Suara helaan napas terdengar jelas di ruangan Marketing perusahaan Graha Food, sampai membuat beberapa karyawan saling menoleh untuk mencari sumber suara. Mereka tidak tahu di mana asalnya karena semua terlihat baik-baik saja. Flo sedang merenung di kubikel miliknya tanpa peduli seberapa banyak pekerjaan yang ada di hadapannya. Kepalanya masih sakit dan mood-nya masih sangat kacau akibat tragedi tadi pagi. Rasanya Flo ingin menghilang saat ingat bagaimana tatapan Bian saat keduanya sarapan. Canggung? Bukan tapi memalukan bagi Flo saat Bian kembali mengungkit bagaimana sikapnya saat tidak sadarkan diri. Belum lagi Bian juga bersikap santai, seolah apa yang terjadi bukan sesuatu yang serius. Dengan percaya diri pria itu siap bertanggung jawab jika adik dan ibunya tahu soal kejadian semalam.
“Argh!” lagi-lagi Flo menghela napas panjang sehingga perhatian karyawan lain kembali terusik.
Niar yang duduk di depan Flo mendongak pelan. “Oh jadi itu suara kamu, Flo?”
“Elo kenapa sih, Flo?” tanya Wahyu.
“Pantesan dari pagi mukanya kusut bin lecek kayak duit sisa selembar di dompet yang kesepian karna akhir bulan,” sindir Dante jenaka hingga membuat beberapa orang tertawa.
Flo mendelik ke arah Dante yang menurutnya bercandanya garing. “Berisik banget, sih,” protes Flo.
“Kerja kerja, inget deadline!” Suara Inka sontak membuat semua diam. Salah satu staf marketing yang terkenal galak dan jika sudah suara maka semua akan memilih diam. Bukan karena takut tapi karena malas berdebat dengan sesepuh marketing.
Di dalam divisi marketing Graha Food terdapat 10 karyawan termasuk Flo dan satu Marketing Director bernama Hanum. Meski di dalam divisi terdiri dari orang dengan berbagai karakter yang terkadang menimbulkan kegaduhan tapi pekerjaan mereka sangat bagus dan tim mereka juga sangat solid. Flo yang baru bergabung juga merasa tempat ini nyaman dan sambutannya sangat hangat.
Kembali pada suasana ruangan. Mirah yang sejak tadi memperhatikan keadaan Flo, akhirnya perlahan menggeser tempat duduknya, mendekati rekan kerja sekaligus sahabat baiknya. Ia ingin tahu apa yang terjadi semalam dan dengan siapa Flo pulang dari klub. Sejak ia datang, belum sempat bertanya karena pekerjaan yang menyerbu mereka. Apakah sikapnya ini karena masih ingat tentang Nino atau tentang yang lain.
“Flo,” bisik Mirah.
Flo menoleh dengan tatapan dingin tanpa memberi jawaban. Setelah itu kembali fokus pada layar laptop di depannya walaupun ia tidak mengerjakan apa.
“Flo,” panggil Mirah kembali.
“Apaan sih?” tanya Flo ketus.
“Elo baik-baik aja?” tanya Mirah hati-hati.
“Jangan nanya sekarang. Please, mood gue ancur banget.”
Jawaban sahabatnya membuat Mirah menghela napas, lalu memilih menarik diri kembali ke meja kerja miliknya. Sepertinya kondisi Flo saat ini benar-benar tidak bisa diganggu. Ia tahu betul bagaimana sifat Flo, jika wanita itu meminta diam maka memang harus diberikan waktu sendiri. Jika kondisinya membaik maka Flo akan bercerita dengan sendirinya, tanpa perlu dipaksa.
“Halo guys, kita ke ruang meeting sekarang ya. Saya ada pengumuman buat kalian.” suara semangat dan hangat dari Hanum sebagai Marketing Director, membuat suasana ruangan divisi marketing yang tenang mendadak riuh. Wanita yang umurnya sudah menyentuh angka kepala tiga selalu saja membawa semangat bagi tim marketingnya. “Tidak akan lama jadi waktu kerja kalian tidak akan tersita banyak.”
Semua sudah berada di ruangan yang selama ini menjadi tempat meeting dari divisi marketing. Ruangan dengan ukuran yang tidak terlalu luas tapi di sini lahir beberapa ide pemasaran yang mampu membuat penjualan produk melesat tinggi.
“Kaget ya? Kita ngobrol santai aja. Oke?” Hanum duduk di ujung meja panjang dan di sebelahnya duduk para anggota timnya.
Semua orang di ruang meeting mendadak tegang, padahal Hanum terkenal selalu membuat suasana kerja hangat dan menyenangkan. Flo yang baru gabung pun bisa merasakan vibe bersama Hanum memang sangat positif.
“Ada apa, Bu?” tanya Mirah. “Apa ini menyangkut masalah produk yang akan launching?”
Hanum menegakkan posisi duduknya, melipat kedua tangannya di atas meja. “Saya mau menyampaikan hal yang mungkin akan membuat kalian terkejut. Bulan depan saya akan resmi resign dari perusahaan ini.”
“Hah?” Flo mendadak bersuara dengan wajah kaget, sama seperti yang lain.
Hanum tersenyum, “Flo, muka kamu yang santai dong.”
“Maaf,” gumam Flo tidak enak.
“Kenapa mendadak, Bu?” tanya Inka.
“Bukan mendadak, saya sudah merencanakan sejak tiga bulan lalu. Tapi saya tidak mungkin mengatakan kepada kalian saat kita masih punya dua projek yang harus diselesaikan.”
“Ibu Hanum mau kemana?” tanya Flo.
“Saya pindah ke Singapore, Flo. Ada hal yang harus saya lakukan di sana. Daripada saya tidak fokus bekerja di sini karna harus mengurus sesuatu di sana, jadi saya putuskan untuk mengorbankan pekerjaan saya.”
“Lalu pengganti Ibu Hanum siapa?” tanya Dante.
“Belum tahu. Mungkin nanti akan ada kabar soal itu. Lagi pula, sebentar lagi akan ada pergantian pimpinan jadi kalian harus bersiap-siap soal perubahan regulasi yang mungkin akan dilakukan oleh pimpinan baru.”
“Yah, saya kan baru di sini. Belum banyak ilmu yang saya dapat dari Ibu Hanum, tapi malah ditinggal saat lagi sayang-sayangnya,” gumam Flo memancing tawa dari Hanum.
“Astaga, kok saya jadi merasa jahat gini, sih.”
Belum lama bekerja di sini, Flo harus menerima kabar dua pimpinannya harus berganti. Bagi Flo, Hanum adalah atasan yang baik dan mau membimbingnya dalam hal marketing. Sedangkan pergantian CEO tidak akan mempengaruhi hidupnya. Bagi Flo ia hanya bawahan, tidak akan berhadapan secara langsung dengan pemimpin utama jadi siapa pun penggantinya, Flo tidak akan masalah.
Suasana kantin perusahaan cukup ramai karena banyak karyawan yang sedang menikmati waktu makan siang. Kantin yang terletak di basement gedung, hampir penuh karena banyak yang makan di sana. Memang tidak semua memilih makan di kantin, beberapa ada yang makan di luar area gedung.
Di antara banyaknya karyawan, terdapat sosok Flo dan Mirah yang sedang menikmati makan siang dengan menu yang cukup enak. Flo memilih nasi goreng ayam dengan minum es teh, sedangkan Mirah nasi campur dengan minum yang sama. Bedanya adalah Mirah makan dengan lahap, sedangkan Flo hanya memandang nasi goreng dengan pandangan kosong sambil tangannya mengaduk tanpa tenaga. Mirah benar-benar tidak tahan melihat keadaan Flo yang tidak semangat dan tidak b*******h.
“Flo, sebenernya lo kenapa? Kalau ada masalah coba cerita, jangan bengong kayak mayat idup.” ucap Mirah setelah makanan dalam mulutnya berhasil ia telan.
“Apanya kenapa?” tanya Flo pelan tanpa membalas tatapan mata dari Mirah.
“Eh, sikap lo ini aneh banget, serius. Jangan bilang semalam Arga nyeret elo keluar dari klub? Dia bikin elo malu di tempat umum?”
Flo meletakkan sendok yang ia pegang untuk mengaduk nasi goreng, setelah itu memberi tatapan tajam ke arah Mirah. “Ini semua gara-gara elo, Mirah.”
“Kenapa jadi gara-gara gue?”
“Kalau aja lo nggak telpon Arga buat kasih tahu gue lagi di klub, kejadian semalam itu nggak akan terjadi.”
Mirah bingung dengan ucapan Flo. “Loh kenapa? Kalian bertengkar?”
“Mirah, bukan Arga yang jemput gue tapi BIAN!” jawabnya penuh penekanan.
Wajah Mirah mendadak tegang, mengingat siapa sosok Bian. “Bian Bian Bian? Eh ini Bian yang pernah lihat elo naked di apartemen Arga, kan?”
Flo mengangguk malas dengan pertanyaan Mirah. “Iya Mir, dan yang lebih parah tragedi dua tahun lalu keulang lagi dan lebih parah.”
“Keulang gimana? Lo cerita jangan setengah-setengah.”
“Jangan di sini deh, Mir. Gue takut elu histeris dan mengundang perhatian yang lain. Bisa bahaya.”
“Yah, kok gitu,” protes Mirah. “Oke, buruan abisin makanannya, setelah itu kita cari tempat yang sepi untuk cerita. Semakin elo cepat cerita, semakin cepat juga gue bisa kasih saran biar mood lo nggak berantakan lagi.” ujar Mirah semangat.
Begitu Flo menyelesaikan ceritanya, reaksi Mirah sesuai dengan apa yang wanita itu katakan di kantin. Untuk saja ia tidak menuruti keinginan Mirah untuk bercerita di sana.
“Ini serius, Flo?” tanya Mirah dengan raut wajah tidak percaya serta suara yang keras.
Secepat mungkin Flo menutup mulut sahabatnya agar tidak bereaksi berlebihan dan memancing perhatian orang yang lewat sekitar taman gedung perusahaan. “Kan apa gue bilang, elo lebih heboh daripada emak-emak yang lagi rebutan sembako.”
“Itu nggak penting. Jadi elo galau karna Bian, bukan karna Nino?”
“Ini semua gara-gara Nino. Kalau saja dia nggak kirim undangan nikah, gue nggak akan galau dan gegabah pergi ke klub. Kalau gue nggak ke klub, elo nggak akan ngikutin gue dan Arga nggak akan minta Bian untuk jemput gue di sana. Pokoknya ini semua bikin gue gila!” ucap Flo frustrasi.
Perlahan Mirah mengusap punggung Flo, merasa kasihan dan juga bersalah. “Maaf ya Flo, karna gue jadinya malah begini. Tapi gue khawatir sama elo makanya nelpon Arga.”
“Gue nggak serius nyalahin elo, Mir. Semua sudah terjadi tapi bodohnya gue nggak bisa melupakan apa yang terjadi tadi pagi. Tiap ingat tatapan Bian yang menggoda gue, rasanya gue pingin menghilang. Gue malu dan gue juga marah sama dia.”
“Gue nggak nyalahin elo seperti ini. Kalau dibalik posisinya, gue juga pasti akan galau. Tapi gue harap, elo galau hanya sebentar dan setelah itu coba lupain soal Bian dan apa yang terjadi dengan kalian,” ucap Mirah berusaha menenangkan Flo.
“Gue nggak mau ketemu dia lagi, gimana pun caranya. Kita emang nggak making love tapi dia udah nyentuh badan gue, Mir.”
“Tapi elo nggak bisa salahin Bian sepenuhnya, Flo. Apa yang elo lakuin sampai bikin badannya dia merah-merah karna ciuman ganas elo, dia juga korban, kan?”
“Korban? Korban keganasan gue?”
Mirah mengangguk ragu karena melihat kekesalan Flo. “Ya ini menurut gue, kalau apa yang Bian katakan benar. Orang mabuk bisa melakukan apa saja, di luar kendali seseorang. Banyak kasus kan tidur bareng sampai menghasilkan anak tanpa sadar apa yang sudah mereka lakukan. Setidaknya elo sama Bian nggak sampai melakukan itu, Flo.”
Meski merasa ucapan Mirah ada benarnya, tapi dalam hatinya tetap tidak terima dengan apa yang terjadi semalam. “Tau deh, pusing banget rasanya tiap inget kejadian ini. Gue harap elo jangan mancing gue buat inget soal Bian. Gue nggak mau ingat dia dan menganggap dia nggak ada di muka bumi ini.”
***
Suasana makan malam hari ini masih sepi tanpa kehadiran Dayu, ibu dari Flo dan Arga. Wanita berusia 50 tahun itu masih di luar kota untuk berkunjung ke rumah saudaranya dan akan kembali beberapa hari lagi. Makan malam buatan Flo sudah tersaji di atas meja makan, dan Arga terlihat lahap menyantap masakan kakaknya. Berbeda dengan Arga, Flo terlihat tidak selera padahal yang ia masak makanan kesukaannya.
“Flo, jangan sampai Mama tahu soal kejadian kamu pergi ke klub. Apalagi sampai tahu kamu mabuk. Mama pasti kepikiran dan berpengaruh sama kesehatannya,” ucap Arga disela-sela menikmati makan malam.
Flo menghela napas tanpa menatap wajah adiknya. “Iya, bawel. Lagian kenapa bukan kamu sih yang jemput. Ini malah nyuruh Bian,” ucapnya ketus.
“Kamu lupa kalau aku ke luar kota? Lagian, aku malah lebih tenang kalau yang jemput kamu adalah Mas Bian.”
“Tapi aku nggak suka Arga, aku nggak nyaman sama teman kamu itu,” sahut Flo kesal.
Kening Arga mengkerut, kedua alisnya tertaut, menampakkan ekspresi bingung. “Kenapa sih Flo, kayaknya kamu benci sama Mas Bian? Dia pernah ada salah sama kamu?” tanya Arga penasaran. “Tapi gimana mau punya salah kalau ketemu aja Cuma beberapa kali, kecuali kalian berhubungan di belakangku,” sambungnya.
Flo memasukkan nasi bersama udang saus asam manis ke dalam mulutnya dengan kasar. “Ya pokoknya aku nggak suka. Lain kali kalau menyangkut aku jangan libatkan Bian, begitu juga sebaliknya.”
Ucapan ketus penuh emosi Flo membuat Arga menggeleng pelan. “Kamu aneh, Flo. Orang baik kayak Mas Bian nggak suka, kenapa si b******k Nino bisa kamu pertahankan selama bertahun-tahun?” tanya Arga kejam tanpa ia sadar.
Tangan Flo yang awalnya bergerak untuk menyendok nasi, tiba-tiba terdiam dengan suasana mendadak sunyi.
Melihat kakaknya terdiam membuat Arga sadar dengan apa yang sudah ia ucapkan. “Flo, marah ya? Maaf deh, aku nggak maksud bikin kamu ingat sama cowok kurang ajar itu.”
“Bisa kan jangan bawa-bawa dia lagi. Aku lagi berusaha nyembuhin luka, kamu malah ngungkit lagi,” ucap Flo dingin, ia selalu kesal setiap ingat Nino dan Bian.
“Iya maaf, tapi setidaknya Bian jauh lebih baik daripada mantan kamu itu.”
Flo meletakkan sendok dan garpu, kemudian memberikan tatapan sengit pada adiknya. “Arga, bisa stop nggak sih kamu muji Bian? Kamu udah kayak seles nawarin produk tahu nggak. Kalau kamu suka, kamu aja pacaran sama Bian.”
“Ih kok sewot?” tanya Arga tanpa rasa takut.
“Emang kamu tahu luar dalam, baik buruknya Bian?”
Pria itu mengangguk semangat. “Baiknya aku tahu, buruknya sih hampir nggak ada. Kecuali waktu di Melbourne, dia tinggal sama pacarnya jadi mungkin aja dia udah nggak perjaka lagi.”
“Nah kamu tahu itu, terus kenapa masih muji-muji dia?”
“Tapi nggak ada salahnya sih kamu dekat Mas Bian. Dia dewasa dan bertanggung jawab, keluarganya juga dari kalangan terpandang. Dia juga tipe setia.”
“Idih! Cowok udah punya pacar malah masih nyodorin ke aku.”
“Udah putus.”
“Putus kenapa?” tanya Flo penasaran.
“Jadi pacarnya model dan diajak balik ke Indo nggak mau. Orang tuanya Mas Bian juga nggak setuju kalau dia punya pacar model. Apalagi Citra sering foto pakai bikini, ngamuklah ibunya Mas Bian,” jelas Arga sambil melanjutkan makannya.
“Oh begitu.” gumam Flo. “Pacar seorang model saja ditolak apalagi kalau cewek dengan pekerjaan biasa, pasti langsung di-blacklist.”
“Maksudnya kamu?”
Flo menghela napas panjang. “Iya tapi syukurnya aku nggak minat tuh jadi pacarnya Bian. Dia bukan tipeku, walaupun kamu terus muji soal dia.”
“Iya kamu dikasih yang baik dan kalem, sukanya yang b******k kayak Nino.”
“ARGA!” teriak Flo kesal.
Arga meneguk air minum di dalam gelas. Setelah selesai, ia beranjak dari duduknya. “Udah ah, aku duluan. Masih banyak kerjaan belum selesai jadi terpaksa aku lembur.”
“Jangan begadang nanti kamu sakit, Ar.”
“Iya bos, santai aja.”
“Ish, dibilangin jawabannya begitu,” gerutu Flo sebal.
Begitu pekerjaan rumah selesai, Flo kembali ke kamarnya untuk istirahat. Hari ini ia benar-benar lelah. Bukan hanya tubuhnya tapi juga pikirannya. Ia berusaha santai tapi tetap saja tidak bisa. Bahkan setelah selesai menggunakan skin care dan hendak tidur, matanya sulit untuk dipejamkan.
“Argh! Aku mau tidur bukan mau mikirin dua orang menyebalkan itu.” gerutu Flo sambil berguling di atas tempat tidur.
Saat sibuk meruntuki dirinya sendiri, suara dari ponsel miliknya membuat Flo terkesiap. Ia terdiam, lalu perlahan bangun dari posisi tidurnya. Ponsel di atas meja rias terus berdering dan itu artinya sebuah panggilan sedang masuk. Dengan malas, wanita itu pergi dari tempat tidur untuk mengambil ponselnya. Begitu benda itu ada di tangannya, kening Flo langsung mengkerut karena penasaran.
“Ini nomor siapa, ya? Nomor dari klien, kah? Tapi masa telpon malam-malam?” gumamnya. Tanpa menunggu lama, Flo langsung menjawab panggilan telepon dari nomor yang tidak tersimpan di daftar kontaknya. “Halo, selamat malam.”
“Malam Flo.”
Flo menjauhkan ponsel dari kupingnya, lalu menatapnya bingung. Setelah itu ia kembali menempelkan pada telinganya. “Maaf ini dengan siapa?”
“Ini Bian, Flo,”
Kedua mata wanita itu membola karena tidak sadar dengan suara Bian. “Kamu? Tahu nomor saya dari mana?”
“Cari tau nomor kamu nggak sesusah cari nomor telpon artis jadi jangan heran begitu.”
“Dasar Arga, kampret!” Flo mengumpat karena jelas adiknya yang memberitahu Bian. “Ada perlu apa telpon saya malam-malam?”
“Saya hanya khawatir sama kamu. Kamu baik-baik aja, kan?”
“Saya baik-baik aja. Memangnya ada hal yang bikin saya nggak baik-baik aja?” tanya Flo dengan suara ketus.
“Saya takut kamu masih kepikiran soal kejadian semalam.”
“Saya sudah lupa tapi sekarang kamu ingetin lagi. Kalau nggak ada yang penting, saya tutup telponnya.”
“Galak sekali sih, Flo. Padahal Arga bilang sikap kamu manis dan lucu. Tapi syukurlah kamu baik-baik saja”
“Arga benar tapi kalau sama kamu, saya nggak bisa bersikap manis apalagi lucu.”
“Enggak apa-apa, justru saya suka.”
Flo tidak percaya dengan apa yang Bian lontarkan lewat sambungan telepon. “Jangan ganggu saya dan jangan muncul di hadapan saya lagi!” Tanpa menunggu tanggapan dari Bian, Flo langsung menutup sambungan telepon dari Bian.
“Kenapa sih orang menyebalkan ini harus ngomong kayak gitu?” Telepon dari Bian berhasil membuat Flo kesal malam ini. Ia langsung menonaktifkan ponselnya lalu menyimpannya di dalam laci. Tidak ingin diganggu oleh Bian, itulah tujuan Flo. “Tidur Flo, lupakan apa yang terjadi hari ini.”
Sementara itu, di dalam kamar besar miliknya yang ada di kediaman keluarga Nugraha, sosok Bian tersenyum setelah berhasil menggoda Flo. Seperti biasa, sikap ketus Flo sama sekali tidak membuatnya sakit hati. Ia sangat paham dengan reaksi kesal kakak dari teman baiknya itu.
“Florensia Alinka, nama yang cantik, seperti orangnya. Benar-benar membuatku semakin penasaran,” gumamnya sambil menatap sesuatu yang ada dalam genggaman tangannya. Bayangan malam itu kembali muncul di ingatan Bian.
Bian dan Flo sedang b******u di atas tempat tidur. Baju pria itu sudah terbuka karena ulah Flo. Bahkan saat ini wanita itu sedang berada di atasnya, mengecup seluruh tubuhnya tanpa bisa Bian hentikan. Suara erangan memenuhi kamar tersebut karena Bian tidak menyangka sapuan lidah Flo begitu memabukkan.
“Flo,” gumam Bian sambil menatap wanita yang ada di atas tubuhnya.
Tangan Bian dengan leluasa mengusap punggung mulus Flo. Ia sudah tidak tahan lagi, dan akhirnya membuat posisi berubah, Flo berada di bawahnya. Bian menatap wajah Flo yang sayu dengan kabut gairah yang memuncak. Bagaimana bisa wanita yang sikapnya dingin bisa membuatnya sangat panas karena pesonanya. Bahkan Bian takjub dengan lekuk tubuh Flo yang sempurna. Meski masih dibalut oleh pakaian dalam.
Flo menatap Bian, terbuai dengan pandangan mata pria di atasnya. “Ayo lakukan,” gumamnya dengan suara bergetar.
Mendapatkan lampu hijau dari Flo, membuat Bian tidak ingin menundanya lagi. Bian kembali mencium dan melumat bibir wanita itu dengan penuh gairah. Saat tangannya menyusup ke belakang untuk membuka kait bra, tiba-tiba Bian mengingat sesuatu.
“Mas, tolong jaga Flo.”
Bian menghentikan aktivitasnya, lalu perlahan melepaskan tubuh Flo. Apa yang Arga ucapkan kepadanya, kini berhasil membuatnya tersadar. Pria itu menatap Flo yang terlihat gusar dan gelisah. Dengan sekuat tenaga, Bian mencoba mengendalikan diri, lalu menarik selimut untuk menutup tubuh kakak dari Arga.
“Maaf Flo, saya benar-benar minta maaf,” ucap Bian merasa bersalah. Ia beranjak pergi dari kamar tersebut namun suara Flo kembali mencegahnya.
“Jangan pergi, aku mohon.”
Bian melihat Flo yang tiba-tiba menangis, entah karena apa. Hal ini membuat Bian tidak tega dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat tidur namun membiarkan selimut tetap menutupi tubuh wanita itu. Ia mencoba menenangkan Flo agar tidak menangis lagi.
Bian menggelengkan kepala sambil tersenyum. Malam b*******h itu membuat tubuhnya kembali terasa panas. Ia lantas berjalan ke balkon dan menyesap wine yang ada di dalam gelas sambil menatap keluar. Dari atas balkon kamarnya, ia bisa merasakan udara malam yang dingin. Setelah kejadian bersama Flo mengusik pikirannya, kini bayangan mengenai tempat tinggalnya dulu tiba-tiba muncul dan sosok yang bertahun-tahun bersamanya juga ikut hadir.
“Bagaimana keadaan dia sekarang? Benar-benar menghilang tanpa kabar.” gumam Bian. “Tapi itu sudah biasa mengingat bagaimana pekerjaannya,” sambungnya sambil kembali menyesap wine.