Flo memandang tubuhnya yang polos di pantulan cermin besar. Ia memperhatikan beberapa tanda merah yang sudah mulai memudar. Tiga hari berlalu tapi hasil perbuatan Bian begitu sulit untuk hilang. Setiap ia melihat tanda itu, ingatannya kembali pada kejadian itu.
“Mirah bilang pakai bawang putih, tapi tetap saja susah hilangnya,” gumam Flo.
Saat tangannya meraba area leher, tiba-tiba Flo ingat akan sesuatu. Benda yang harusnya melingkar di tangan kirinya, ternyata tidak ada. Ia panik dan terkejut.
“Loh kok nggak ada? Sejak kapan gelangku nggak ada?” Hadian ulang tahun dari sang ibu, tidak Flo sadari kapan hilangnya. Ia berusaha mengingat tapi tetap saja sulit. “Kenapa aku bisa nggak sadar begini, sih? Kira-kira ilangnya di mana ya?”
Arga melihat kedatangan Flo dari arah tangga. Kakaknya terlihat tidak bersemangat seperti tanpa tenaga. Padahal pagi ini Flo tidak menyiapkan sarapan karena ia yang sudah bangun lebih pagi dan menyiapkan semuanya, tapi kenapa kakaknya terlihat kelelahan.
“Kamu sakit, Flo?”
Flo menggeleng, sambil meletakkan tas kerja di atas meja, kemudian duduk di seberang Arga. “Memang kenapa?”
“Kamu keliatan capek.”
“Enggak apa-apa kok, aku oke-oke aja,” sahut Flo. “Makasih udah siapin sarapan. Semalam pasti mimpi indah ya makanya kamu masak omelet?”
“Iya, mimpi dapat undian mobil,” sahut Arga santai. “Makan biar ada tenaga.
“Iya bawel!” sambar Flo sebal. “Jadi nggak kamu jemput Mama di bandara?”
Arga mengangguk pelan. “Jadi kok, kebetulan kerjaanku lagi agak slow.”
“Ya sudah, jangan sampai telat. Kasian nanti Mama nunggu lama.”
“Iya, tenang saja,” jawabnya. “Kamu mau ikut aku nggak?”
“Kamu nggak lagi buru-buru?”
“Nggak kok, aku bisa drop kamu dulu baru ke kantor.”
Flo mengangguk, menerima tawaran berangkat bersama-sama dari Arga. “Oh, iya sudah aku ikut. Lumayan hemat uang transport.”
“Flo, kalau mau beli mobil, beli aja kali. Aku bisa bantu nambahin kurangnya.” Arga kasihan karena selama ini Flo selalu naik kendaraan umum baik saat berangkat kerja atau pun saat pulang. “Aku juga jadi tenang kalau kamu ada kendaraan.”
“Nggak perlu Ar, aku belum butuh-butuh banget. Lagi pula, uang dari penjualan rumah di Bali sudah di transfer sama Nino jauh-jauh hari jadi sebenarnya aku bisa saja beli mobil sekarang tapi merasa belum terlalu perlu,” jelas Flo.
“Ya sudah terserah kamu. yang penting hati-hati di jalan apalagi kalau pulang malam.”
“Iya, aku paham soal itu.”
Suasana kembali hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang menyentuh piring. Namun, hal ini tidak bertahan lama karena tiba-tiba Arga ingat akan sesuatu yang harus disampaikan kepada saudaranya.
“Flo, dua hari yang lalu Mas Bian minta nomor kamu. Katanya ada barang yang ketinggalan di apartemen dia ya?”
“Hah?”
“Apaan sih gitu aja kaget. Jadi beneran?”
“A-aa, iya bener. Mungkin itu gelang yang kemarin ketinggalan.”
“Aku kira Mas Bian mau pendekatan sama kamu.”
“Enak aja, pikiran kamu kejauhan. Mending kamu yang cari pacar deh Ar, aku ikhlas kok dilangkahin sama kamu.”
“Belum nemu yang cocok, lagian aku sibuk kerja jadi nggak sempat urus yang begituan.”
Flo memutar bola matanya. Bisa-bisanya Arga memaksa untuk dekat dengan Bian, sedangkan ia sendiri tidak mau cari pacar. “Makanya jangan suka maksa aku dekat sama Bian. Kamu lupa aku baru aja gagal dalam hubungan.”
“Iya-iya, maaf.”
Dalam hatinya Flo bertanya-tanya, kenapa Bian tidak membahas soal gelangnya pada saat menghubungi di malam itu. justru pria itu malah menanyakan hal yang tidak penting. “Kenapa sih gelangnya harus ketinggalan di sana. Kan berurusan lagi sama dia.”
“Udah janjian mau ambil gelangnya?”
Flo menggeleng pelan. “Tolong dong kamu ambilin gelangnya ke Bian. Soalnya aku sibuk banget di kantor.”
“Iya kalau sempat,” jawab Arga.
“Harus sempat,” sabar Flo.
Sementara itu, suasana ruang makan di kediaman keluarga Nugraha, nampak hangat dengan keberadaan Bian. Bersama dengan ayah dan ibunya, Bian menikmati sarapan dengan lahap. Ia senang bisa melakukan ini karena selama ini selalu jauh dari kedua orang tuanya.
“Semalam tidur di mana, Bian? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina, ibu dari Bian.
“Aku tidur di apartemen, Ma. Kasian tempat tidurku jamuran karna jarang ditempati,” jawabnya.
“Lain kamu berkabar dong, jangan bikin Mama khawatir. Kamu kan tinggal di Indo bukan di Melbourne lagi. Jadi kamu nggak sebebas dulu kalau nggak pulang ke rumah.”
Bian mengangguk karena tahu dirinya salah. “Iya Ma, maaf kalau aku salah.”
“Bian, sebentar lagi kamu akan mengemban tugas baru, jadi tolong jangan kecewakan Papa.” ucap Wisnu kepada putranya.
Bian mengangguk pelan. “Iya Pa, tenang saja.”
“Bian, selain urusan pekerjaan, jangan lupa sama urusan pasangan. Harus seimbang karir dan urusan pasangan hidup,” sambung Gina.
“Kenapa? Mama mau ngenalin aku sama siapa lagi?”
“Kamu kok bisa baca pikiran Mama, sih?” tanya Gina dengan senyum malu terlihat di wajahnya.
“Iya apa lagi yang Mama lakukan kalau bukan soal menjodohkan aku.”
“Mama ada benar juga, Bian. Papa menuntut kamu bekerja, tapi juga tidak mau kamu lupa dengan masa depan. Jangan salah pilih seperti kemarin, kasian Mama kamu setiap malam sedih mikirin anaknya.”
Bian menghela napas pelan saat ayahnya mengungkit soal Citra. “Jangan terlalu menyudutkan Citra karna itu adalah pilihan hidupnya. Pekerjaan dia sebagai model yang kadang dipandang negatif belum tentu mencerminkan kehidupannya juga. Dia baik Pa, Ma, jadi jangan terlalu memandang jelak terhadap dia.”
“Mama enggak mau dengar lagi kamu membahas soal dia apalagi membela dia di hadapan Mama dan Papa. Sekali tidak suka, maka selamanya begitu. Mama sudah pernah kasih dia kesempatan tapi dia sendiri yang menyia-nyiakan.”
“Bukan aku yang mulai duluan membahas Citra jadi jangan salahkan aku, Ma.” ujar Bian dingin.
***
Di ruangan divisi marketing, terlihat orang-orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Flo bersama Mirah sedang membaca ulang laporan mengenai produk terbaru yang akan diluncurkan. Flo bersama Mirah dan dua rekannya yang lain tergabung dalam marketing promosi. Belum lagi mereka akan ikut dalam pameran besar yang akan diadakan di Jakarta. Tim mereka harus membagi tugas dengan baik agar semua pekerjaan berjalan lancar dan divisi marketing bisa membawa kemajuan pada perusahaan. Flo sangat bersemangat dalam tugasnya karena ini adalah pekerjaan yang ia suka, di tempat yang ia anggap nyaman juga.
“Kira-kira siapa ya yang ganti Ibu Hanum?” tanya Flo.
Mirah mengangkat bahunya ringan karena ia juga tidak tahu. “Siapa pun dia, semoga bisa membawa divisi marketing lebih baik lagi. Selama ini Ibu Hanum atasan yang luar biasa keren, semoga kita bisa cepat menyesuaikan diri dengan penggantinya.”
Flo mengangguk setuju, ia sangat berharap bisa cocok dengan atasannya yang baru. “Udah yuk, kita beresin dulu yang bisa-bisa, biar besok bisa libur dengan tenang.”
Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan penting, kini waktunya mereka istirahat. Flo diajak oleh Mirah makan bakso yang ada di dekat tempat mereka kerja. Mengingat hari ini adalah hari jumat, waktu istirahat yang didapat cukup banyak.
“Flo, soal Bian, gimana?” tanya Mirah.
Flo memasukkan bakso goreng ke dalam mulutnya dengan raut wajah yang terlihat lebih santai. “Ya nggak gimana-gimana. Memang kenapa?”
“Syukurlah, setidaknya mood kamu udah membaik. Serem banget liat kamu kesel kayak kemarin-kemarin.”
“Sori Mir, lo tau kan kondisi gue akhir-akhir ini, berat banget.”
Mirah mengangguk sembari menyentuh singkat tangan Flo. “Gue paham banget walaupun enggak mengalami. Nino terlalu dalam nyakitin elo, jadi semua hal terasa sensitif bagi lo.”
“Iya Mir dan semoga aja ini adalah kejadian buruk terakhir yang menimpa gue. Udah kangen hidup dengan tenang.”
“Semangat Flo,” ucap Mirah. “Eh, tumbenan gelang lo nggak dipakai. Biasanya nggak pernah dilepas hadiah dari Tante Dayu.”
Flo melirik pergelangan tangannya, Mirah mengingatkan dirinya dengan benda kesayangannya. “Kamu harus tau Mir, gelang gue ketinggalan di apartemen Bian. Gimana mau berenti berurusan sama dia kalau gelang kesayangan gue masih sama dia.”
“Eh? Serius?”
“Iya dan sialnya, gue baru inget tadi pagi. Arga yang bilang kalau gelang gue ketinggalan di apartemen Bian tapi waktu Bian nelpon gue beberapa hari yang lalu, malah nggak bahas apa-apa. Nyebelin, kan?”
“Mungkin nggak sih kalau ternyata kalian memang ditakdirkan Tuhan untuk berjodoh?”
Uhuk!
Ucapan polos Mirah langsung mengundang batuk bagi Flo. Wajahnya merah padam dan ia segera meneguk air putih miliknya. “Jangan sembarangan ngomong Mir, elo udah gila ngebayangin hal begituan.”
“Iya siapa tau, soalnya mau menghindar, malah harus berurusan lagi.”
“Gue nggak akan berurusan sama Bian karna Arga yang bakalan ngambil gelangnya.”
“Ya semoga aja Tuhan mengabulkan keinginan lo untuk dijauhkan sama Bian. Tapi kalau sampai kalian bertemu lagi, fix kalian jodoh.”
“Idih! Jangan bahas Bian lagi, buruan makan,” ucap Flo sebal.
Pulang dari bekerja, Flo memutuskan untuk pergi ke salah satu mall untuk membeli baju kemeja yang digunakan untuk bekerja. Ia tidak memiliki pakaian kerja yang banyak karena pakaian waktu di Bali sengaja ia sumbangkan di sana agar tidak membawa terlalu banyak barang ke Jakarta. Jadilah ia harus mencicil membeli pakaian karena tidak mau terlalu boros. Flo pergi sendiri karena Mirah sedang menemani keluarganya. Hal ini bukan masalah besar karena Flo senang menikmati waktu sendiri.
Flo memasuki sebuah toko pakaian yang cukup terkenal. Di sana tersedia berbagai model atasan dan bawahan, baik kasual maupun yang formal. Dari harga yang terjangkau sampai yang cukup menguras kantong. Ia sibuk memilih mana yang akan ia coba di ruang ganti.
“Florensia Alinka? Flo?”
Mendengar namanya dipanggil membuat Flo mengalihkan pandangan ke sekitar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang wanita yang cukup ia kenal. Flo terkejut karena ia tidak menyangka akan bertemu teman lamanya.
“Puput?”
Wanita itu mendekati Flo dengan wajah yang terlihat senang. “Ya ampun, ternyata ini beneran kamu, Flo.”
“Put, gimana kabarnya?” Flo menyambar Puput, memeluknya singkat karena rindu. “Kok kamu di Jakarta?”
“Kabarku baik, Flo. Aku ke Jakarta karna nengok keluarga. Kamu gimana kabar? Sepertinya baik-baik saja.”
Flo mengangguk pelan. Jelas ia tahu maksud dari pertanyaan Puput. “Aku baik. kamu buru-buru, nggak? Kalau santai, kita ngopi yuk.”
“Boleh, aku juga kangen ngobrol sama kamu.”
Begitu Flo dan Puput selesai membeli pakaian yang diinginkan, kini keduanya berakhir di salah satu tempat ngopi yang sudah terkenal keberadaannya. Pesanan mereka juga sudah selesai dan kini sedang dinikmati sambil bercerita.
“Gimana kabar temen-temen di Bali, Put?”
Puput mengangguk sembari meneguk minuman miliknya. “Semua baik, ada yang pergi ada juga yang datang. Tapi yang jelas kami kesepian setelah kepergian kamu.”
Flo tersenyum dengan ucapan Puput. Ia diingatkan kembali bagaimana menyenangkannya tinggal dan bekerja di Bali. Saat pusing karena pekerjaan, tempat untuk menenangkan pikiran sangat banyak sehingga selalu punya cara menyenangkan diri. Namun, ketika kenangan pahit ikut muncul ke permukaan, maka sakit hatinya juga kembali terasa.
“Aku juga kangen sama kalian. Keputusan yang berat untuk kembali ke Jakarta,” ucap Flo pelan, mencoba membesarkan hatinya.
“Maaf Flo kalau ucapanku bikin kamu sedih. Kata temen-temen, Nino udah nikah, ya? Dengan selingkuhannya?” tanya Puput hati-hati.
“Iya Put, cowok pengkhianat memang cocok dengan w************n, iya akan? Keduanya sama-sama pecundang,” ucap Flo kejam.
“Sabar ya Flo karna apa yang terjadi sama kamu, semua adalah cara Tuhan menyelamatkan kamu dari orang yang tidak baik.”
“Aku baik-baik aja, Put. Semua proses penyembuhannya aku nikmati meski nggak bisa dipungkiri rasanya cukup sulit.”
“Pelan-pelan, jangan terlalu menuntut diri untuk cepat bangkit. Kamu pasti bisa melewatinya dan semua akan kembali baik seperti semula.”
Pertemuan dengan Puput kembali seperti membuka luka lama Flo. Bukan karena Puput mengungkitnya, tapi saat mereka mengenang apa yang dilalui di Bali, otomatis pikiran Flo tertuju pada kenangannya bersama Nino. Pria itu terlalu banyak memberi kenangan indah begitu juga luka. Hal manis yang mereka lalui, seakan tidak ada artinya ketika orang ketiga hadir dalam hubungan mereka dan menghancurkan rencana pernikahan yang sudah tersusun rapi.
Tanpa sadar saat kakinya melangkah keluar dari mall, air matanya menetes. Flo tidak tahan, dadanya teras berat dan ia ingin menangis dengan kencang. Biar saja ia dianggap bodoh karena masih saja belum bangkit sepenuhnya dari kenangan buruk. Ia hanya manusia biasa, wanita dengan perasaan yang tidak sepenuhnya kuat.
“Tahan Flo, jangan meledak di sini,” gumam Flo mengingatkan dirinya agar tidak menangis kencang.
Sebuah taksi berhenti di depan Flo dan siap membawa Flo pergi dari tempat ramai itu. Namun, bukan rumah yang Flo tuju, tapi tempat yang sekiranya bisa membuatnya bisa lepas dari rasa sakit dan sesak pada dadanya. Tempat yang seharusnya tidak ia datangi setelah apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Sambil mengusap air matanya, Flo menatap ke arah luar, melihat bagaimana ramainya jalanan namun perasaannya terasa sangat sepi.
Begitu sampai di tempat tujuan, kaki Flo melangkah dengan ragu. Ia menatap bangunan yang ada di hadapannya, meyakinkan diri apakah pilihannya tepat. Jika ia kembali mabuk, maka siapa yang akan melindunginya dari niat orang asing yang jahat.
Flo menghela napas, lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke tempat tersebut. Namun, langkahnya terhenti ketika tangannya ada yang menarik. Flo menoleh, terkejut sosok yang berdiri di hadapannya.
“Kamu?”
“Kenapa ke tempat ini lagi? Apa kamu mau mengulang kejadian sebelumnya?”
Flo berusaha menepis tangan Bian yang mencekal pergelangan tangannya. “Kamu ngikutin saya? Kenapa kamu bisa ada di sini? Saya yakin ini bukan sebuah kebetulan.”
Bian menghela napas karena kembali mendapati sikap Flo yang tidak bersahabat. “Ya saya memang ngikutin kamu ke sini.”
Wanita itu langsung tertawa sumbang mendengar jawaban Bian. “Oh begitu. Kamu tau tindakan kamu melanggar privasi saya? Kamu nggak punya kerjaan selain kepo sama urusan orang?” tanya Flo kejam. “Oh iya, saya lupa. Kamu kan baru balik dari luar negeri, jadi kamu masih pengangguran makanya melakukan hal konyol seperti ini?”
“Ya saya memang pengangguran Flo, dan saya belum bekerja. Tapi untuk saat ini, itu tidak penting karna keberadaan kamu di sini jadi masalah utamanya.”
“Masalah utama? Kenapa kalau saya di sini? Kamu tidak punya hak atas apa yang ingin saya lakukan.” Ujar Flo. “Sekarang saya tanya, apa keuntungan kamu ngikutin saya ke sini?”
“Oke, saya jelaskan. Saya melihat kamu lagi lagi di coffee shop sama seorang wanita. Jangan pikir saya sengaja ada di sana karna saya lebih dulu datang ke tempat itu dengan teman saya. Setelah kamu pergi, saya mengikuti kamu karna saya lihat kamu murung bahkan saat keluar dari mall, kamu mengusap air mata. Kalau sudah begitu, apa saya harus diam saja?” tanya Bian tapi tidak memberi kesempatan bagi Flo untuk menjawab. “Saya memutuskan untuk mengikuti kamu dan memastikan kamu pulang dengan selamat. Tapi nyatanya kamu ke tempat ini lagi. Tempat yang membuat kamu melakukan hal yang tidak kamu inginkan bersama saya. Kenapa kamu melakukan hal bodoh lagi, Flo? Apa sakit hati kamu belum sembuh sampai membuat kamu kembali ke tempat ini?”
Ucapan panjang lebar dari Bian membuat hati Flo memanas. Ia tidak suka dan emosinya sudah terpancing dengan mudah karena Bian. “Kamu enggak perlu tau apa yang saya rasakan. Ini hidup saya dan kamu jangan ikut campur.”
“Ya ini memang hidup kamu tapi kalau saya melihat langsung kamu ingin melakukan kesalahan, apa saya harus diam?”
“Saya tidak butuh rasa peduli kamu,” ucap Flo ketus. “Sebaiknya kamu pulang dan jangan pernah lagi ikutin saya.” saat Flo siap berbalik meninggalkan Bian, pria itu segera mencegahnya.
“Ayo pulang, Flo!”
“Jangan ikut campur!” Flo mengelak, kembali melangkah tanpa peduli dengan Bian.
Bian kembali menarik Flo dengan sedikit kasar karena sudah gemas dengan sikap wanita itu. “Ayo pulang dengan saya atau semua kejadian di apartemen saya ceritakan kepada Arga dan Tante Dayu?”
Ancaman Bian berhasil membuat Flo diam. Wanita itu menatap tajam ke arah pria itu, benar-benar habis kesabaran karena ucapan Bian. “Kenapa kamu jadi ngancem saya?”
“Saya tidak mengancam kamu tapi memberi pilihan. Ikut saya pulang atau mereka tau apa yang kita lakukan.”
“Bian!” protes Flo.
Pria itu menarik tangan Flo pelan, menuntunnya ke tempat di mana mobilnya parkir. “Kita pulang Flo dan saya akan antar kamu.”
Seakan lelah hatinya berdebat dengan Bian, tidak ada yang bisa Flo lakukan kecuali mengikuti perintah pria itu. Meski kesal, ia tidak bisa bohong kalau sebenarnya ia takut jika adik dan ibunya sampai tahu apa yang ia lakukan dengan Bian.
Sepanjang perjalanan, suasana di mobil hening tanpa suara. Flo memilih diam sambil menatap ke luar jendela, sedangkan Bian fokus mengemudi dan sesekali menoleh ke samping, memastikan Flo baik-baik saja. Suasana hening dan canggung bertahan sampai mobil Bian berhenti tepat di depan rumah Flo. Begitu mobil berhenti, tangan Flo dengan cepat bergerak, melepas sabung pengamat yang ia kenakan.
“Saya harap ini terakhir kali kamu ikut campur urusan saya dan mengancam saya dengan kejadian malam itu. Sikap kamu enggak gentle, dan membuat saya kesal.” ucap Flo sembari membuka pintu mobil.
Bian tersenyum, tidak marah dengan ucapan kasar wanita di sebelahnya. “Terserah kamu menganggap saya seperti apa. Yang penting kamu pergi dari tempat itu dan sudah ada di rumah dengan keadaan selamat.”
Flo memberi tatapan tajam kepada Bian sebelum turun dari mobil. “Kamu enggak ada kewajiban khawatir dengan keadaan saya.”
Pria itu segera menyusul Flo turun dari mobil. “Flo, tunggu!”
“Ada apa ? Kamu mau ceramah lagi?” tanya Flo kejam.
Bian menyentuh tangan Flo, kemudian meletakkan sesuatu di telapak tangan Flo. “Gelang milik kamu. Maaf saya baru sempat memberikan ini kepada kamu,” ucap Bian tenang. “Selamat malam dan sampai jumpa lagi.”
Lagi-lagi Flo menghela napas pelan, menahan rasa kesal dan marahnya terhadap Bian. Ia melanjutkan langkahnya tanpa menunggu mobil Bian pergi atau sekadar mengucapkan terima kasih kepada pria itu karena sudah mengantarnya pulang dan mengembalikan gelang miliknya. Baginya ia tidak meminta bantuan jadi tidak perlu mengucapkan kalimat itu.
“Sok peduli. Tau apa dia tentang masa lalu yang sangat menyakitkan yang aku rasakan. Udah kayak peramal aja bisa baca pikiran orang, sadar sok tau,” gerutu Flo.
Melihat Flo hilang di balik pintu pagar, membuat Bian menggeleng sambil mengulas senyum. “Bagaimana kalau saya saja yang menyembuhkan luka di hati kamu, Flo? Yang jelas kamu pasti menolaknya mentah-mentah.”