Flashback

1653 Kata
Billy menatap sedih wanita cantik yang terbaring lemah di ranjang putih itu. Ia menggenggam tangan yang tampak kurus dan kering, berharap dapat memberi sedikit kekuatan padanya. Billy merasakan kantuk yang luar biasa. Semalam ia tidak tidur untuk menjaga wanita itu. Sesekali matanya terpejam lalu kembali tersentak ketika kepalanya terantuk tepian ranjang. Rasanya tak ingin sedikitpun perhatiannya teralihkan dari wanita yang sedang tertidur di depannya itu. “Engh.” Wanita di depan Billy perlahan mulai membuka matanya. Suara lirih merintih itu seketika membuat Billy panik. “Kenapa? Ada yang sakit, Kak? Butuh sesuatu?” Billy bangkit dari duduknya. Ia memegang kedua pundak wanita itu. Wajah wanita itu tampak gelisah. Sesekali dahinya berkerut. Nafasnya mulai tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Billy yang melihat itupun jadi panik. “Kak!? A-apa... apa kakak mimpi buruk? Bilang sama aku, buka mata Kakak! Jangan bikin aku takut,” ujar Billy mulai meninggikan suaranya, dengan cepat Ia menekan tombol yang berada di atas ranjang itu. “K-kak!! Kak Annita!!” Billy terkejut melihat Annita menyemburkan darah dari mulutnya hingga mengenai sebagian wajah Billy. “Sa-akit,” ringis Annita dengan tangan kanan meremas pakaian bagian dadanya. Tubuhnya bergetar. Annita mencengkram baju yang Billy dikenakan. Billy meletakan tangannya di atas tangan Annita dan meremasnya. “Sebentar, Kak. Tahan sebentar. Dokter lagi jalan ke sini. Sakit banget ya, Kak? Tahan bentar, ya? Kakak kuat kok,” ujar Billy dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ia tak sanggup melihat Annita seperti ini. Dengan cepat Billy menghapus air matanya walaupun tangisnya tak bisa berhenti. Bahkan darah di wajahnya jadi menyebar karena ia menyeka dengan punggung tangannya. “Bil-ly s-sakit.” Billy yang mendengar itu menggigit bibir bawahnya kuat. Air matanya semakin deras mengalir. Lagi-lagi ia melihat orang yang ia cintai sakit di depan matanya. “Iya, aku tahu. Tahan sebentar ya, Kak.” Suara Billy bergetar. Ia membersihkan noda darah yang menyebar di beberapa bagian wajah Annita dengan ibu jarinya. Billy mengalihkan pandangan nya ketika mendengar pintu dibuka dengan tergesa. “Mas Billy, beri waktu kami untuk memeriksa Bu Annita,” ujar dokter masuk tergesa dengan beberapa suster di belakangnya. “Kak Annita sangat kesakitan, Dok. Aku mohon lakukan yang terbaik.” Billy menggenggam erat tangan dokter itu. “Tentu, Mas Billy. Sekarang berikan kami sedikit ruang untuk memeriksanya,” ujar dokter itu segera melepaskan genggaman Billy dan beralih ke samping Annita untuk memeriksanya. Billy pun berjalan keluar dengan gontai. “Kakak bakalan baik-baik aja.” “Kakak bakalan baik-baik aja.” “Kakak bakalan baik-baik aja.” “Kak Annita wanita yang kuat.” “Kak Annita bakalan sembuh.” Billy terus bergumam. Ia mengepalkan tinjunya hingga kukunya memutih. Pikirannya kacau. Bahkan ia lupa mengabari Abangnya, Edy. Annita bukan sekedar kakak ipar untuknya. Annita sudah ia anggap seperti saudara kandungnya sendiri. Bahkan untuknya Annita adalah pengganti ibunya. Annita memperlakukan Billy dan Edy dengan baik. Saat orang tua mereka meninggal semua jadi kacau. Perusahaan orang tuanya kritis, hingga Billy melihat Edy kewalahan mengurusnya. Namun Edy tetap tersenyum dan mengatakan. ‘Semua akan baik-baik saja, Bill. Gak perlu khawatir. Kamu belajar aja, ya.’ Annita yang membantu memulihkan perusahaan keluarga mereka yang tengah terpuruk. Ia juga membantu membiayai pendidikan Billy yang memang saat itu akan berhenti. Hingga akhirnya Annita menikah dengan Edy. Kasih sayang Annita padanya tidak kurang sedikitpun. Karena itulah Billy sangat menyayangi Annita. “B-bagaimana keadaan Kakak, Dok?” Tanya Billy yang segera bangkit dari duduknya melihat dokter keluar dari ruangan Annita “Mas Billy...” Melihat dokter itu terdiam pikiran Billy semakin kalut. “K-kenapa? Ada apa? Katakan sesuatu!?” Billy mencengkram kedua bahu dokter itu dengan kuat. “Saya minta maaf. Kondisi Bu Annita Semakin parah. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan. Hanya keajaiban yang bisa menyambuhkannya. Waktu Bu Annita sudah tidak banyak lagi, saya harap anda menyampaikannya pada keluarga.” “Gak!! Apa maksud dokter bicara seperti itu!? Anda seorang dokter!! Sudah tugas anda untuk menyembuhkan penyakit seseorang!!” Teriak Billy, matanya sudah memerah dengan air mata yang tak mau berhenti. “Maaf, Mas Billy. Ini semua diluar kuasa saya. Kita hanya bisa berserah kepada Tuhan-” Tak peduli perkataan dokter itu belum selesai. Ia dengan tergesa pergi begitu saja ke dalam ruangan Annita. Bahkan ia tak sadar sudah mendorong Dokter itu cukup kuat. “Kakak!” Lagi-lagi tangis itu pecah. Billy memeluk Annita yang terbaring lemah di ranjangnya, menumpahkan tangisnya di d**a wanita itu. Annita tersenyum lemah. Ia mengusap pelan kepala Billy untuk menenangkannya. “Sstt... a-adik kecil Kakak kenapa, huh? Kenapa kamu jadi cengang kayak gini sih?” Annita berucap lirih lalu terkekeh pelan membuat Billy mengangkat kepalanya. “Ini semua gara-gara Kakak!!” “Kenapa? Kenapa jadi kakak yang salah?” Tanya Annita yang malah tersenyum lebih lebar. “Ya jelas semua salah kakak! Ngapain coba tiduran di sini mulu. Tadi juga Kakak... kakak hampir buat jantung aku keluar tau,” ujar Billy cemberut, setelah kedua orang tuanya meninggal, Billy hanya bersikap manja pada Annita, bahkan pada Edy kakaknya sendiri tidak pernah ia lakukan. “Ingat umur kamu. Astaga... jangankan cepat pulang, bisa sembuh saja itu bagaikan mimpi buat Kakak.” Annita kembali memaksakan senyum kecil membuat d**a Billy sesak melihatnya. “Kenapa? Kenapa kakak ngomong kayak gitu? Kakak bikin aku makin sedih tau.” Billy kembali cemberut dengan air matanya yang kembali mengalir, rasanya nafasnya tercekat. “Kakak tau kalau dokter udah nyerah sama Kakak,” ujar Annita membuat Billy menatapnya sedih. Mata Annita pun berkaca-kaca mengingat bagaimana adik iparnya itu meneriaki Dokter didepan ruangannya. Tentu saja ia mendengar semua itu, suara Billy sangat keras tadi. “Dokter itu aja yang bodoh. Percuma aja dengan gelar yang susah payah dia dapet. Udah jelas kakak bisa sembuh,” ujar Billy dengan wajah marahnya yang lagi-lagi membuat Annita tertawa pelan. “Kalau Kakak pergi nanti, tolong kamu jaga Bang Edy sama Joshep ya. Anggap Josh kayak sahabat, adik, anak kamu sendiri. Jangan larang Abangmu kalau dia mau nikah lagi karena Kakak gak keberatan untuk itu. Apa lagi, ya? Ah jangan terlalu sering makan es krim-” “Hei hei hei! Tunggu tunggu. Kenapa kakak bicara seolah-olah kakak mau pergi, hah? Udah aku bilang kakak bakalann sembuh. Dan lagi...aku gak mau punya anak kayak Josh. Jail, jelek, ompong-” Plakk “Aww.” Billy mengelus pipinya yang ditampar pelan oleh Annita. “Sembarangan bicara,” ujar Annita membuat Billy tertawa pelan. Ia memang sangat suka membuat Annita marah. Menurutnya wajah marah Annita sangat menggemaskan, karena sebenarnya wanita itu tidak bisa marah sama sekali. “Aku cuma bicara kenyataan. Dan jangan berani lagi mengatakan hal-hal aneh seolah-olah kakak akan pergi. Aku gak suka.” Kali ini Billy mengarakannya dengan wajah sarius. “Kakak tega ninggalin aku juga kayak mama papa?” Suara lirih Billy kembali membuat luka di hati Annita. Jika bisa ia akan menemani mereka hingga tua nanti. Tapi apa daya, penyakit yang dideritanya sudah parah, bahkan Dokter sudah telihat menyerah akan dirinya. “Sini... sini, peluk Kakak.” Dengan cepat Billy memeluk Annita. Memeluknya dengan hati-hati karena ia takut menyakiti Annita yang begitu nampak rapuh sekarang. “Aahh... satu lagi. Jangan biarin Josh sedih lama-lama, ya? Apa lagi sampai nangis-” “Ya ya ya Kakak mulai lagi,” rengek Billy membuat Annita tertawa karena berhasil menggoda adik iparnya itu. “Hahaa maaf maaf.” “Kakak terlalu banyak bicara untuk orang yang lagi sakit, Kak. Udah ih, diem.” *** Disini Billy berdiri, tidak sendiri. Ada banyak orang di sekitarnya. Namun yang terasa hanya hampa dan sepi. Telinganya berdengung, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Ada banyak yang menyampaikan bela sungkawa kepadanya, namun Billy hanya terpaku seolah tak mendengar itu semua. Melihat pusara dengan nama Annita Wesphal adalah mimpi buruk untuknya. Annita telah pergi. Dari hidupnya, Edy dan Joshep untuk selamanya. Lagi-lagi ia merasakan sakit yang teramat perih, sakit akan kehilangan. Rasanya baru kemarin Billy merasakan pelukan hangat Annita, rasanya baru kemarin wanita itu mengomelinya karena menjahili Joshep. Semua kini tinggal kenangan yang tidak bisa terulang lagi. Edy yang berada beberapa meter dari Billy itu dapat melihat betapa kacaunya adiknya. Ia sangat tau bagaimana sayangnya Billy pada Annita begitupun sebaliknya. Edy sedih, sangat sedih. Namun Edy sadar, ia punya dua pasang tangan yang perlu ia genggam. “Ikhlas ya,” ujar Edy yang kini sudah berada di samping Billy dengan merangkul Joshep di sampingnya. “Mommy, Om. Hiks... Mommy... hiks...” Tangis Joshep sesegukan seolah mengadu pada Billy membuat hatinya semakin hancur. Tadi Billy menangis dalam diam, hanya air matanya yang keluar, namun kini suara tangisan itu terdengar begitu pilu baik bagi Edy maupun bagi pelayat yang lain. “Udah ya Bill, yang ikhlas. Kasian Kak Annitanya liat kamu kaya gini, hm?” Bukannya berhenti tangis Billy malah semakin keras. Bahkan kini ia memukul dadanya berulang kali, dadanya begitu dakit dan sesak. Pukulan yang ia harap bisa mengurangi rasa sakitnya malah tidak terasa sama sekali. Nafasnya terasa sesak menyadari Annita kini benar-benar tidak bersama mereka lagi. Annita telah pergi dan tidak akan pernah bisa ia temui lagi, untuk memeluk, untuk mendengar omelan dan senyum wanita itu kini sudah tidak bisa lagi. “Sekarang kita fokus sama Joshep, ya?” Mendengar ucapan abangnya seketika Billy tersedak akan tangisnya sendiri. Abangnya benar. Bukan hanya ia yang terpukul akan kepergian Annita. Bukan hanya ia yang merasa kehilangan. Ada Joshep di sana. Ada anak yang ditinggalkan oleh Annita. Anak yang dititipkan oleh Annita padanya saat hari itu. Billy dengan gerakan cepat merengkuh Joshep ke dalam pelukannya. Memeluk Joshep dengan erat seolah mengatakan semua akan baik-baik saja, jadi tidak perlu khawatir. “Om janji bakalan jagain, Josh. Om bakalan selalu ada buat, Josh. Sampai kamu enggak ngerasa kehilangan sama sekali. Om janji kamu enggak akan kekurangan apapun.” Joshep tidak mengatakan apapun namun ia membalas pelukan itu tidak kalah eratnya. Ia percaya akan semua yang dikatakan Billy karena pria itu tidak pernah berbohong padanya. “Aku gak siap, Kak.” Suara lirih Billy terdengar oleh Edy yang juga menangis melihat keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN