Runtuh

1576 Kata
Sore itu Aurora pergi ke kantor Billy, tapi ia tak dapat menemui pria itu di sana. Jessica bilang jika Billy tidak masuk kantor hari ini karena sedang tidak enak badan. Tanpa pikir panjang Aurora meminta alamat apartemen Billy pada Jessica. Entah apa yang ada di fikirannya hingga ia berniat mengunjungi apartemen Billy. Aurora tidak mengerti kenapa Billy menjauhinya. Aurora ingin menanyakan pada Billy secara langsung apa mungkin ia memang ada salah. Jika benar, tentu Aurora akan minta maaf untuk itu dan memperbaikinya hingga permasalahan antara mereka bisa selesai. Bukan seperti ini, tiba-tiba seperti tidak terjadi apa-apa pada mereka sebelumnya. Pintu terbuka saat Aurora akan menekan bell untuk ke empat kalinya. Di sana ia melihat wajah pucat Billy yang menggunakan baju kaos dan celana pendek selutut. Aurora sedikit terpesona melihat itu, Billy terlihat jauh lebih muda dan tampan jika memakai pakaian santai. “Ara?” Tampak dengan jelas Billy terkejut karena kedatangan Aurora ke apartemennya. “Ehm… aku denger dari Kak Jessie, Kakak lagi sakit. Jadi aku ke sini jenguk Kakak. Ini aku juga bawa buah-buahan,” ujar Aurora dengan senyuman manisnya. Sesaat Billy masih terdiam seolah mencerna semuanya baik-baik sebelum mengambil percel berisi buah itu lalu menggeser badannya mempersilahkan Aurora masuk. “Makasih, ya. Masuk, Ra.” Aurora hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti Billy yang berjalan di depannya setelah menutup pintu. Tangannya bergetar melangkah masuk apartemen itu, jantungnya berdetak dengan cepat dan keras rasanya lebih mendebarkan dari saat dulu ia dikejar orang gila karena tersenyum ke arahnya menunjukan keramahan. “Duduk dulu, Ra. Mau minum apa? Aku bikinin,” ujar Billy hendak pergi ke dapur, namun Aurora memegang pergelangan Billy, menghentikan pergerakannya. “Gak usah, Kak. Kakak kan lagi sakit, duduk aja.” Aurora mengatakannya dengan tersenyum cerah seperti biasa, meskipun degub jantungnya sangat berisik. Billy langsung mengalihkan pandangannya tak kuat melihat tatapan Aurora padanya. Wajah polos Aurora dengan mata yang berbinar, tanpa cacat, tanpa jerawat dan komedo itu benar-benar membuat hatinya berantakan. Billy melihat ke arah dimana gadis itu memegang pergelangan tangannya. Aurora yang melihat arah tatapan Billy segera melepaskan tangannya. “E-eh maaf, Kak.” “Gapapa. Duduk, Ra.” Aurora sedikit kecewa karena Billy mengambil tempat duduk yang jauh darinya. Benar-benar terasa di hatinya jika Billy sedang menghindarinya. “Kakak sakit apa?” Tanya Aurora berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka. “Cuma gak enak badan biasa kok,” ujar Billy yang menatap ke bawah. Aurora tahu jika pria itu menghindari kontak mata dengannya. “Ooh,” lirih Aurora. Banyak hal yang ingin ia tanyakan namun tiba-tiba kalimat itu malah tersangkut di tenggorokannya. Aurora bingung bagaimana dan darimana ia mulai bertanya. ‘Ayo, Ra. Tanya sekarang, b**o!’ Billy dapat melihat Aurora memainkan ujung bajunya. Ia tahu jika gadis itu sedang gugup, sama seperti dirinya. Namun Billy lebih pandai dalam menutupi itu semua. “Kak. Boleh aku tanya sesuatu?” “Boleh. Mau tanya apa?” Billy mencoba terlihat santai sambil menatap televisi yang menyala di depan mereka. Hatinya ketar ketir memikirkan apa yang ditanyakan Aurora, bahkan suara gadis itu terdengar ragu. “Maaf sebelumnya kalau aku salah, tapi entah kenapa aku ngerasa kalau... Kakak lagi ngehindarin aku. Enggak gitu kan?” Deg Billy yang mendengar itu sontak menoleh menatap Aurora. Sebelum dengan cepat mengalihkannya lagi. Lagi-lagi ia tak sanggup menatap kedua bola mata itu. Billy tidak menyangka jika Aurora akan menyadarinya secepat ini bahkan dengan beraninya bertanya langsung padanya. “Ngehindarin? Maksud kamu?” Oke, Billy berhak mendapat penghargaan atas aktingnya yang bagus. “Kakak bahkan gak natap aku lagi ngomong. Kenapa? Aku ada salah?” Tanya Aurora membuat Billy menggigit pipi bagian dalamnya mendengar suara lirih yang sedih dari gadis itu. “Kalau aku ada salah Kakak bilang aja, biar aku tau dan bisa perbaiki kesalahan aku.” “Mungkin perasaan kamu aja. Aku lagi sibuk banyak kerjaan, belakangan juga enggak enak badan. Jadi mungkin aku sedikit berbeda.” Billy kini menatap Aurora. Tak ingin menambah kecurigaan gadis itu. “Oo gitu,” ujar Aurora ragu, ia masih tidak percaya dengan penjelasan Billy. Aurora merasa tidak puas dengan jawaban yang diterimanya. Kalau benar karena itu, kenapa harus berbeda? “Iya. Perasaan kamu aja kali, Ra.” Billy memaksakan senyum tipisnya. Untuk sesaat keduanya kembali diam. Suasana hening kembali menyelimuti keduanya. “Malam itu... apa Kakak m-masih inget?” Tanya Aurora ragu-ragu. Aurora tidak bisa terus begini. Yap, malam dimana Billy menatapnya dengan penuh cinta. Mengecup keningnya seolah menyalurkan semua perasaannya. Bahkan Aurora masih dapat merasakan lembut bibir Billy di keningnya. Semua momennya dengan Billy masih berputar-putar di kepalanya. Bagaimana mungkin setelah beberapa hal yang mereka lalui beberapa waktu belakang ini bisa dikatakan sesuatu yang biasa. Walaupun singkat bagi Aurora itu tidak bisa di hapus begitu saja! Nampak jelas oleh Aurora jika Billy sempat tersentak. Pria itu terdiam untuk beberapa saat. Tentu pertanyaan ini yang ingin dihindari Billy. Namun ia kembali mencoba untuk tetap terlihat tenang. “Malam? Waktu kamu ke rumah ngobrol sama Joshep?” “Nggak, bu-” ucapan Aurora terhenti mendengar bunyi bell apartemen menggema. “Bentar ya, Ra.” Billy beranjak untuk membukakan pintu. Dalam hati ia sangat bersyukur bisa keluar dari pertanyaan Aurora tadi. Walaupun untuk sementara. ‘Apa Kak Billy lupa gitu aja? Gak berarti apa-apa?’ Lamunan Aurora buyar melihat Billy kembali dengan seseorang di belakangnya. ‘Si Tante genit!?’ “Eum... aku ganggu, ya? Duh maaf aku gak tau kamu lagi ada tamu,” ujar Wanda dengan senyum manisnya, manis sekali hingga gula insecure dan ingin beralih profesi menjadi garam. Namun berbeda bagi Aurora malah tampak menjengkelkan. “Ya gak ganggu lah, Wan.” Bukan Aurora, itu Billy yang bersuara. Aurora hanya diam merasa kosong dalam dirinya. Memikirkan Wanda yang datang ke apartemen Billy. Bertanya-tanya sedekat apa hubungan keduanya. “Siapa?” Tunjuk Wanda pada Aurora. “Dia sepupu Jessica, sekretarisku. Aurora,” ujar Billy tersenyum pada Wanda. Bahkan dari tadi Billy belum menunjukan senyuman itu padanya. Deg “Maaf, Kak. Aku permisi dulu.” Aurora mengambil tasnya dan pergi begitu saja meninggalkan Wanda yang menatapnya heran. Sedangkan Billy hanya menatap punggung yang menjauh itu dengan sendu. “Iya, Ra. Hati-hati di jalan,” ujar Billy dengan memaksakan sebuah senyuman kecil. ‘Gapapa, sebentar lagi.’ Sementara itu Aurora keluar dari sana dengan tergesa. Dadanya sesak. Matanya mulai buram. Ia hanya tak ingin Billy dan wanita itu melihatnya menangis. Saat di depan lift, akhirnya air mata yang ditahan-tahannya itu jatuh. “Hiks... kenapa? Apa gue cuma sebatas keponakan Kak Jessie buat dia? Trus kenapa dia cium gue waktu itu coba? Kenapa dia cium gue? hiks...” Aurora bergumam di dalam lift. Sesekali mengusap kasar air matanya yang terus mengalir. *** Dengan perasaan campur aduk itu Aurora mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang belum pernah ia capai sebelumnya. Setelah cukup lama berputar akhirnya Aurora berhenti di salah satu rumah megah bercat putih itu. “Ara!?” Joshep membukakan pintu dan menemukan Aurora dengan mata sembabnya di sana. Rambut berantakan, bahkan maskaranya luntur. Bibirnya terlihat pucat, tidak ada polesan lipstik. Aurora benar-benar terlihat buruk saat ini. “Josh. G-gue,” ujar Aurora dengan suara bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya mencoba menahan tangis yang kembali akan meledak. “Masuk dulu, yuk.” Joshep yang melihat mata itu mulai berkaca-kaca segera merangkul Aurora masuk. Ia benar-benar terkejut dengan keadaan Aurora sekarang. “Tunggu di sini.” Joshep menuntun Aurora duduk di kursi santai yang ada di dekat kolam lalu meninggalkan Aurora dengan tatapan kosongnya. Hati Joshep bertanya-tanya apa yang terjadi namun ia berusaha untuk tetap tenang dan menanyakan itu dengan perlahan nanti. “Heii. Lo ngelamun? Awas ntar kesambet hantu mermaid di kolam baru tau lo.” Aurora tersentak melihat Joshep sudah ada di hadapannya dengan membawa secangkir coklat panas. Joshep menyodorkan coklat panas itu di depan Aurora. Namun gadis itu hanya diam menatapnya sebentar sebelum menerima cangkir itu. “Makasih.” “Minum gih. Tenang aja, gak gue kasih sianida kok,” ujar Joshep terkekeh membuat Aurora tersenyum kecil. Ini pertama kali ia melihat Aurora seperti ini, Joshep jadi bingung, bertanya-tanya dan sedih. “Duh duh duh. Meleleh abang liat senyum adek, manis banget! Dikit aja udah cakep gila. Kalau senyum kayak biasa mungkin pingsan abang,” ujar Joshep dengan nada seperti tukang ojek pangkalan yang menggoda anak kuliahan yang sedang jalan kaki. Banyak kurangnya Joshep telah membuat suasana hati Aurora sedikit membaik. “Makasih,” ujar Aurora lagi. Joshep beralih duduk ke sebelah gadis itu. Suasana jadi hening. Namun tangan Joshep mengelus lembut rambut Aurora. Aurora benar-benar bersyukur Joshep sangat mengerti dirinya. “Apa sekarang rasanya udah berubah? Biasanya kalau gue bikinin coklat panas, sekali teguk langsung ludes sama lo. Malah minta tambah,” ujar Joshep yang melihat Aurora meminumnya hanya sedikit. “Lo gak mau nanya, Josh?” Tanya Aurora mengabaikan pertanyaan Joshep mengenai coklat panas. “Apa?” Joshep menatap bingung Aurora. “Kenapa gue kayak gini?” “Gue mau lo tenang dulu. Setelah itu baru kalau lo mau cerita ke gue itu lebih baik,” ujar Joshep tersenyum membuat Aurora juga ikut tersenyum. “Gue rasa gue terlalu percaya diri. Gue fikir dia juga punya perasaan yang sama, Josh. Gue belum pernah ngerasain hal kayak gini sebelumnya. Ini yang pertama. Gue ngerasa dari waktu pertama ketemu sama dia dan takdir malah bikin kami ketemu lagi kantor Kak Jessie kerja, sampe gue berharap terlalu banyak kayak sekarang.” Aurora berhenti sejenak. Sedangkan Joshep yang mendengar itu menggertakan giginya kuat. Tangannya mengepal hingga kuku jarinya memutih. ‘Lagi-lagi om gue yang buat lo seperti ini, Ra.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN