Pain and Happiness, You&I-US

1610 Kata
Joshep duduk di sofa yang ada di kamarnya. Sudah dua jam Joshep hanya memandang kosong layar ponselnya. Ia kembali memandang lockscreen ponselnya, di sana terdapat fotonya bersama dengan Aurora dan Kezie. Ceklek Joshep menoleh mendengar pintu kamarnya dibuka. Sebenarnya Kezie sudah dari tadi berada di balik pintu itu. Namun saat akan masuk, ia kembali memikirkan apa yang akan ia katakan pada Joshep nantinya. "Zie?" Kezie tak menjawab panggilan Joshep. Ia melangkah masuk dan menutup pintu kamar Joshep. "Oi! orang nyapa di jawab, jelek. Ngapain di sini?" Tanya Joshep lagi. "Seharusnya gue yang nanya. Katanya sakit. Malah ngelamun lo bukannya istirahat," ujar Kezie lalu duduk di tepi kasur, tepat di hadapan Joshep. "Gak bisa tidur," jawab Joshep lalu melampar ponselnya ke tengah kasur. Kezie terpekik kecil mengira ponsel itu akan mengenainya. "Makanan lo gak abis. Mau gue bikinin sesuatu?" Joshep tersenyum tipis mendapat perhatian dari Kezie. Itu yang membuatnya menyukai Kezie, walaupun terlihat jutek dan dingin tapi Kezie sangat perhatian jika salah satu temannya sedang sakit atau ada masalah. "Gak usah, gue gak laper. Cuma mau istirahat aja bentar, tapi malah gak bisa tidur," ujar Joshep mendekat dan duduk di sebelah Kezie yang hanya mengangguk mendengarnya. "Yang lain lagi ngapain?" Tanya Joshep. “Ehm... pergi semua. Ada festival kembang api,” ujar Kezie membuat Joshep terdiam sebentar sebelum menatap Kezie dengan dahi yang berkerut. “Kok lo enggak pergi?” "Lo ngusir gue? Udah untung gue nemenin lo di sini. Lo kan penakut." Kezie menatap tajam Joshep yang malah tertawa mendengar itu. Namun di dalam hati ia benar-benar bersyukur Kezie memilih untuk tetap tinggal. Gadis itu benar-benar mengerti akan dirinya. "Ngeliatinnya biasa aja. Gue cuma nanya doang." “Udah pada pergi?” Tanya Joshep yang di balas anggukan Kezie. “Tadi om lo yang mau stay buat jagain lo, tapi gue suruh ikut yang lain aja, biar gue yang di rumah, soalnya gue lagi mager kemana-mana. Jadi sekalian bisa jagain lo,” jelas Kezie. “Jagain gue? Gue kenapa?” Tanya Joshep dengan wajah polosnya. “Y-ya gak kenapa-napa. Ya kan lo lagi enggak enak badan. Trus gue juga lagi males keluar. Kebetulan gitu,” ujar Kezie yang terdengar belepotan menyusun kalimat. Joshep mengangguk-angguk, ia terdiam tidak menanggapi Kezie lagi. "Nah kan, ngelamun lagi lo. Untung gue di sini, kalau gak kesurupan lama-lama lo.” Joshep sama sekali tidak bergeming mendengar lelucon Kezie. Detik kemudian Kezie hanya melihat senyum kecil yang dipaksakan dari pria yang ia sukai diam-diam itu. “Kenapa sih? Beberapa hari ini lo jadi pendiem, ngumpul juga udah jarang. Lo tau? Gue, om lo sama Ara khawatir liat lo yang kayak gini." Joshep yang tadinya menatap kosong keramik lantai mengangkat kepalanya menatap Kezie. Baru saja ia melupakan, namun Kezie malah menyebut Billy dan Aurora. "Gue... gapapa," ujar Joshep pelan, ia menoleh ke arah lain menghindari tatapan Kezie. "Lo bikin khawatir tau gak." Kini suara Kezie lebih melembut yang membuat mata Joshep terasa panas. "Ngapain khawatirin gue? Gue bukan anak kecil," ujar Joshep tertawa kecil. “Cerita sama gue!” “Mau cerita apa? Gue gak kenapa-napa!” Joshep kembali meyakinkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja. Kezie menghela nafas menyadari kini mereka telah meninggikan suara satu sama lain. "Lo gak bisa boong sama gue. Seharusnya lo tau itu,” ujar Kezie kini lebih terdengar lirih. "Lo bisa cerita apapun sama gue. Gue pinter jaga rahasia kok," lanjut Kezie dengan senyuman seolah menyakinkan Joshep yang kini menatapnya. Tangan itu terangkat dan mengacak-acak rambut Kezie, ia sempat bingung kenapa untuk sesaat ia terpaku dengan senyuman itu. "Haha... gue gak tau lo bisa ngomong kayak gitu," ujar Joshep tertawa kecil. Kezie cemberut mendengarnya. Gadis itu hanya khawatir pada Joshep. "Belakangan ini gue juga gak denger lo ketawa kayak gini," ujar Kezie lagi membuat Joshep menghentikan tawanya. "Lo ngomong apa sih, Zie." "Gue cuma mau lo bagi sedikit hal yang udah ganggu lo belakangan ini, cuma itu." Melihat tatapan serius Kezie, Joshep hanya menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Joshep tak lagi membalas ucapan Kezie. Kezie juga hanya diam menatap ke luar jendela yang terbuka. Dari sana ia dapat melihat beberapa letusan kembang api. ‘Acaranya udah mulai.’ "Gue suka dia." Kezie menoleh pada Joshep, melihat wajah serius itu dari samping. Pria itu menghela nafas berat. Kezie tersenyum mendengar Joshep akhirnya mengakui. Senyum yang menorehkan luka setiap ia semakin menarik sudut bibirnya ke atas. 'Gue tau.' "Suka? Suka beneran? Suka dalam artian apa?" “Idih mana ada suka boongan,” ujar Joshep lalu mendorong jidat Kezie dengan telunjuknya membuat gadis itu kembali merengut kesal. “Suka dia, suka banget. Udah sampai tahap cinta,” ujar Joshep dengan senyum kecilnya. Kezie hanya diam ingin mendengar apa yang akan diucapkan Joshep lagi. "Tapi dia malah suka orang lain. Kurang gue apa sih? Ganteng iya, kaya iya, keren iya," ujar Joshep dengan tawa kecil menghiasi kesedihan setiap katanya. “Kurang pinter kayaknya,” ujar Kezie agar suasana tidak terlalu tegang yang membuat Joshep lagi-lagi tertawa. Tawa yang sama sekali tidak terdengar kebahagiaan di dalamnya. “Lebih ke kurang beruntung kayaknya.” “Udah coba deketin? Dia tau lo suka dia?” Tanya Kezie membuat Joshep tersenyum kecil. "G-gue... gue gak tau. Rasanya gak mungkin. Gue takut dia malah pergi kalau gue mendekat. Tapi kalau gue diam, gue juga bakalan kehilangan dia. Menurut lo... gue harus apa?” “Kenapa lo gak coba aja? Bukannya semua punya harapan disetiap kesempatan.” Kezie benar-benar egois, egois kepada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia menyuruh pria yang ia suka untuk mengejar wanita lain? “Enggak. Lo salah. Gue enggak bisa berharap karena enggak ada kesempatan sama sekali. Bener kan?” Tanya Joshep. Kezie yang mendengar itu menatap sedih pria itu. Ia pun merasakan hal sama, ketika orang yang kita suka malah menyukai orang lain. Sulitnya menyembunyikan emosi yang rasanya akan meledak keluar. Tak ingin kehilangan namun terasa tak ada kesempatan untuk berjuang. "... G-gue gak tau." "Yee! Gimana sih lo, gak ada nyumbang saran. Percuma aja gue cerita panjang lebar sama lo," ujar Joshep menatap kesal Kezie yang tertawa melihatnya. Salah satu ekspresi yang sangat disukai Kezie karena Joshep terlihat menggemaskan dengan wajah kesalnya. "Haha seharusnya lo paham. Lo yang lebih tau apa yang harus lo lakuin. Lakuin apapun yang lo rasa benar. Pakai hati juga otak, jangan cuma ego lo aja." "Kalau gue tanya siapa orangnya, lo kasih tau gak?” Lagi-lagi Kezie membuat Joshep tersenyum menyebalkan ke arahnya. “Lo kasih tau dulu siapa orang yang lo suka, ntar gue juga kasih tau lo,” ujar Joshep dengan gaya tengilnya. “Gak, ah. Gue juga gak pengen tau tuh. Bhay!” Kezie dengan cepat beranjak dari duduknya. “Lo bener-bener ya!!” Belum sempat Joshep menangkapnya, Kezie sudah lebih dulu hilang di balik pintu kamarnya. Di balik pintu Kezie bersandar, memegang dadanya yang terasa perih. Ia tak siap mendengar nama itu keluar dari mulut Joshep. Mendengar nama orang yang di sukai Joshep, sahabat mereka… Aurora. *** Di lain tempat Aurora dan Billy sudah memainkan banyak permainan hingga lupa jika mereka pergi dengan pasangan alay, Jessica dan Azka. Keduanya juga sudah mencoba beberapa jajanan seperti membeli permen kapas, es lilin dan yang lainnya. “Aaa ciloknya panas. Padahal udah ngiler,” gerutu Aurora sambil meniup-niup kecil cilok yang ia tusuk dengan lidi. “Nih, udah dingin.” Billy menyodorkan satu tusuk cilok yang sudah ia tiup tadi. Aurora sempat terkejut dengan tindakan Billy, namun itu tidak berlangsung lama. Dengan senang hati Aurora menerima suapan dari Billy "Wah, enak!!" Aurora menjerit sambil menggoyangkan kedua tangannya mengekspresikan enaknya cilok yang kini tengah ia kunyah. Melihat keimutan Aurora yang overload membuat Billy loading, mengamati baik-baik, lalu menyimpan di memory otaknya. Billy seakan sadar dengan apa yang ia lakukan malah merutuki perbuatannya. Kenapa ia seberani itu pada Aurora? Kenapa ia bisa terasa biasa saja melakukannya pada Aurora? Menyuapi seorang gadis? Itu langkah besar yang pernah ia lakukan selama ini! Akhirnya tiba waktunya acara puncak. Semua pengunjung mulai mencari tempat duduk di kursi yang tersedia disana, ada juga yang duduk di rerumputan. Menatap lurus ke arah sungai yang gelap gulita itu. "Pasangan alay pada kemana sih?" Gumam Billy sambil melirik ke segala arah mencari keduanya. "Mungkin Kak Azka sama Kak Jessie di sekitar sini, Kak." Aurora yang masih mendengar Billy walaupun di sana mulai berisik karena memang disana sangar ramai. Banyak dari mereka yang mengambil tempat untuk melihat kembang api. Wussh Duaarr!! Wussh Duaarr!! "Aaa! cantik banget," ujar Aurora membuat Billy menatap ke arah Aurora yang tengah menatap kagum cahaya yang dihasilkan dari letusan-letusan kembang api itu. "Iya, cantik." Billy tersenyum lalu mengalihkan pandangannya kembali ke danau yang kini tampak terang tiap ada letusan kembang api. ‘Kedepannya semoga semua berjalan dengan baik-baik aja.’ *** Jalanan sepi. Billy dan Aurora memutuskan pulang walaupun mereka belum menemui keberadaaan pasangan, Jessica dan Azka. Padahal mereka sudah menunggu di gerbang masuk tadi, namun Azka dan Jessica masih saja tidak muncul. Billy melihat ke arah Aurora yang menggosok kedua tangannya. Sesekali meniupnya, agar dapat sedikit menghangatkan tubuhnya yang kini terasa dingin karena hari sudah semakin larut. "Seharusnya tadi kamu pakai baju yang tebel," ujar Billy sambil melepaskan jaket kulit miliknya. "E-eh nggak usah, Kak. Aku gapapa kok," ujar Aurora sambil menahan lengan Billy yang akan memakaikan jaket miliknya. "Udah, diem dulu." Billy lalu memakaikan itu pada Aurora. Menaruhnya di kedua bahu Aurora, memastikan gadis itu tidak kedinginan lagi. Aurora menatap Billy yang begitu serius merapikan jaket yang kini berada di pundaknya. "Makasih," ujar Aurora tersenyum. "Hm." Billy mengangguk dan membalas senyuman Aurora. Hari ini begitu menyenangkan. Hari terlama ia hanya bedua dengan Billy. Hari moment terindah yang ia punya bersama Billy. Hari dimana ia menyadari perasaannya itu benar dan nyata pada pria itu, Billy Wesphal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN