"Kamu sudah gila, Mas?!"
"Hanya itu yang bisa aku tawarkan, Dek. Kalau kamu minta lebih aku belum bisa memberikannya."
Haiss, aku tak menyangka Mas Aiman akan menawarkan hal gila padaku. Jika terus seperti ini aku bisa terkena gangguan mental! "Kenapa harus pacar kontrak?"
"Daripada kita menjalani hubungan tidak jelas lebih baik terikat kontrak yang saling menguntungkan. Kamu bisa meminta bantuanku untuk menggagalkan perjodohan dan aku bisa meminta bantuanmu untuk menyingkirkan para wanita gatal di sekelilingku."
"Bukannya lebih baik pacaran sungguhan? Kita tidak perlu berpura-pura, aku akan terbebas dari perjodohan dan mas Aiman akan terbebas dari para pelakor."
Mas Aiman menggelengkan kepala, kedua matanya menatap langit yang penuh bintang. "Tidak semudah itu, Dek.”
“Mas Aiman ngomong apa sih?! Yang jelas dong, Mas!”
“Apanya yang belum jelas?”
“Jawaban Mas sejak tadi seperti takut untuk berhubungan denganku. Memangnya masalahnya apa? Soal harta? Jabatan? Asal keluarga? Semuanya Mas Aiman punya.”
Emosiku sedikit terpancing ketika Mas Aiman memilih diam. selalu begitu jika aku bertanya soal penolakannya padaku.
Dia selalu mengatakan ‘tidak mudah’ ‘hanya itu yang bisa aku berikan’ ‘ini yang terbaik’ seperti orang putus asa saja.
Padahal jika dia mau berjuang aku akan menemaninya. Lagipula Papa setuju jika aku menikah dengannya. Tinggal meminta restu dari Mama dan Opa. Meski tidak mudah apa salahnya mencoba lebih dulu?
“Dek ...”
“Apa?!”
“Gimana?”
“Apanya?”
“Penawaran ku tadi, aku butuh jawaban sekarang.”
Sebelum menjawab aku terdiam sejenak. Otakku buntu dan tidak bisa memikirkan apapun.
Jika aku menolak, kesempatan untuk bersama dengan Mas Aiman akan menghilang. Bisa saja dia akan meminta perempuan lain untuk menjadi pacar kontraknya.
Saat itu terjadi, semua usahaku selama ini akan berakhir sia-sia. Aku sudah mempertaruhkan harga diriku melabrak para pelakor di bandara, ujung-ujungnya dicampakan juga sama Mas Aiman.
“Aku minta bayaran,” jawabku, aku tidak mau menjadi pihak yang dirugikan. Ya, meskipun menerima tawaran menjadi pacar kontrak sudah termasuk merugikan ku.
“Ingat, Amanda, tidak boleh ada perasaan selama kita terikat kontrak pacaran!”
“Baiklah, tapi bayaran harus dinaikkan lagi.”
“Minta berapa?”
“30 juta per bulan, gimana?”
“Deal! Pacar bohongan ku.”
“Deal, juga, pacarku tapi bohong.”
Kami berjabat tangan sambil melempar senyuman. Aku melihat binar matanya semakin terang ketika kami resmi menjadi pasangan kekasih kontrak.
Bahagia sekali Mas Aiman, apa dia melakukan ini agar aku berhenti mengejarnya? Jika iya, dia salah langkah. Meskipun aku setuju menjadi pacar kontraknya, aku tidak akan berhenti mengejar cintanya.
Haha, rizky guru honorer, jadi pacar kontrak Mas ganteng dapat gaji 30 juta secara cuma-cuma.
“Kamu baca apa saja tadi?”
“Maksudnya?” aku mengernyitkan kening hingga kedua alisku menjadi satu. Mas Aiman suka seperti ini, tiba-tiba bertanya tidak jelas.
“Kamu baca pesan di ponsel yang ada di dapur ‘kan?”
Oh, soal ponsel rahasia. Ternyata dia mengetahuinya. Aku tidak merasa bersalah karena bukan salahku. Siapa suruh simpan barang penting sembarang.
“Dek ...”
“Hanya baca pesan dari Silvi.”
“Sudah kamu sadap juga?”
“Iya lah masak enggak,” jawabku, memakan jagung bakar yang baru datang. Malam ini cukup dingin dan aku diajak keluar oleh pria menyebalkan di sebelahku. “Mas mau marah? Silahkan, aku tidak akan menghapusnya.”
Sebelah tangan Mas Aiman terulur ke arahku, membantu membersihkan sisa jagung yang menempel di sudut bibir. “Memangnya aku pernah marah denganmu?”
“Pernah, bahkan setiap hari Mas selalu marah denganku. Jangan pura-pura amnesia!”
“Kamu ini nakal sekali, Dek. Gak ada bosan-bosannya membuat keributan di Bandara.”
“Salah Mas sendiri, suka banget di grepe-grepe sama para pelakor. Memangnya gak bisa nolak?”
“Kapan aku pernah di perlakukan seperti itu?”
Ishhh, apa aku harus membawa Mas Aiman ke Dokter ya? Sepertinya dia sering kehilangan memori setiap bersama dengan pelakor.
Atau, dia sengaja melakukan hal itu agar aku menjauhinya. Oh, tidak semudah itu fernando! Sampai janur kuning melengkung berbentuk bunga di depan rumahku tidak akan ku biarkan hidupmu tenang.
“Besok mau kemana?” tanyaku mengalihkan topik. Lagi, malas bahas pelakor.
“Tidur seharian mungkin.”
“Gak mau ngapel ke rumah anak gadis?”
“Anak gadisnya saja mau numpang ke rumah gadis lain.”
Aku menghela nafas kasar, menatap lekat kedua mata Mas Aiman. “Besok antar aku ketemu sama Pria yang dijodohkan denganku.”
“Dimana?”
“Restoran tapi belum tahu dimana tempatnya.”
“Dokter dari Semarang?”
Aku mengangguk, menyandarkan kepala pada lengan Mas Aiman. “Peluk dong, Mas. Dingin banget loh ...”
Tanpa Bicara dia langsung memelukku. Tak hanya itu saja, Mas Aiman juga memakaikan jaketnya padaku. “Janji gak akan pura-pura hamil di luar nikah?”
“Trik itu sudah basi. Mama tidak akan percaya. Lagipula, Pria ini sepertinya sudah jatuh cinta denganku sejak lama.”
“Pernah ketemu sebelumnya?”
“Dia ‘kan kuliah di Jogja, sempat bekerja di rumah sakit Opa sebelum pindah ke Semarang.”
“Ganteng?” tanya Mas Aiman, tumben dia menanyakan hal seperti ini. Biasanya selalu percaya diri, dengan mengatakan jika tak ada pria ganteng yang melebihi dirinya.
“Banget, selain ganteng dia juga pintar, ramah dan juga sopan. Pokoknya suamiable banget lah ...”
“Kenapa kamu menolaknya?”
“Ya, kasihan dia nya dong, Mas.”
“Kasihan?”
Aku mengangguk, mendongakkan wajah ke atas. “Dia terlalu sempurna untuk Amanda yang banyak kekurangan. Aku tidak mau memiliki pasangan yang suka menuntut, capek dan tidak akan bahagia.”
Mas Aiman membelai lembut pipiku, matanya menatapku dalam hingga aku hanyut di dalamnya, tak ada senyum yang ada hanya wajah datar. “Bilang sama Mama kalau kamu menolak dijodohkan. Jangan membuat rencana yang membahayakan keselamatanmu! Apalagi, membuat nama baikmu tercoreng. Kamu ini gadis baik dari keluarga terhormat, Dek. Tidak pantas melakukan tindakan seperti bulan lalu.”
“Habisnya Mas gak mau bantuin aku. Hanya itu satu-satunya cara agar Pria yang dijodohkan denganku ilfil dan risih.”
“Kabur ke rumah Siva atau ke rumah Mama Jazil. Tidak perlu datang ke acara makan malam.”
“Mana bisa? Mama minta orang untuk mengikuti ku.”
“Aku tidak bisa membantumu terus-menerus. Hubungan keluarga kita terjalin dengan sangat baik dan aku tidak mau menghancurkannya.”
“Kenapa sih, Mas? Berjuang dong! Kayak Pak Arayan gitu loh. Sudah di tolak sama Papa Yopie tapi tetap pantang mundur. Akhirnya beliau bisa menikah dan hidup bahagia bersama dengan Cintami.”
“Pulang yuk ...”
Aku melepaskan pelukan dari Mas Aiman, memberikan jaket padanya, malas banget kalau dia mengalihkan pembicaraan ketika aku tengah serius.
Setelah mengambil tas, aku langsung meninggalkan angkringan dengan konsep bertingkat. Di lantai dua di sediakan tempat santai yang bisa melihat lampu-lampu kota dan kendaraan yang melintas.
Sementara Mas Aiman masih tertinggal, dia harus membayar makanan dan minuman yang kami pesan.
“Amanda ...”
Lah, kenapa dia bisa ada di sini?! “Sama siapa Mas?”
“Ketemu teman kuliah. Kamu sendirian?”
“Enggak, sama teman.”
Mas Afif melihat ke arah angkringan, aku juga ikut melihat ke arah sana. “Mana temanmu?”
“Lagi bayar, tadi aku keluar duluan.”
“Bawa mobil atau tidak?”
“Enggak, Mas.”
“Ayo, aku antar, sekalian pulang ke apartemen.”
Mas Afif adalah Pria yang akan dijodohkan denganku. Ternyata dia sudah berada di Jogja. Padahal rencana ketemuan masih besok, saat makan siang.
Tidak sengaja ketemu bukan berarti jodoh! Pokoknya jodohku hanya Mas Aiman.
“Dek ...”
Aku menoleh ke belakang, akhirnya yang aku tunggu datang juga. “Sudah?”
“Hmmm,” gumamnya, dia menggandeng tanganku lalu mengajakku menuju ke arah mobilnya.
Tidak ada pertanyaan apapun yang keluar dari mulut Mas Aiman, karena dia tak pernah peduli dengan semua pria yang dijodohkan padaku.
Aku mengangguk dan tersenyum pada Mas Afif. Semoga saja dia tidak cepu seperti pria yang sudah-sudah. Malas sekali berdebat dengan Mama dan Opa.
“Sepertinya kamu menyukainya,” ujar Mas Aiman, mobil tengah berhenti di lampu merah.
“Mas Afif tidak ada celah buruknya. Gadis mana yang bisa menolak pesonanya?”
“Kamu tidak suka.”
“Karena aku sadar diri tidak akan sepadan dengannya. Lebih baik menikah dengan orang yang tahu baik dan buruknya aku, Daripada menikah dengan orang yang mau menerimaku hanya karena cerita dari Mama dan Opa yang sudah dilebih-lebihkan.”
“Contohnya?”
“Harus banget aku jelasin?”
“Tidak perlu kalau kamu lagi malas cerita.”
“Aku tuh udah nyaman banget sama Mas. Setiap bad mood pasti akan dimasakkan makanan yang enak-enak. Padahal Mas lagi capek baru pulang kerja.”
“Terpaksa, aku juga lapar.”
“Kalau aku malas bersih-bersih dan membuat berantakan kamar pasti Mas yang selalu membersihkan. Tidak pernah tuh ngomel-ngomel.”
“Aku tahan karena malas berdebat. Kamu makin ganas kalau di kasih nasehat.”
“Nah itu, aku butuhnya Mas Aiman bukan Pria sempurna seperti Mas Afif.”
“Kamu pikir aku Pria penuh cacat?”
“Iya, lah! Memangnya Mas gak sadar jika seperti itu?”
“Dek ...”
“Gak boleh marah, hehe. Kenyataannya memang seperti itu, Mas tuh sudah terkenal playboy loh. Suka gonta-ganti pacar setiap minggu.”
“Aku bahkan belum pernah pacaran.”
“Silvi sering ke apartemen Mas?”
“Jarang, baru sekali dan itupun ramai-ramai dengan teman satu tim.”
“Kenapa dia tahu password apartemen Mas?”
“Mana mungkin dia tahu?”
“Tadi dia bertanya, apa password apart masih seperti yang dulu. Bukankah itu menunjukkan jika Silvi tahu password unit Mas Aiman.”
Mas Aiman terdiam, terlihat berpikir. Setelah itu, kepalanya menggeleng. “Aku tidak pernah memberinya password apartemen pada Silvi. Hanya kamu yang tahu, Dek. Bahkan, kedua orang tuaku saja tidak tahu.”
Ting ...
Dokter Afif
“Aku lupa bilang, kamu malam ini cantik banget, Dek.”
Ciiittttttt, braaakkkk!
“Astagfirullah, Mas. Kenapa gak hati-hati nyetirnya?” aku melihat ke belakang. Untung saja bukan orang yang ditabrak Mas Aiman, melainkan safety cone.