Kalah Sebelum Mulai

1642 Kata
Billy mengantarkan Aurora sampai depan pintu kamarnya. Kebetulan memang kamar mereka bersebelahan. Langkah keduanya melambat, seolah tak ingin cepat berpisah. Saat telah sampai di depan pintu, keduanya malah terdiam. Aurora tampak malu-malu untuk menatap Billy yang sadar akan itu malah salah tingkah. "Hm masuk gih," ujar Billy lalu tersenyum kecil membuat Aurora juga ikut tersenyum. "Iya, Kak." Aurora lalu berbalik akan membuka pintu kamarnya. "Ehm… Ra," panggil Billy. Aurora melepaskan ganggang pintu yang baru saja diraihnya. Ia menoleh menatap Billy yang tampak gugup. Saat Billy akan pergi, ia baru sadar jika boneka beruang tadi ada padanya. "Ini." Billy mengulurkan boneka itu di depan Aurora. Kedua alis Aurora terangkat, namun senyum jelas terukir di wajahnya. "Untuk aku?" Tanyanya menatap Billy sebentar sebelum kembali melirik boneka yang diulurkan Billy. "Iya. Kamu pikir aku susah payah mainnya untuk siapa coba. Aku masih suka mobil remote control dari pada boneka," ujar Billy panjang lebar, namun sedetik kemudian dalam hati Billy merutuki dirinya sendiri. Merasa bodoh mengucapkan kata-kata yang tidak penting seperti itu. "Makasih, Kak." Kedua mata Aurora berbinar, tentu dengan senang hati ia mengambilnya. Ia membawa boneka itu ke dalam dekapannya. "Sama-sama. Masuk gih," balas Billy tersenyum. Lagi-lagi Aurora seolah terhinoptis melihat senyuman itu. Hari ini benar-benar hari yang mendebarkan. Bukan hanya untuk Aurora namun juga untuk Billy. Keduanya tampak malu-malu. Billy dan Aurora terlihat seperti anak remaja yang baru pulang kencan pertama mereka. "Iya," ujar Aurora dan entah mendapat keberanian dari mana ia maju selangkah hingga… Cup Billy tersentak merasakan sesuatu yang lembut itu menyentuh pipinya. Ia terdiam, perlahan mengangkat tangannya untuk menyentuh pipinya yang baru mendapat hadiah dari Aurora. Gadis itu tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Billy. Menggemaskan, namun Aurora juga tidak bisa berlama-lama di sana. Lututnya terasa lemas seketika. "Malam, Kak." Aurora lalu meninggalkan Billy yang masih mematung di sana. Billy menatap pintu yang baru saja ditutup Aurora. Perlahan senyum mengembang di wajahnya. Sadar akan itu Billy malah menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyum yang malah semakin lebar itu seolah takut ada yang melihatnya tersenyum seperti orang i***t sekarang. "Malam, Ara." Tak jauh dari sana seseorang yang dari tadi melihat keduanya kembali masuk ke dalam kamar. Dengan pelan Joshep menutup pintu. Tubuhnya jatuh begitu saja. Bersandar pada pintu kayu sambil menekuk kakinya. Joshep menatap sebuah foto Aurora dan dirinya dengan sedih. Perlahan air matanya jatuh. Pertama kalinya semenjak Ibunya meninggal. Air mata itu... kini jatuh lagi. 'Sebelum berjuang, gue udah kalah.' *** Kini mereka tengah sibuk siap-siap untuk pulang. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam mobil yang tadi lebih dulu dipanasi oleh Billy. Tinggal Aurora yang belum. Gadis itu tadi terlambat bangun. Tadi malam ia sangat sulit untuk tidur karena memikirkan kejadian di depan pintu kamarnya. Aurora yang memulai, namun ia juga yang merasa malu, berdebar, hingga berakhir susah tidur. "Kalian kemana aja semalam? Kok ngilang gitu aja?" Tanya Jessica yang baru masuk ke dalam mobil bersama Azka. Mereka sepakat pulang hari ini karena besok Billy dan Jessica ada pertemuan penting. "Kalian yang kemana? Main pergi gitu aja. Aku sama Ara nunggu kalian lama tau," ujar Billy menatap keduanya datar. "Kami cobain jajanan di sana, enak-enak loh, Bang. Abis itu liat kembang api, duduk di rumput," ujar Azka membuat Jessica menatapnya tajam. "Kami? Enak aja, orang kamu yang kayak kesetanan makan kok gak ada kenyang-kenyangnya. Padahal kan sebelum pergi udah makan," cibir Jessica membuat Billy dan Kezie tertawa. Sedangkan Joshep hanya tertawa kecil, ia tak ingin jika mereka kembali mengkhawatirkan dirinya. Seseorang membuka pintu menghentikan perdebatan mereka. "Pagi Kak," ujar Aurora yang baru masuk. Ia duduk di samping Billy. Sekarang tanpa Billy memintanya. "Pagi Ara," balas Billy tersenyum. Tak jauh berbeda dengan Aurora, Billy sedikit malu jika ia mengingat hal semalam. “Cuma Billy doang nih yang di sapa,” ujar Azka sambil tersenyum jahil. Aurora tersenyum malu sedangkan Billy berdehem merasa ada yang tersangkut di tenggorokannya. “Pagi, Kak Jessie, Bang Azka, Zie, Josh,” sapa Aurora lagi membuat suara tawa memenuhi mobil. "Udah semua, kan?" Tanya Billy membuat semuanya kompak mengangguk. "Periksa dulu. Kalau ada yang ketinggalan aku gak bakalan balik lagi," ujar Billy lagi. "Udah," ujar yang lainnya serempak. Joshep memilih menggunakan earphone miliknya, menghidupkan musik rock yang ia suka lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sambil memejamkan mata. "Ok, berangkat." Seperti kemarin mereka tertidur meninggalkan Billy dan Aurora yang masih terjaga di perjalanan. Sejak kemarin mereka jadi lebih akrab. Bicara pun jadi lebih santai. Billy mengantarkan mereka satu-persatu. Jessica, Azka, Joshep dan Kezie. Rumah Aurora berada lebih jauh dari yang lain. Sekarang tinggal Billy dan Aurora yang berada di dalam mobil. “Aku sering main ke rumah Josh, tapi kok gak pernah liat Kakak?” Tanya Aurora. “Aku jarang di Indonesia, sering ke luar negeri. Kadang kalau di sini aku lebih sering di Apartemen dari pada di rumah,” jelas Billy. “Kenapa gitu?” Tanya Aurora lagi menatap Billy yang menyetir disampingnya. “Yaa... lebih enak aja. Aku gak suka rumah terlalu besar. Suka suasana hening dan sendiri. Tapi bukan menyendiri loh yaa,” ujar Billy tersenyum. Sadar atau tidak Billy jadi lebih terbuka dan banyak kata jika sedang barsama Aurora. Padahal bisa dikatakan Aurora ini orang baru dalam kehidupannya. “Kok gitu?” “Aku lagi diinterogasi?” Tanya Billy tetawa kecil membuat Aurora tersenyum malu. “Yaa pengen tau aja. Aku kan juga udah lama kenal sama Josh tapi gak pernah ketemu Kakak. Di foto keluarga aku liat Kakak brewokan, pantes aku gak ngenalin Kakak pas awal ketemu,” jelas Aurora lalu menggigit bibir bawahnya menahan debaran yang lagi-lagi meresahkannya. "Haha sekarang kan udah kenal. Jalannya bener yang ini?" Tanya Billy masuk ke area komplek perumahan mewah itu. "Iya, Kak. Terus aja lurus. Aku di gang ke tiga," jelas Aurora. “Ehm Kakak enggak keberatan aku panggil Kakak, kan? A-atau harus aku panggil Om sama kayak Josh? Maaf aku ngerasa lancang,” lanjut Aurora. Semenjak ia tau jika Billy adalah Om dari Joshep ia merasa takut dikatakan tidak sopan karena memanggil dengan sebutan Kakak. “Kamu boleh manggil kakak kok. Aku gak keberatan,” ujar Billy tersenyum sekilas menatap Aurora. “Yang rumah warna putih itu, Kak.” Billy mengangguk lalu menghentikan mobilnya di depan rumah yang ditunjuk Aurora tadi. “Makasih Kak.” Aurora menurunkan kaca di sampingnya, memanggil penjaga rumahnya untuk membawa koper miliknya. "Sama-sama," balas Billy tersenyum. Saat akan keluar Aurora kesulitan membuka sabuk pengamannya. Memang kemarin pun sabuk itu juga sedikit bermasalah saat ia akan turun. "Kenapa?" "Nyangkut deh kayaknya," ujar Aurora sambil mencoba membuka sabuk pengamannya. "Sini. Emang agak keras dikit." Billy mendekat mencoba membantu Aurora. Tak sengaja tangannya menyentuh tangan Aurora. Aurora menoleh menemukan Billy yang juga menatapnya. Keduanya terhanyut dalam tatapan itu. Aurora jatuh ke dalam mata indah Billy. Begitupun Billy, ia berfikir selain kepribadian yang menyenangkan, paras Aurora sangatlah sempurna. Entah apa yang mendorongnya perlahan Billy mendekatkan wajahnya pada Aurora. Saat jarak wajah mereka hanya berjarak 5 cm, Billy jadi ragu. Ia memundurkan kembali wajahnya, detik itu juga Aurora menutup matanya. Melihat itu, Billypun kembali memajukan wajahnya hingga hidung mereka bersentuhan. Billy memiringkan wajahnya. Dahi mereka bertemu. Nafas Billy tercekat mencium aroma strawberry dari Aurora. Saat akan menyentuh bibir itu, akal sehat Billy malah membangunkannya hingga ia memilih mencium kening Aurora lembut. Ada sedikit rasa kecewa, namun besarnya rasa bahagia Aurora bisa menutupi. Billy hanya tidak ingin mengambil kesempatan dalam situasi ini. Baginya ciuman bukan hal yang mudah dan sembarangan. Apalagi kini ia tidak ada ikatan apapun dengan Aurora. Cukup lama dengan posisi seperti itu sebelum Billy mengakhiri ciumannya. Masih dengan jarak yang dekat. Billy menatap Aurora. Menunggu reaksi apa yang akan diberikan gadis itu. Apa gadis itu akan menamparnya? Tidak, justu Billy melihat senyuman terukir di wajah Aurora. Membuat Billy lega dan juga ikut tersenyum. "Aku... aku-" Billy tidak bisa melanjutkan kata-katanya setelah tangan Aurora menyentuh pipinya. Cup~ Sekarang bukan Billy, melainkan Aurora yang mencium pipi kiri Billy dengan lembut, menahannya lama di sana. Aurora menangkup pipi kanan Billy, ibu jarinya mengusap pipi mulus itu. Sedangkan tangan kanan Aurora meremas lengan jaket Billy. Perlahan Aurora menjauhkan bibirnya dari pipi Billy. Keduanya saling menatap dari jarak dekat. Billy kembali tersenyum begitupun Aurora. "Aku-" Drrt drrt Aurora dapat melihat panggilan masuk ‘Papaaa Akoeh’ tertera di layar ponsel miliknya. "Papa." "Kayaknya kamu harus turun sekarang," ujar Billy dengan tersenyum lalu membantu Aurora membuka sabuk pengamannya itu. *** ‘Hahaa... seharusnya lo paham. Lo yang lebih tau apa yang harus lo lakuin. Lakuin apapun yang lo rasa benar. Pakai hati juga otak, jangan cuma ego lo aja.’ Perkataan Kezie beberapa hari lalu masih terngiang-ngiang dengan jelas di kepalanya. "Gue bahkan gak tau harus apa." Joshep tertawa kecil mengingat apa yang dikatakan Kezie. "Kenapa saat gue mulai berani untuk ungkapin perasaan gue, lo malah suka sama…" Air mata itu jatuh lagi, ini yang kedua kalinya. Saat seorang pria menangis maka hatinya benar-benar sedang terluka. "Gue cinta sama lo, Ara! hiks... hiks... Kenapa!? Kenapa sulit banget buat bilang sama lo!!" BUKK!! PRANG!! Joshep memukul cermin yang ada di kamarnya hingga pecah. Ia tak langsung menurunkan tangannya. Membiarkannya berada di sana. Perlahan darah segar mengalir di beberapa retakan kaca di bawah kepalan tangan Joshep. "Apa lo gak bisa liat!? hiks... apa lo gak bisa ngerasainnya!? Gue cinta lo, Aurora! gue cinta lo." Perlahan suara Joshep melunak, namun tak menghentikan tangisnya. Air mata itu mengalir seolah tak mau berhenti. Joshep tak sadar jika seseorang melihatnya dari balik pintu kamarnya yang terbuka. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui Joshep. Pria itu justru berbalik menjauh dari pintu itu. Menuruni setiap tangga dengan perlahan. Pandangannya terlihat kosong. Pikirannya kemana-mana. Bagaimana hubungannya dengan Aurora? Bagaimana hubungannya dengan Joshep? Bagaimana hubungan Joshep dengan Aurora? "Bill? Gak jadi ketemu Josh?" Suara itu mengalihkan perhatiannya. "Aku... aku dapat panggilan kantor. Kapan-kapan aku ke sini lagi, Bang." Billy memaksakan senyumannya. Ia memeluk Edy sebentar sebelum keluar dari rumah megah itu. Billy mempercepat langkahnya. Matanya terasa panas. 'Astaga... Josh suka Ara.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN