2. Gairah Liar Wanita Misterius
Malam ini ia berhasil meloloskan diri dari serangan pria yang hendak membunuhnya, sekarang ia butuh merayakan keberhasilannya itu. Tapi si wanita berengsek itu justru melarikan diri. Sudah puluhan panggilan dan pesan Daniel kirimkan, tapi tak sedetik pun Sherin meresponnya.
“Damn!” Daniel membanting ponselnya karena si b******k Sherin menipunya. Wanita sialan itu bahkan menolak ajakannya bercinta.
Hasratnya sudah membara seharian ini, membayangkan dirinya bercinta dengan model panas itu. Tapi sayangnya, Sherin tiba-tiba membatalkan rencana mereka sehingga Daniel pun uring-uringan karena hasrat yang tidak tersalurkan.
“Carikan aku wanita sekarang!” perintah Daniel pada ajudannya melalui sambungan telepon.
Albert segera melaksanakan perintah tuannya tersebut sebelum ia menjadi sasaran empuk sampah emosi Daniel yang menjengkelkan.
Meski begitu, hanya Daniel satu-satunya orang yang memberinya upah maksimal sehingga ia bisa mencukupi semua kebutuhannya.
Daniel bukan lelaki yang kekurangan wanita, tapi dia agak pemilih dalam urusan wanita.
Tipe wanita idamannya adalah wanita mungil berambut pirang keemasan. Bertubuh molek dengan lekukan sempurna di setiap bagian yang menjadi daya tarik kaum hawa.
“Hotel Atlantic, kamar nomor 206.” Albert mengatakannya beberapa menit kemudian. Sesuai perintah ia langsung mencari wanita yang sesuai dengan ekspektasi bosnya.
“Bagus!” Daniel tersenyum puas atas kinerja sang bodyguard.
***
“Hotel atlantic, Kamar nomor 209. Datanglah sekarang juga!” Itulah kata-kata yang ia dengar dari ibu tirinya.
“Mengapa aku harus datang, hah?”
“Apa kau tidak penasaran mengapa ibumu mati?”
Sial! Wanita itu mengungkit hal paling sensitif di hidupnya yaitu kematian ibunya.
Sudah sangat lama, ia ingin mengetahui mengapa ibu meninggal dunia di usianya yang masih cukup muda, 35 tahun. Saat Rachel berusia tujuh tahun kala itu.
Baginya, ibunya adalah sosok yang sangat kuat, yang takkan mudah menyerah begitu saja.
Kemunculan Catherine mengacaukan segalanya. Kehidupan mulai berubah. Ayahnya tidak lagi sepeduli itu padanya, kecuali pada Sherin, anak tiri kesayangannya.
Sang mega bintang, foto model ternama yang terkenal di seluruh penjuru negeri atas kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
Setibanya di lobi hotel, Rachel bergegas naik ke lantai yang dimaksud. Anehnya kepalanya mendadak pusing dan berdenyut.
Pemandangan di sekelilingnya berkabut.
Ada apa gerangan? Ia bertanya sambil sambil terus berjuang agar tidak roboh di tempat itu.
Sensasi selanjutnya adalah ia merasakan panas di sekujur tubuh. Rasanya seperti ada percikan api meletup-letup di pusat inti dirinya.
Rachel berjalan limbung, sekuat mungkin ia harus tiba di kamar nomor 209. Berharap ada seseorang yang akan membantunya di sana.
Lantai seakan bergerak, sekitarnya berputar seperti komidi yang sedang berputar pada porosnya. Kencang dan juga memabukkan.
“To-long,” suaranya terdengar lemah. Apalagi hasrat yang mendadak muncul, keinginan untuk bercinta terasa mengganas, menggerogoti tubuh.
Apakah ini yang dinamakan hasrat? Di tengah menggilanya pusat syarafnya, ia masih berusaha berpikir jernih.
Sebuah pintu bernomor 209 terpampang nyata di hadapannya. Ia beringsut cepat, mengetuk berkali-kali dengan tidak sabar.
“Tolong, buka pintunya,” ucapnya lirih sambil menahan hasrat yang meronta-ronta dari dalam tubuhnya.
Dari dalam kamar, Daniel terusik oleh suara ketukan pintu kamarnya. Ia mematikan keran air, memakai jubah mandinya.
Titik-titik air menetes dari rambutnya yang basah oleh siraman shower. Langkahnya begitu cepat, menahan kekesalan. Sambil mengumpat ia membuka pintu dan matanya terpana melihat seorang wanita mungil berambut keemasan yang terlihat menggoda.
Rona di pipinya terlihat kemerahan di wajahnya yang seputih pualam. Ia mendengar lenguhan keluar dari bibir seksinya yang anehnya meski tidak mengenakan gincu sedikit pun, bibirnya terlihat menarik. Membuat Daniel tergoda ingin mengecupnya.
“Siapa kau?” Hal pertama yang terbersit dalam benak Daniel adalah pertanyaan konyol itu.
Tanpa harus ia tanyakan, seharusnya Daniel sudah tahu kalau wanita itu datang ke kamarnya untuk memuaskan hasratnya, tapi rona merah dan wajah b*******h wanita itu membuatnya bertanya-tanya.
Wanita asing itu berlari ke dalam pelukannya. Menggeliat manja dengan suara desahan yang membuat inti tubuhnya menegang seperti kabel listrik yang memuai di bawah panasnya cahaya matahari.
“Sh*t!” Daniel memaki karena hasratnya membengkak dua kali lipat. Semua itu disebabkan oleh wanita ini.
“Tolong, aku!” bisik wanita itu, lirih. “Aku ... aku ... “ ia menggeliat lagi di dalam dekapannya. Menggesek area intim miliknya yang memang sudah mengeras sejak tadi.
Daniel merasakan hawa panas wanita dalam dekapannya. Mencium sesuatu yang janggal dari aroma napasnya.
Rachel merasakan sekujur tubuhnya memanas. Sekilas ia melirik di balik tubuh lelaki asing berwajah luar biasa tampan yang menopang tubuhnya.
Ranjang berselimut sutra menarik minatnya. Ia berjalan dengan gontai, masuk ke dalam kamar asing, membuka sweaternya dengan gegabah, disusul celana panjang yang ia kenakan pun terlempar begitu saja di lantai.
Tubuhnya nyaris tanpa busana, kecuali dua potong pakaian dalam yang menutupi area bukit kembarnya yang ranum dan menantang, serta bagian intim yang tak pernah tersentuh lelaki mana pun.
Daniel menelan salivanya berulang kali, melihat tubuh molek wanita itu. Terbaring di atas ranjang hotel, menggeliat, haus akan sentuhan.
“Tolong aku,” ujarnya lirih. Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Daniel.
Daniel mendekat ke arahnya. Masih merentangkan jarak, tapi wanita itu terlalu liar untuknya. Dengan cepat ia menarik Daniel ke arahnya. Ia terjatuh, lalu mendarat di atas tubuhnya yang polos. Kulitnya lembut dan halus seperti satin. Menggoda hasratnya untuk menyentuh bagian lain yang lebih sensitif.
Rachel mengerang saat lelaki itu tak sengaja menyentuh lengannya yang terbuka. Seperti air di tengah dahaganya. Ia semakin rakus, tanpa dia sadari di bawah kendali hasratnya, Rachel menarik jemari lelaki itu untuk menyentuh bukit kembarnya yang menegang.
Daniel meragu seraya menatap bingung ke arah wanita yang penuh hasrat itu.
“Apa kau yakin?” tanyanya memastikan. Karena ia tak pernah ingin memaksakan kehendaknya pada wanita mana pun, kecuali jika mereka sama-sama saling membutuhkan satu sama lain.
“Entahlah, aku tak tahu. Tapi tolong sembuhkan aku.”
“Bagaimana caranya?” Daniel bertanya-tanya, merasa seperti perjaka lugu yang belum pernah bercinta sebelumnya. Apalagi pada seorang wanita di bawah pengaruh obat perangsang seperti wanita malang itu.
“Apapun, lakukan saja. Aku sudah tak tahan lagi!” ucapnya. Tetesan airmata mengalir deras dari sudut matanya.
“Baiklah. Jangan menyesalinya!” Daniel membuka jubah mandinya. Ia mulai menghujani wanita itu dengan ciuman liar dan penuh hasrat.
“Tolong jangan berhenti,” bisiknya sambil menarik Daniel semakin erat dan memprovokasi dirinya hingga keduanya terbakar oleh gairah membara.
***