Kejelasan

1691 Kata
“Pertama kali gue ngerasa hal yang beda, rasa yang lebih dari apa yang pernah gue rasain sebelumnya. Pertama kalinya gue nginjak dapur buat masak, gak peduli kuku-kuku gue bakalan rusak, gak peduli bau dapur bakalan nempel di baju gue. Pertama kalinya gue seneng-seneng di tempat yang sederhana, gue ngerasa kehangatan yang belum pernah gue rasain. Semua tentang dia itu pertama buat gue, tapi kenapa ini seolah hal yang biasa buat dia? Hiks... gue... g-gue harus apa, Josh?” Joshep segera merangkul Aurora dari samping. Mengusap bahu Aurora yang mulai bergetar. Dadanya terasa sesak. “Mungkin lo anggep gue b**o karna mudahnya jatuh cinta sama orang yang baru gue kenal, tapi itu yang gue rasain, Josh. Gue gak bisa ngendaliin perasaan gue sendiri. Kalau dia gak punya perasaan lebih, kenapa dia perlakuin gue beda? Kenapa dia buat gue ngerasa spesial? Kenapa dia kasih gue harapan?” Joshep yang mendengar itu menutup matanya. Salah satu tangannya mengepal dengan nafas yang mulai memburu. “Kenapa? Kenapa dia malah bikin perasaan gue tumbuh makin besar tiap harinya? Seharusnya gue enggak naruh harapan sebesar ini, Josh. hiks... Andai gue bisa milih, gue lebih milih untuk enggak jatuh terlalu dalam secepat ini, Josh.” Suara Aurora yang terdengar lirih membuat Joshep semakin sakit mendengarnya. “Dia berubah. Waktu kami ketemu dia malah cuek sama gue hiks... seenaknya bilang mau pergi ngedate di depan gue. Hiks... tadi gue ke apartemen dia dan wanita itu... tante-tante yang nganterin dia malem itu juga ada di sana! Sakit, Josh. Sakit... hiks. Dia keliatan seneng banget waktu cewek itu dateng. Beda waktu gue yang dateng.” Billy membawa Aurora ke dalam pelukannya. Hatinya sakit, bahkan untuk menyebut namanya saja Aurora rasanya tak sanggup. “Segitu cintanya lo sama Om Billy, Ra?” Tanya Joshep membuat Aurora hanya menganggukan kepalanya di pelukan pria itu. “I love him, Josh. I love him so much. Sesederhana itu ungkapan rasa gue, Josh. Tapi k-kenapa rasanya sesakit ini. Rasanya baru kemarin gue seneng banget, gue-” “Udah! Stop! Udah, Ra! Gue mohon cukup! Lo yang sakit di sini, jadi gue mohon berhenti! Gue gak suka lihat lo berantakan kayak gini,” ujar Joshep tegas memotong kata-kata yang akan keluar dari mulut Aurora. Ia mencengkram kedua pundak Aurora. Rasanya sudah cukup untuk mendengar kepahitan gadis itu. “Josh?” Aurora terkejut melihat mata Joshep yang mulai berkaca-kaca. Pria itu membentaknya. Untuk pertama kali suara Joshep sekeras ini. “Kenapa, Ra? Kenapa?! Kenapa harus dia?! Ada banyak orang di luar sana yang bakalan nerima lo! Kenapa dia, Ra!? Kenapa?!” Air mata itu telah lolos. Ia tak bisa menahan nya lagi. Semuanya. Bukan hanya Billy dan Aurora yang tersakiti di sini, tapi Joshep juga. Awalnya bagi Joshep memang menyakitkan ketika mengetahui orang yang di sukai Aurora adalah Omnya sendiri, tapi ternyata lebih menyakitkan ketika melihat Aurora serapuh ini karena patah hati. “Tapi Josh, gue cin-” “Persetan dengan cinta dia! Itu gak cinta... gak cinta. Lo cuma kagum, Ra. Iya, cuma rasa kagum. Yang lo dapetin dari dia cuma luka, lebih baik lo berhenti, Ra.” Kini suara Joshep tidak sekeras tadi. Bahkan terdengar lebih memohon. “Lo inget kan waktu gue bilang bakalan lindungin lo?” Aurora hanya mengangguk sebagai jawaban masih dengan isakannya. “Itu masih berlaku sampai sekarang. Gue bakal lindungin lo. Gue gak akan ngebiarin lo terluka, Ra.” Joshep tersenyum sambil menghapus air mata Aurora yang masih saja mengalir. “Makasih, Josh.” Joshep kembali memeluk Aurora. Gadis itu kembali menumpahkan tangisannya di pelukan Joshep. Tangan kanan Joshep naik mengelus punggung Aurora, berharap dapat sedikit menenangkan gadis itu. Cukup lama mereka terdiam dengan posisi seperti itu. Hingga isak tangis Aurora tak terdengar lagi. “Lo masih inget gak waktu pertama kali kita ketemu? Waktu itu gue lagi nangis sendirian di makam Mommy. Terus ada gadis kecil pake bando putih ngehampirin gue. Dia kasih gue sapu tangan, trus bilang gini.. nih, lap ingus lo. Terus dia ngeluarin kata-kata ajaib yang bikin gue lebih tenang kalau semuanya akan baik-baik aja. Semua orang akan pergi tapi mereka akan tetap abadi di hati kita.” Aurora hanya diam mendengarkan Joshep bercerita sambil mengusap lembut rambutnya. “Semenjak itu gue ingin deket sama tuh cewek. Gue ingin lindungin dia. Gue janji akan jaga dia. Dari apapun itu. Sampai gue sempat kehilangan tuh cewek, akhirnya ketemu lagi waktu masuk SMA dan sekarang dia jatuh cinta. Sebenarnya gue gak tau harus ngelakuin apa untuk itu. Satu hal yang pasti, gue cuma gak mau dia terluka.” Joshep menangkup pipi Aurora. Mengusap air mata yang kembali jatuh itu. “Sekarang dia lagi nangis di hadapan gue, sampe ingusnya belepotan gini. Gue gak pernah lihat dia sekacau ini. Gue gak pernah nemuin dia seputus asa ini. Gue gak suka lihat air mata mengalir dari mata cantiknya,” ujar Joshep lalu tersenyum membuat Aurora juga ikut terseyum lirih walaupun matanya masih berkaca-kaca. Mendengar kalimat demi kalimat tulus itu membuat hatinya benar-baner terenyuh. “Josh,” panggil Aurora yang akhirnya buka suara yang terdengar serak. “Lo mau bilang makasih, kan? Udah sih, gak usah. Gue gak perlu makasih lo, gue cuma mau lo gak cengeng kayak gini lagi,” ujar Joshep menggoda Aurora sambil mendorong pelan dahi Aurora dengan telunjuknya, hingga gadis itu tertawa kecil. Joshep memang pandai membuatnya merasa lebih baik. “Makasih, Josh.” *** Aurora kini telah berada di depan salah satu gedung pencakar langit dengan design terbaik di Indonesia itu. Ada huruf W besar di depan gedung itu sebagai simbol dari nama kaluarga Wesphal. Bukan, bukan untuk menemui Jessica. Aurora ingin menemui seseorang yang mengganggu fikirannya akhir-akhir ini. Ia ingin mendapatkan jawaban yang jelas dan pasti dari seseorang. Aurora ingin menemui Billy. Hari itu dia tidak mendapatkan jawaban itu karena kehadiran ‘tante genit’ yang mengganggu percakapan mereka. Beberapa karyawan sudah mengenal Aurora, hingga tidak sulit baginya untuk menjelajah di kantor itu. Bukan hanya karena Aurora sepupu dari Jessica, namun juga karena gadis itu mengenal Billy Wesphal, pemegang kuasa tertinggi disana. Tokk Tokk “Masuk.” Mendengar suara di balik pintu itu membuat Aurora seketika gugup. Kepercayaan diri yang tadi begitu menggebu tiba-tiba merosot turun. Sejenak dia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan pria itu lagi. “Kamu sudah membawa-” “Ini aku,” potong Aurora saat Billy menyangka yang masuk adalah salah satu pegawainya. “A-ara? Duduk dulu. M-mau ketemu Jessie, ya? Dia lagi ada urusan di luar kantor. Aku coba telpon dulu, ya.” Billy dengan cepat mengangkat ganggang teleponnya. Ia sedikit gelagapan mendapati Aurora ke ruangannya setelah pertemuan mereka tiga hari yang lalu. “Gak usah, Kak. Aku kesini bukan mau nemuin Kak Jessie kok,” ujar Aurora membuat Billy meletakan kembali ganggang telpon itu. Jantungnya semakin berisik mengetahui Aurora ke sini untuk menemuinya. “Jadi... ada apa?” Tanya Billy. Mendadak Aurora tak tau apa yang ingin dia katakan. Lidahnya terasa kelu, nmaun ia benar-benar harus menyelesaikan semua ini agar hatinya lega. “I-itu pembicaraan kita malam itu,” ujar Aurora sambil meremas ujung baju bagian sampingnya “Y-ya?” Tanya Billy yang tiba-tiba kehilangan pasokan oksigen di dadanya. Ia fikir Aurora akan menyerah dan melupakan semuanya begitu saja. “Waktu Kakak nganter aku pulang dari villa. Apa Kakak masih inget?” Tanya Aurora yang mulai tak sabar. “Yang mana?” Tanya Billy kembali pura-pura tidak ingat. “Kakak bener-bener lupa atau Kakak cuma pura-pura gak inget?” ujar Aurora mulai geram. Matanya memicing menatap Billy tajam. Ia benar-benar kesal dengan jawaban yang didapatnya. “Apa maksud kamu, Ara?” Tanya Billy lagi yang sebenarnya merasa nyalinya ciut melihat tatapan Aurora yang berbeda padanya “Kakak cium aku malam itu!” ujar Aurora dengan penekanan. Bahkan suaranya sedikit meninggi. “Udah inget?” Aurora lalu mendekat ke arah Billy yang masih terdiam menatapnya datar. Namun andai saja ia tahu jika jantung Billy rasanya akan copot ketika Aurora mengatakan itu dengan lancar. “Apa kamu tau apa yang kamu lakuin?” Billy mendekat hingga jarak wajah mereka yang dekat. “Ingetin Kakak. Kalau emang mungkin Kakak lupa,” ujar Aurora. Ia tahu jika Billy tidak sebodoh itu. Yang membuatnya bingung adalah kenapa Billy selalu berbelit-belit dan menghindar. “Lalu apa masalahnya?” Tanya Billy datar membuat Aurora menatap tak percaya. “Apa masalahnya?!” “Iya, apa?” Tanya Billy lagi berusaha untuk sesantai mungkin, ia tak kuat melihat tatapan Aurora padanya. Marah dan terluka. “Kenapa kamu cium aku?” Aurora mencoba mengendalikan dirinya untuk tetap tenang walaupun kini matanya mulai buram karena air matanya telah menumpuk di sana. “Ciuman itu? Apa yang kamu fikirin tentang itu? Itu cuma sebuah ciuman,” ujar Billy lalu mengalihkan pandangannya, Ia mengepalkan tangannya kuat. “Hanya sebuah ciuman?” Air mata yang ditahan Aurora akhirnya jatuh lalu ia dengan cepat menghapusnya dengan kasar namun Billy lebih dulu melihatnya. Hatinya mencolos melihat itu. “Ya, emangnya apa yang kamu harapin dari sebuah ciuman?” Aurora terdiam mendengar ucapan Billy. Apa dia yang terlalu kuno? Sehingga berfikir sebuah ciuman adalah suatu yang penting. Mengapa ia begitu berharap dengan sebuah ciuman di dahi yang bagi Billy itu hanya hal biasa. “Sial... Iya, kamu emang bener. Apa yang harus aku harapin dari sebuah ciuman yang cuma kening? b**o,” lirih Aurora sambil tersenyum miris. Billy yang mendengar itu menggertakan giginya. Ia juga kesal dengan dirinya yang dulu malah terbawa perasaan dan semuanya jadi rumit seperti ini. “Kamu udah selesai? Hari ini aku sedikit sibuk,” ujar Billy secara tidak langsung mengusir membuat Aurora tertawa pelan. Tawa yang terdengar memilukan. “Cuma ini yang aku mau, kejelasan dari Kakak. Aku enggak minta apa-apa kok. Senang akhirnya semua jadi jelas. Jelas jika aku enggak harus lagi menaruh harapan sama Kakak.” “Aku udah selesai. Makasih dan maaf udah gangu waktu, Kakak.” Aurora mengambil tasnya dan pergi begitu saja. Ia membanting pintu itu cukup keras. Setelah kepergian Aurora, Billy terdiam disana. Ia mengepalkan tangannya. Matanya berkaca-kaca. Pria itu melangkah gontai lalu terduduk begitu saja di kursi kerjanya. Billy merasa jahat. Tapi ia juga tak tahu harus melakukan apa. ‘Maaf... Maaf, Ra. Aku gak bisa bersaing sama Josh.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN