Tante Genit

1564 Kata
“Iya, ini gue. Yakali lo samain sama Bokap lo. Gue gak brewokan,” ujar Aurora cemberut. Joshep menggigit kecil bibir bawahnya menahan diri untuk tidak berhambur memeluk Aurora kini. Melihat wajah lucu serta suara imutnya cukup mengobati rindu Joshep beberapa hari terakhir tidak bertemu gadis itu. “Ngapain lo di sini?” Joshep menatapnya datar membuat Aurora mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu. “Kok lo nanya gitu? Ya gue ke sini mau ketemu lo lah. Mau ngapain lagi coba? Masa mau ketemu Om Edy,” ujar Aurora menatap serius Joshep, bahkan suaranya mulai meninggi. “Ooh gue kira mau nemuin Om Billy,” ujar Joshep ketus dengan senyum sinis membuat Aurora merasa aneh dengan sikap Joshep. “Lo kenapa sih!?” “Semua orang pada kenapa nanya gitu mulu? Lo kenapa, lo kenapa? Emang gue kenapa ah elah,” ujar Joshep lalu tertawa kecil, namun Aurora tidak merasa itu lucu sama sekali. “Karena lo bikin khawatir semua orang! Gue ke sini, malah tanya ngapain. Maksud lo apa coba!? Aneh banget!” Teriak Aurora yang kekesalannya semakin bertambah pada Joshep. Padahal ia juga sudah beberapa kali main ke rumah dan baru kali Joshep menanyakan ‘lo ngapain di sini?’ “Aneh? Aneh apaan sih?” Tanya Joshep tanpa menatap Aurora ia tau jika tidak akan bisa menahannya. “Kenapa lo ngehindar? Kenapa lo seolah gak seneng gue dateng? Gue gak b**o ya, gue tau akhir-akhir ini lo berusaha ngejauh dari gue sama Zie,” ujar Aurora dengan menggebu-gebu. Aurora memang ingin semua jelas tanpa basa basi. “Berarti lo gak kenal gue gimana, Ra.” Lagi-lagi Joshep tertawa mengejek di akhir kalimatnya. “Joshep!!” Aurora menatap tak percaya ke arah Joshep. Bagaimana mungkin ia berkata seperti itu. Bahkan mereka sudah saling mengenal untuk waktu yang cukup lama. Aurora tau jika Joshep mengenalnya dengan baik begitupun sebaliknya. “Kenapa?” Tanya Joshep santai seolah tidak ada yang salah dengan ucapannya walaupun sebenarnya ia terkejut dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. “Gue emang gak kenal lo yang kayak gini!” Teriak Aurora sambil memukul d**a Joshep keras lalu beranjak melangkah keluar kamar pria itu. Tidak peduli jika pria itu sedang sakit sekarang. Saat di depan pintu Aurora menoleh menatap Joshep sebentar. Melihat Joshep yang hanya diam membuat Aurora tambah kesal dan melanjutkan langkahnya. Blamm!! Joshep menatap pintu yang baru saja di banting keras itu. Ia mengusap kasar wajahnya, mengacak-acak rambut yang sudah tampak kusut itu. Hatinya gusar melihat tatapan terluka Aurora. Joshep membuang nafas panjang menyesali apa yang baru saja ia lakukan. ‘Ini salah.’ “Sial... b**o banget sih gue! Kenapa gue jadi marah sama dia coba!? Ini bukan salah Ara. Kalau gini gue bener-bener bakalan kehilangan dia. Aah shit.” Sementara Joshep merutuki sikap bodohnya, di sisi lain Aurora dengan tergesa menuruni anak tangga, bahkan tidak menghiraukan Mbak Minah yang menyapanya. “Si begoo, Asep begoo!! Gue kan cuma mau liat keadaan dia. Kok malah jutekin gue. Ish b**o b**o b**o,” gerutu Aurora sambil melangkahkan kakinya dengan kesal keluar dari rumah Joshep, yang ada dikikirannya kini hanya satu hal, yaitu mematahkan headphone merk V-Moda Crossfade M-100 with 3D Printed Shields Joshep yang tertinggal di mobilnya menjadi dua bagian. “Tunggu, Ra. Yaelah, cepet banget jalan lo,” ujar Joshep terengah-engah mengejar Aurora. Bukan hanya karena berlari, namun karena Joshep sedang tidak enak badan. “Singkirin tangan lo!” Aurora menyentak tangan Joshep yang menggenggam tangannya. Ia berbalik berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di halaman yang luas itu. “Idih tunggu bentar, jangan ngambek. Lo gak boleh nyetir dulu, lagi emosi kan?” Joshep kembali memegang pergelangan tangan Aurora. “Bodo!” Balas Aurora ketus dan berusaha melepaskan cengkraman Joshep. Tentu tidak semudah itu karena Joshep lebih kuat darinya. “Lo marah, ya?” Aurora memutar bola matanya mendengar pertanyaan bodoh Joshep. Tentu saja dia marah, kesal, sedih dengan sikap menyebalkan Joshep tadi. “Gak, buat apa gue marah. Toh gue gak kenal sama lo,” sindir Aurora ketus masih berusaha melepaskan genggaman Joshep pada pergelangan tangannya. Bahkan kini pergelengan tangannya terasa panas akibat gesekan dari usahanya, sepertinya memerah. “Kalau gak marah, kenapa ketus gitu ngomongnya?” Tanya Joshep tersenyum. Senyum yang semakin membuat darah Aurora mendidih. Bagaimana mungkin dia tersenyum setelah apa yang terjadi beberapa menit lalu. “Gak tau! Pikir aja sendiri! Punya otak kan? Situ punya kepribadian ganda ya? Tadi aja marah-marah gak jelas, sekarang kayak anak kucing minta makan!” Mendapat jawaban ketus Aurora malah membuat senyum Joshep semakin lebar. “Jangan suruh gue mikir, gue lagi meles mikir. Kan gue lagi sakit. Lupain yang tadi, ya? Gue minta maaf.” Aurora bisa melihat ketulusan di dalam mata Joshep. Namun ia tetap diam mencoba meredam kemarahannya yang sudah sampai di ubun-ubun. “...” “Ayolah maafin gue,” ujar Joshep sambil mengoyangkan lengan Aurora. “Ini pertama kalinya lo kayak gini sama gue, Josh. Gak kenal gue? Maksud lo apaan ngomong gitu? Lo gak anggep gue sahabat lo? Gue sama Kezie tau ada yang lo tutupin. Selama ini kami udah kasih waktu sendiri buat lo, jadi sekarang bilang sama gue!” Marah Aurora membuat Joshep menghela nafas dan menatapnya sendu. Andai Aurora tau jika Ia lah penyebabnya Joshep uring-uringan begini. “Maaf, gue bener-bener minta maaf buat yang tadi, Ra. Gue tau gue salah dan gue janji gak bakalan gitu lagi sama lo, janji. G-gue cuma lagi mikirin beberapa hal.” Kali ini Joshep dapat melihat tatapan Aurora melunak. “Trus apa gunanya gue sama Kezie sih, Josh? Lo bisa bagi sedih lo sama kami. Apa yang lagi ganggu lo?” Tanya Aurora lembut sambil menggenggam tangan Joshep. “Gapapa kok, bisa gue atasin sendiri. Lo gak perlu khawatir,” ujar Joshep dengan senyumnya. Meskipun begitu Aurora tidak merasa puas dengan jawaban pria itu. “Kenapa lo gak mau bagi sama gue? Gue ini apa sih buat lo, Josh?” Tanya Aurora yang menatap Joshep dengan tatapan kecewanya. “L-lo... sahabat terbaik gue… adik gue,” ujar Joshep tersenyum lembut pada Aurora. “Gue mulai benci beneran sama senyum lo,” ujar Aurora cemberut membuat tawa Joshep pecah. Ia tau jika Joshep hanya ingin terlihat baik-baik saja dengan senyumnya itu. “Kenapa benci? Ya udah deh, kalau gitu gue gak akan senyum-senyum lagi,” ujar Joshep mencoba sedatar mungkin yang malah membuat Aurora tertawa melihat ekspresinya seperti menahan buang air besar. “Ihh!! Ya gak gitu juga, b**o!!” Aurora mencubit-cubit lengan Joshep hingga ia meringis kesakitan. “Aw aw duh. Nenek sihir udah balik kayaknya. Oo medusakuuu,” lirihnya di akhir kata namun masih dapat didengar oleh Aurora. “Lo bilang apa, hah!?” Tinn Tinn “Siapa tuh?” Tanya Aurora yang melihat satu mobil masuk pekarangan rumah. Mobil asing yang dilihat oleh Joshep. Bukan mobil papanya juga bukan mobil omnya. “Gak tau. Gue belum pernah liat mobilnya.” Di sanalah mereka melihat Billy turun dari mobil mewah itu. Diikuti dengan seorang wanita yang keluar dari sisi lain. “Om Billy.” “Kak Billy.” Joshep melihat Aurora yang tengah tersenyum. Senyum yang berbeda saat bersamanya. Senyum berseri-seri yang tidak pernah ia lihat sebelumnya dan tatapan itu.. tatapan itu seperti ia benar-benar menaruh harapan besar pada Billy. Rasanya Joshep masih belum siap untuk melihat lagi kedekatan Billy dan Aurora. Padahal baru saja hatinya sedikit membaik melihat Aurora. Sekarang malah kembali meredup menyadari fakta Aurora menyukai Billy. Di sisi lain Billy menghampiri Wanda yang juga turun dari mobil mewahnya. Billy tidak membawa mobilnya sehingga Wanda menawarkan untuk mengantarnya. Terlihat senyum mengembang di wajah keduanya. Ia banyak mengobrol dengan Billy selama di perjalanan. Menurut Wanda, Billy sangat menyenangkan dan begitupun sebaliknya. Hal terbesar yang Billy suka dari Wanda adalah dia TIDAK GENIT padanya. “Makasih ya, Wan.” Billy tersenyum pada Wanda. “Sama-sama. Santai aja kali,” ujar Wanda membalas senyum Billy. Dari kejauhan Aurora yang melihat itu sungguh tidak suka. Bagaimana mereka mengobrol dengan saling tersenyum. Cemburu. “Hm kayaknya aku harus traktir kamu lagi nih.” “Boleh,” ujar Wanda, lalu mereka tertawa bersama. Entah apa mereka sadar ada yang menatap mereka dengan tatapan tidak suka. “Kalau gitu aku pamit ya,” ujar Wanda namun di tahan oleh Billy. “Tunggu bentar.” “Kenapa?” Tanya Wanda namun Billy hanya diam lalu membuka jas yang ia kenakan dan memakaikannya pada Wanda. “Cuaca dingin. Kenapa gak pakai baju yang lebih tebel tadi,” ujar Billy membuat Wanda terkekeh. “Sepertinya kamu emang harus traktir aku lagi deh,” ujar Wanda membuat Billy menatapnya. “Hm?” “Gimana aku bisa ngembaliinnya kalau kita gak ketemu?” “Wah... kayaknya ada yang mau ketemu lagi nih,” goda Billy yang detik kemudian terdengar suara tawa manis Wanda. “Ya udah. Aku jalan ya, makasih.” “Sama-sama. Santai aja,” ujar Billy meniru gaya Wanda. Lagi-lagi Wanda tertawa melihat sikap Billy. Dia sangat menyenangkan diajak bicara. Billy selalu bisa membuatnya tertawa dengan kalimat-kalimat konyol yang dilontarkannya. Wanda melajukan mobilnya hingga tak tampak lagi. Di sana Aurora menatap mereka dengan tatapan tak suka. Aurora tidak suka melihat Billy tertawa dengan wanita itu. Aurora tidak suka cara Wanda bicara dengan Billy. Aurora tidak suka melihat tatapan Wanda pada Billy. Keningnya mengerut melihat Billy memberikan jasnya pada Wanda. Nafas berat itu beberapa kali ia hembuskan seperti banteng yang akan menyeruduk targetnya. ‘Kecentilan banget sih tuh tante-tante!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN