Dilema

1840 Kata
“Wesphal!!” Teriakan nyaring itu membuat Billy terlonjak. Bahkan ponsel yang ia pegang hampir saja terlempar. “Gosh! Jess, What the-!? Apaan sih teriak-teriak terus,” ujar Billy lalu menarik nafas dalam menormalkan kembali detak jantungnya yang tadi berpacu cepat. “Anda yang ada apa, Boss?” Dengan santainya Jessica duduk di sofa yang ada di depan meja Billy lalu melipat kakinya. Seolah membangunkan Billy dari lamunannya tadi bukan suatu hal yang salah. “Masuk ke dalam ruangan aku seenaknya. Mukul meja kayak preman gitu. Terakhir, kamu teriak pakai suara yang bisa bikin aku tuli. Harus berapa kali bahas ini,” ujar Billy panjang lebar. Memang Billy hanya bicara banyak dengan orang-orang terdekatnya seperti Jessica, Abangnya Edy, dan Joshep. Namun sekarang sepertinya tambah satu lagi, yaitu Aurora. Jessica berjalan santai ke arah Billy yang menatapnya bingung. Wanita berparas bak dewi Yunani itu lalu memukul kening Billy dengan ponselnya. Tukk “Aduh,” ringis Billy sambil mengusap usap keningnya yang terasa panas. Jessica kalau soal fisik memang tidak diragukan lagi, benar-benar tidak memakai perasaan saat melakukannya. “Enggak usah ngomong seolah kamu yang teraniaya, ya! Ini semua salah kamu. Lupa bawa telinga tadi dari rumah, hah!? Aku udah dari tadi ngetuk tapi kamu diem aja. Dan apa yang aku lihat pas aku masuk? Ngelihat kamu ngelamun seolah yang paling sedih di dunia. Kayak baru di tinggal istri selama-lamanya aja. Jones juga,” omel Jessica yang membuat Billy memutar kedua matanya seolah jengah. Billy tidak menjawab sama sekali hanya berguman kecil, ia tau jika ia akan selalu kalah jika berurusan dengan wanita. “Mikirin apa? Jarang-jarang aku liat kamu gini loh,” ujar Jessica lagi lalu membuka salah satu majalah baru yang terletak di atas meja. Membaliknya satu persatu dan menandai di dalam hati barang mana yang akan ia kirim pada Azka nanti. “Kalimat kamu panjang banget. Otak aku bingung cernanya gimana,” ujar Billy dengan tatapannya polos. “Itu karena kamu emang bodoh sih. Udah biasa,” cibir Jessica dengan entengnya. “Di sini bossnya siapa sih!? Kok jadi galakan dia,” gerutu Billy pelan dan tentu Jessica mendengar itu walaupun tidak jelas. “Oii!! Enak aja ngatain bodoh! Kalau aku bodoh, mana mungkin aku jadi pimpinan perusahaan ini,” ujar Billy yang di sambut tawa meremehkan Jessica. “Kayaknya mereka salah cari pemimpin deh. Kasian, ya?” “Males debat sama kamu. Aku pergi,” ujar Billy sambil membereskan barang bawaannya. “Kemana?” Tanya Jessica yang kali ini mengalihkan pandangannya dari majalah itu. “Meeting.” “Meeting di luar lagi? Oo... yang sama CEO sexy itu, ya?” Tanya Jessica dengan semangatnya, kedua alisnya naik turun menggoda Billy. Sedangkan Billy lagi-lagi memutar kedua matanya malas. “Menurut aku, kamu harus kasih kesempatan buat mereka.” Mereka yang dimaksud Jessica adalah beberapa wanita yang secara terang-terangan menunjukan ketertarikannya pada Billy. Selalu saja Billy dengan terang terangan menolak. ‘Anda bukan type saya.’ ‘Kita enggak cocok kalau jalan. Kamu terlalu pendek berasa jalan sama anak SD.’ ‘Saya enggak suka wanita.’ ‘Anda terlalu cerewet.’ ‘Maaf... jangan dekat-dekat. Mulut anda bau rokok.’ Kira-kira begitulah kalimat lembut Billy saat menolak wanita-wanita yang terang-terangan mendekatinya. Ada beberapa yang mencoba lagi, malu, marah, hingga dendam dan berusaha menjatuhkan perusahaan Billy. “Ntar aku pikirin dulu.” Billy tertawa kecil sebelum hilang dari balik pintu ruangan itu. *** Butuh waktu 35 menit Billy untuk sampai ke lokasi janji meetingnya kali ini. Terlambat 5 menit dari waktu yang dijanjikan membuat Billy mempercepat langkahnya. “Maaf. Saya sedikit terlambat,” ujar Billy sambil sedikit membungkuk sebelum duduk di depan klien-nya. “Anda harus membayar makan siang kita nanti atas keterlambatan ini,” ujarnya sambil tertawa kecil. Billy yang mendengarnya juga ikut tertawa. “Ok gak masalah, Bu Wanda. Anda bisa memesan sepuasnya.” “Wanda aja, jangan pakai Bu. Berasa tua,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya. “Billy.” Uluran tangan itu disambut baik oleh Billy. Wanda yang ramah, lembut dan tidak memberikannya tatapan nakal seperti klien-klien wanita sebelumnya cukup membuat Billy merasa nyaman. “Hm jadi... apa mau pesan makanan dulu atau mulai dengan pekerjaan?” “Sebaiknya kita mulai dari pekerjaan, biar makannya bisa lebih santai nanti,” ujar Wanda tersenyum. Wanda cantik, sangat cantik malah. Nyaris tidak ada cacat sama sekali. Hidungnya mancung, ia juga punya pipi mulus yang chubby. Bahkan senyumnya manis, tapi entah kenapa Billy tetap saja tidak tertarik. Beberapa kali ia pernah bertemu Wanda di pertemuan penting, walau tidak ada percakapan. Ia malah tertarik pada anak kuliahan yang seumuran dengan keponakannya. “Ok, boleh.” Billy memberikan sebuah map pada Wanda. Ia mulai menjelaskan tiap helai kertas yang ada di dalam map itu. Billy menjelaskan secara rinci bahkan sebelum Wanda mempertanyakannya. Wanda sangat kagum dengan cara persentasi Billy yang singkat, padat dan jelas. Billy sangat berwibawa dalam setiap penyampaiannya dan itu membuatnya terlihat semakin tampan. Wanda sudah banyak bertemu dengan pria tampan, tapi memang benar kabar angin yang ia dengar bahwa pesona Billy sangat kuat. “Heii.” Billy menjentikan jarinya di depan wajah Wanda. “Hm?” Wanda merasakan wajahnya memanas karena ketahuan melamun sambil menatap Billy. Kesan pertama yang memalukan, sungguh memalukan. “Kamu dengar penjelasan aku tadi, kan? Kamu ngelamun. Terpesona ya?” Tanya Billy dengan senyum menggodanya. Ia bisa bercanda dengan Wanda karena tadi wanita itu juga melayangkan candaan-candaan padanya. “Hahaa… aku gak nyangka kalau pemimpin dari perusahaan milik keluarga Wesphal narsis juga,” ujar Wanda, pada awalnya ia mengira jika Billy adalah sosok dingin yang sulit untuk di dekati. Tapi setelah beberapa perbincangan tadi Wanda berfikir Billy sangat easy going, tergantung bagaimana kita membangun suasana saja. “Kamu orang kedua yang bilang seolah aku aneh hari ini. Apa itu buruk?” “Tenang aja. Beberapa di antaranya hal baik kok,” ujar Wanda sambil tertawa kecil. Tentu hal baik, karena dari tadi Wanda melamun sambil memuja-muja Billy di dalam hatinya. “So... gimana?” “Buru-buru banget. Laper, ya?” Tanya Wanda membuat Billy tertawa, pria itu hanya ingin kerja sama mereka jelas. “Aku suka dengan ide kamu. Penyampaiannya juga bagus. Bahkan aku gak tau harus bertanya apa lagi, semua lengkap. Kamu udah jelasin dengan rinci,” ujar Wanda lalu berhenti sejenak membuat Billy penasaran. “Jadi?” Tanya Billy lagi membuat Wanda tersenyum. Billy benar-benar seperti orang yang ambisius sekarang, menatap Wanda dengan penuh harap. “Kita bisa menandatangani kontraknya minggu depan. Aku akan hubungi serketaris aku untuk bikin kontrak trus anter ke kantor kamu secepatnya.” Jawaban Wanda membuat Billy tersenyum lebar. Dalam hati ia bersorak senang karena ini merupakan proyek yang besar. “Senang bekerja sama dengan kamu,” ujar Billy dengan senyumannya membuat Wanda sekali lagi terpesona. “Aku juga, Billy.” “Yaudah, sekarang pesan aja apapun yang kamu mau. Aku udah janji buat traktir hari ini,” ujar Billy semangat membuat Wanda tertawa kecil. “Kamu bakalan nyesel traktir aku. Porsi makan aku jangan kaget ya,” ujar Wanda sambil membolak-balik buku menu itu. “Hahaa kamu jujur banget. Gapapa, aku punya banyak uang,” ujar Billy dengan seringai sombongnya membuat Wanda juga ikut tertawa. Billy bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain, namun dengan Wanda rasanya seperti pengecualian. *** “Kenapa pak tua itu kalau kasih tugas banyak banget, sih?” Tanya Aurora cemberut. “Kalau lo gak mau di kasih tugas ya udah gampang sih, tidur aja di rumah gak usah ngampus. Gitu aja ribet,” ujar Kezie dengan santai sambil memainkan tangkai permen di dalam mulutnya. Sebelah pipinya mengembung, tepat dimana permen itu bersarang. “Sama kayak biasa, suara lo gak ngebantu sama sekali. Thanks,” ujar Aurora. Kezie hanya mengangkat bahunya acuh sambil memainkan tangkai permennya. “Lo liat Josh gak?” Tanya Aurora tiba-tiba mengingat sahabatnya yang beberapa hari ini jarang ia temui. “Gak sih. Semenjak pulang dari villa gue belum ketemu dia lagi. Ponsel tuh anak juga gak aktif, kemana ya? Gak biasanya gak ada kabar gini,” lanjut Aurora. Sedikit banyaknya ia juga merasa cemas karena Joshep hilang kabar seperti ini. Belum lagi anak itu terlihat murung beberapa hari ke belakang. Tidak seperti biasanya. “Noh! Atta. Tanya aja dia, kan Josh sering juga nongkrong bareng dia.” Kezie menunjuk seorang pria yang berpenampilan nerd membuat Aurora mengalihkan pandangannya. “Yuk.” Aurora segera menarik tangan Kezie beranjak dari duduknya. Hingga kini mereka berdiri di hadapan pria berkaca mata itu. “Misi. Atta?” “I-iya,” jawab Atta sedikit gugup membenarkan kacamatanya melihat dua primadona kampus kini menghampirinya. Bahkan salah satu diantara mereka tersenyum. Rasanya seperti baru saja menyaksikan salah satu keajaiban dunia di depan mata. “Lo liat Joshep gak?” Tanya Kezie langsung membuat hati Atta ketar ketir. “N-nggak. Udah tiga hari dia gak masuk,” jawab Atta. Bagaikan mimpi untuknya bisa bicara dengan dua gadis bening yang di puja-puja banyak mahasiswa kampus. “Tiga hari!?” Tanya Kezie kambali memastikan. “Iya. Kalau kalian ketemu Josh, tolong bilang aku minta bukuku yang dipinjammya,” ujar Atta sambil kembali memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. “Aah iya. Thanks ya,” ujar Aurora dengan senyum tipis. Namun cukup membuat Atta rasanya akan meleleh di tempat. “Dimana sih tuh anak? Ke rumah Josh, yuk?” Ajak Aurora. Sekarang bukan sedikit lagi. Ia benar-benar mengkhawatirkan Joshep. “Sorry, sekarang gue gak bisa, ada janji sama Krystal.” “Ya udah deh. Gue sendiri aja ke sananya.” Sebenarnya Kezie tidak ada janji apapun dengan adiknya, Krystal. Hanya saja rasanya ia tahu letak permasalahannya. Kezie ingin memberi mereka waktu berdua. *** Edy tersentak melihat siapa yang berdiri dengan cengiran khasnya itu di balik pintu yang baru saja dibukanya. “Loh?” “Sore, Om.” Aurora lalu mengambil tangan kanan Edy menyalaminya. “Sore, Ara. Apa kabar? Udah lama kamu gak main ke sini,” ujar Edy tersenyum lembut sambil mengelus pelan kepala Aurora. “Iya nih, Om. Tugas kampus lagi ribet. Kenapa harus ada tugas segala coba, belajar aja trus lulus. Gampang, kan?” Gerutu Aurora lalu mengerucutkan bibirnya membuat Edy tetawa pelan. “Hahaa Iya iya, ntar Om demo di depan kampus kamu deh. Ah mau ketemu Josh, ya? Tuh, dia di kamar. Masuk saja.” “Iya, Om. Josh gapapa kan, Om? Kok gak masuk udah tiga hari ini?” Tanya Aurora. Sebenarnya ia sedikit menghawatirkan sahabatnya itu akhir-akhir ini. Joshep terlihat murung. “Josh cuma lagi gak enak badan aja kok.” “Hm ya udah, Om. Kalau gitu aku mau nemuin Josh dulu, Om.” Dengan langkah cepat Aurora menaiki tangga rumah itu. Tentu ia sudah beberapa kali ke sini dan sudah hafal dimana letak kamar Joshep. Ceklek “Paa… kan udah aku bilang, ntar aku makan,” ujar Joshep dari balik selimutnya. Ia mengira jika yang masuk ke kamar adalah Papanya. Aurora mendekat dan duduk di tepi kasur, tepat di hadapan Joshep. Ia membuka selimut yang menutupi tubuh Joshep. “Aaa!! Papa ngapain sih, aku-” Joshep terdiam kaget mendapati Aurora duduk di hadapannya. “Ara…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN