? Tuh lo liat rumput sebelah sana sampe bersih gue cabutin,” ujar Kezie kesal sambil cemberut menunjuk tanah yang sudah bersih dari rumput. “Du du duh. Pinter amat Kejia. Cita-cita lo jadi tukang kebun, ya? Bagus... pertahankan, yaa. Gue bangga banget sama lo. By the way, itu rumputnya di cabutin apa di makan?” Tanya Joshep dengan senyum dibuat-buat. Kezie yang sedang menahan senyum saat mendengar Joshep memanggilnya ‘Kejia’, panggilan yang sangat ia suka, seketika melotot mendengar kalimat yang diucapkan Joshep setelahnya. Plakk “Aduh.” Joshep mengelus kepalanya yang baru saja dipukul Kezie. Panass sekali. “Apa lo bilang?” Tanya Kezie dingin membuat Joshep gelagapan. Kezie terlihat menyeramkan saat mode marahnya tidak jauh berbeda dari Aurora, nyali Joshep seketika menciut. “G-gak, Gue gak bilang apa-apa. Oo iya, gue tadi beli ini loh.” Joshep bergegas mengeluarkan dua buah es krim dan beberapa cemilan dari kantong yang dibawanya. “Strawberry buat lo, coklat buat gue,” jelas Joshep. “Makasih,” ujar Kezie tersenyum mengambil es krim di tangan Joshep. Es krim dengan rasa kesukaannya. Lebih senang lagi karena Joshep yang membelikan, Joshep ingat rasa kesukaannya, makannya berdua dengan Joshep. Harinya terasa sangat menyenangkan karena ada Joshep. “Hm.” Mereka mulai menikmati es krim masing-masing. Tidak ada perbincangan. Sesekali Joshep melirik ke arah Kezie. Begitupun Kezie. “Mau coba punya gue, gak? Yang sebelah sini belum gue gigit kok,” ujar Joshep membuat Kezie menoleh. Ia menemukan Joshep tersenyum sambil menyodorkan es krim miliknya. “G-gue gak suka coklat. Terlalu manis,” ujar Kezie mengalihkan pandangannya ke danau di depan mereka. Senyum itu membuat Kezie gila. Ya, GILA!! “Gak kok, manisnya pas. Coba dulu. Manisnya kan kelebihan di Kejiaa,” ujar Joshep yang lagi-lagi membuat Kezie meleleh seketika. Gadis menoleh mencoba menahan senyumnya. Perlahan mendekat dan mencicipi es krim milik Joshep. ‘Bener, manisnya pas.’ “Gimana?” Tanya Joshep dengan semangat. “Ukhk.. uhk.. L-lumayan.” Kezie sempat tersedak karena tiba-tiba wajah Joshep mendekat dengan senyum lebarnya. Dengan cepat ia kembali melihat ke arah danau dan menikmati es krimnya. Takut jika tiba-tiba pipinya memerah dan Joshep melihat itu. “Masa?” Tanya Joshep yang tak terima rasa kesukaannya hanya dibilang lumayan. “Hm.” “Cuma lumayan?” Kali ini kerutan di dahi Joshep kembali muncul. “Ish... Iya lo- Iiih!!” Baru saja Kezie akan mengomel namun terhenti ketika pipinya terkena es krim Joshep saat menoleh. “Ee eh, sorry sorry.” “Ihh!! Lo sengaja ya, Wesphal!?” Marah Kezie sambil mencari tissu di tas. Bagaimana tidak, bagi seorang wanita wajah itu merupakan aset yang sensitif. Sedikit saja tersenggol teriakannya terdengar seperti dentuman bom Nagasaki Hirosima. “N-nggak yaa gue kan gak tau lo mau nengok ke sini,” ujar Joshep membela diri dari amukan medusa di depannya. Joshep mendadak gugup melihat Kezie seperti ingin menelannya bulat-bulat seperti tahu bulat. Ia memejamkan matanya saat Kezie mengangkat tangannya. Bersiap menerima sebuah hadiah kepalan tangan Kezie. Pukk “Nah... lo jadi makin keren kalo gini, Josh. Hahaa…” Joshep membuka matanya saat mendengar Kezie tertawa. Ia menyentuh pipinya yang terasa dingin. “Yah, Zieeee. Lo apain wajah ganteng gue,” rengek Joshep setelah tahu bahwa Kezie mengerjainya. “Hahahaa.. Lo yang mulai duluan.” “Kan udah gue bilang gak sengaja. Sini Lo!” Joshep kembali akan m*****i wajah Kezie dengan es krim namun gadis itu dengan cepat berdiri. “Iiih, jauh-jauh! Nggak! Lo apaan, sih! Ntar wajah gue lengket!” Saat Kezie akan kabur Joshep segera memegangi pergelangan tangannya. Ia berhasil membalas perbuatan Kezie pada wajahnya. “Hahaa rasain.” “Gue bales ya!! Sini lo, Wesphal!!” Joshep dengan cepat menghindar saat Kezie kembali berusaha mengotori wajahnya dengan es krim miliknya. Akhirnya terjadilah aksi kejar-kejaran. Mereka tertawa dengan lepas. Beberapa pasangan di sana tersenyum melihat tingkah mereka, bahkan ada yang menatap mereka dengan tatapan iri. *** Di dalam ruangannya Billy untuk kesekian kalinya mengutuk dirinya sendiri karena melihat wajah terluka gadis yang tidak sengaja ia temui tadi. Mengingat bagaimana gadis itu memanggilnya dengan sebutan ‘Om’ cukup menyentil hati kecilnya. “Kenapa kamu jadi jahat gini, sih?” Tanya seorang wanita yang sudah beberapa menit lalu berada di sana mendengar curhatan Billy. Ia mengambil soda yang disodorkan oleh pria tampan itu lalu meneguknya beberapa kali. “Terus aku harus gimana coba?” Tanya Billy lalu meneguk minumannya hingga tersisa setengah. “Kamu yakin Joshep suka dia?” Tanya wanita lalu mendengar nafas berat dari pria yang belakangan ini sering bersamanya itu. “Aku denger sendiri dari mulut Joshep. Bahkan dia nangis,” ujarnya memelan lalu meneguk habis minumannya. “Apa harus dengan jauhin dia?” “Cuma ini satu-satunya cara.” “Kamu gak seharusnya nyakitin diri kamu sendiri. Kamu tau ini juga nyakitin Aurora, Bil. Kamu nyakitin dua hati untuk menyelamatkan satu hati yang belum tentu terluka separah kalian.” Billy tentu membenarkan pernyataan wanita itu di dalam hati. Namun rasanya lebih baik dia yang terluka dari pada keponakan kesayangannya, Joshep. “Mungkin sekarang dia sakit hati, tapi aku yakin kalau Joshep bisa bikin dia lebih baik,” ujarnya tersenyum. Senyuman yang terlihat hambar dan dipaksakan. “Terserah kamu lah. Aku harap kamu yakin dengan keputusan kamu jauhin Aurora. Jangan sampai kamu nyesel di akhir. Belum terlambat buat perbaikin kok,” uajar wanita itu membuat Billy tersenyum mendengarnya. “Thank you, Wanda.” “Kadang kita hanya harus mengandalkan keyakinan, Bill. Tapi keyakinan itu enggak ada di diri kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN