Mas Aiman menghentikan mobilnya di pinggir jalan setelah menabrak traffic cone. Hampir setengah jam aku didiamkan dan tidak didengarkan ketika protes. Dia justru asik bermain game di ponselnya.
Sebelum mendiamkan ku, Mas Aiman memberikan ceramah panjang yang membuatku kesal.
Katanya tidak boleh mencampuri urusan masing-masing tapi dia marah saat Mas Afif mengirim pesan padaku.
Katanya aku genit dan sok cantik saat bertemu dengan pria yang akan dijodohkan denganku. Padahal kami tidak sengaja bertemu dan hanya berbincang sebentar.
Dasar playboy gak tahu diri! Bisa-bisanya menyalahkan aku padahal dia sendiri yang mengajak pacaran kontrak.
“Mau bermalam di pinggir jalan?” sindir ku dan Mas Aiman masih sibuk dengan ponselnya.
Aku mendengkus kesal, memilih menurunkan kursi mobil agar bisa merebahkan badan. “Bangunkan aku kalau sudah sampai rumah Siva,” ujarku sebelum menutup mata.
Kedua tangan ku masukkan ke dalam cardigan agar tidak terasa dingin. Namun, tidak berhasil, tubuhku bukannya hangat malah mulai menggigil.
Aku merasakan tubuh Mas Aiman bergerak, mengambil sesuatu yang ada di kursi belakang. Posisiku saat ini memunggunginya jadi tidak bisa melihat yang dia lakukan.
Ah, ternyata dia mengambil selimut untukku. Baik juga ternyata, ku kira sudah berubah jadi pria tak berempati.
Sebelum menjalankan mobil, Mas Aiman menepuk kepalaku beberapa kali. “Tidur lah, perjalanan kita masih panjang.”
Maksudnya? Jarak antara rumah Siva dan tempat kami saat ini lumayan dekat. Aneh banget bilang perjalanan masih panjang.
Drett ... drett
Tidurku terganggu oleh getar ponsel yang ada di saku cardigan. Awalnya aku membiarkannya, namun ponsel kembali bergetar setelah mati sebentar.
“Halo ...” jawabku dengan sisa-sisa kesadaran.
“Sudah sampai rumah?”
Suara Mas Afif terdengar merdu menyapa kedua telingaku. Selain wajahnya yang teduh, ternyata dia juga memiliki suara yang membuat hati dan pikiran tenang. “Belum, Mas. Masih di jalan.”
“Kamu tidak pulang ke rumah Tante Dera?”
Lah, kok bisa tahu sih? Jangan-jangan Mama menceritakan semua keburukanku pada calon menantu idamannya! “Hehe ...” aku tidak menjawab karena malu.
“Besok jadi makan siang bersama?”
“Pura-pura saja kita makan siang bersama. Terserah deh Mas Afif mau kemana, nanti aku bakal bilang kalau kita pergi bersama sesuai keinginan para orang tua.”
“Kenapa harus bohong?”
“Memangnya Mas mau dijodohkan denganku? Mending pikir-pikir lagi deh, jangan sampai menyesal diakhir. Masih banyak perempuan di luaran sana yang setara dengan Mas Afif.”
“Aku tidak butuh yang sempurna. Bukankah pasangan itu harus saling melengkapi kekurangan masing-masing? Kita bisa melakukannya jika kamu mau.”
Sepertinya pria yang dijodohkan denganku kali ini lumayan bebal. Aku harus bekerja lebih ekstra agar perjodohan batal. “Ya, sudah, besok makan siangnya aku yang tentukan tempatnya,” putus ku, malas banget makan siang di restoran pilihan Mama. Pasti beliau sudah memasang banyak mata-mata di sana.
“Iya, sudah sampai mana?”
“Bentar lagi sampai rumah Siva.”
“Sahabat kamu?”
“Hmmm.”
“Sampai rumah langsung bersih-bersih lanjut tidur. Jangan begadang ya!”
“Hmmm.”
“Selamat malam, cantik.”
Eh! Ganjen juga Mas Afif. Malam ini sudah berani mengatakan jika aku cantik sebanyak dua kali. Sedangkan pria di sebelahku saja tidak pernah tuh berkata seperti itu.
Mas Aiman berdehem cukup keras ketika aku baru selesai mengangkat telepon. Idih, gitu banget kalau lagi cemburu. Kelakuannya labil seperti ABG baru kasmaran.
“Sepertinya ada yang mulai jatuh cinta dengan Pria yang dijodohkan dengannya.”
“Sok tahu,” jawabku tanpa membalik badan, aku masih tetap menghadap ke arah pintu. “Cemburu bilang bos!”
“Ckck, cemburu dengan Dokter tadi? Dari segi manapun dia tidak sepadan denganku.”
“Ya iya lah, Mas Afif terlalu baik dan sempurna. Sementara Mas Aiman terlalu astagfirullah, jauh banget bedanya.”
“Oh, mau menerima perjodohan?”
“Nggak lah! Siapa yang bilang aku mau menerima perjodohan?”
“Terus, apa maksudnya kamu memuji Dokter itu di depanku?”
“Aku hanya bicara Fakta, kalau soal cinta mah tetap Mas Aiman forever lah ...”
Tidurku terganggu dan sebentar lagi sampai di perumahan tempat tinggal Siva. Aku bangun, kembali duduk dengan benar setelah menegakkan sandaran kursi. Tubuhku masih terlilit selimut agar tetap terasa hangat.
“Mau apa lagi?” tanyaku ketika mobil Mas Aiman kembali menepi. “Sudah hampir tengah malam dan kita masih berkeliaran di jalanan. Mas Aiman kalau masih kangen sama aku pulang ke apartemen saja. Aku siap loh menginap di sana,” tantang ku.
“Sembarangan kalau bicara,” jawabnya, menyentil keningku pelan. “Belum saatnya kamu menginap.”
“Tapi, para pelakor boleh datang dan menginap sesuka hati.”
“Kata siapa?”
“Aku barusan, buktinya Silvi tahu ...”
Mas Aiman menaruh telunjuknya di bibirku ketika aku ingin membahas soal wanita kesayangannya.
Dibela saja terus, giliran aku yang tidak melakukan kesalahan selalu mendapatkan ceramah dan omelan pedas.
“Besok aku tidak bisa menemanimu makan siang.”
“Sudah tahu,” ujarku. “Mana pernah Mas Aiman mau membantuku. Coba kalau kamu yang butuh bantuan pasti aku langsung datang tanpa banyak alasan.”
“Dek ...”
“Udah deh, mendingan lanjut perjalanan. Aku capek badan, hati dan pikiran. Mau cepat istirahat agar besok tidak telat bangun.”
“Mau kemana?” tanya Mas Aiman dengan polos menjurus ke bodoh.
Aku malas menjawab, lebih memilih menatap ke arah luar jendela. Akhir pekan harusnya dia mengajakku jalan-jalan tapi malah mau pergi dengan teman-temannya yang tidak jelas.
Saat ini aku akan mengalah karena benar-benar lelah dan mulai mengantuk. Besok, aku pastikan acaranya gagal total dan para wanitanya saling adu jambak.
***
“Yakin kita gak bakal ketahuan?” tanya Siva saat kami telah berada di restoran bintang lima di dekat apartemen Mas Aiman.
“Tenang saja, Siv. Tidak akan ketahuan karena kita sudah menyamar. Lagipula, aku telah membayar mahal kepala pelayan agar kita bisa melakukan penyamaran.”
“Tapi, aku takut ketahuan Mas Aiman,” rengek Siva.
“Dia bakal terlambat karena keempat ban mobilnya bocor, hehe.”
Siva mendekatkan badannya ke arahku, melihat sekitar sebelum mulai bicara. “Kamu yang melakukannya?” ujarnya pelan.
Aku mengangguk, lalu tersenyum ketika rombongan teman-teman Mas Aiman mulai berdatangan. Sudah kuduga pasti kebanyakan wanita dan prianya hanya ada tiga.
Hari ini aku menyamar sebagai pelayan restoran dan bertugas melayani ruangan VVIP yang telah di booking oleh Silvi.
Rencana untuk membuat mereka adu jotos dan jambak sudah tersusun rapi. Dan, aku tidak sabar untuk melihatnya.
“Makanannya langsung dihidangkan. Sebentar lagi teman-teman kami sampai,” ujarnya padaku.
“Iya, Kak.”
Aku keluar dari ruangan, menghampiri Siva yang baru selesai menata makanan diatas meja dorong.
Kedua mataku memberinya kode pada sahabatku agar bergegas menuju ke ruangan para wanita gatal.
“Sudah siap?” tanya Siva.
“Iya, buruan antar makanannya. Ingat, Siv, gak boleh gugup.”
“Okay,” jawabnya.
Sedangkan aku masih menunggu kedatangan Mas Aiman di depan lorong menuju ruangan VVIP. Sengaja aku menunggunya karena ingin memberinya kejutan.
Salah sendiri tidak mau membantuku dan lebih memilih makan siang bersama teman-temannya. Aku ini pacarnya meskipun hanya kontrak. Setidaknya dia kasihan dan membantuku agar perjodohan batal.
“Kamu pelayan yang tadi ‘kan?” tanya Silvi, sepertinya dia ingin ke toilet.
Aku mengangguk, lalu tersenyum agar terlihat ramah. “Iya, Kak. Ada yang bisa di bantu?”
“Bisa minta tolong?”
“Iya, Kak.”
“Pacarku sebentar lagi datang, aku sudah menghubunginya tapi nomornya tidak aktif, sepertinya ponselnya lupa di cas. Kalau ada Pria tampan seperti ini ...” dia menunjukkan foto Mas Aiman padaku dan aku langsung mengangguk. “Tolong antarkan ke ruanganku ya.”
“Iya, Kak. Saya akan menunggunya di sini,” jawabku, setelah itu Silvi pergi menuju ke toilet.
Ternyata Mas Aiman belum tahu ruangan tempat makan siangnya. Baguslah, makin mudah untukku mengerjainya.
Aku bergegas menuju toilet saat Silvi sudah tak terlihat. “Pas banget lagi sepi,” gumamku pelan, aku mengunci pintu dari luar, setelah itu pergi dengan senyum merekah.
Ketika aku kembali dari toilet Mas Aiman sudah datang dan Siva yang menunjukkan ruangannya.
“Gimana misi pertama?” tanya Siva.
“Berhasil, tinggal kamu yang menjalankan misi ke dua.”
Siva mengedipkan sebelah matanya, tanpa bicara dia menuju ke toilet. Aku mengikutinya dari belakang namun tidak ikut masuk.
Tokk ... tokk ...
“Tolong buka pintunya,” teriak Silvi. “Siapa yang berani berbuat seperti ini padaku?!”
Sebelum membuka pintu Siva menoleh ke belakang dan aku langsung mengangkat kedua jempolku, memberi kode jika keadaan aman terkendali.
Setelahnya, dia berjalan mendekati pintu. Lalu, pura-pura bertanya pada si pelakor yang tengah terkunci di dalam toilet.
“Tolong buka pintunya Mbak,” ujar Silvi dengan suara lembut.
“Iya, sebentar, kuncinya agak susah di putar.” Siva makin kesini semakin pintar akting, tidak sia-sia aku mengajarinya, hehe.
Klek ... suara kunci terbuka, Silvi keluar dengan wajah penuh amarah.
“Kakak tidak apa-apa?” Tanya Siva.
Silvi menggeleng, merapikan rambutnya yang berantakan seperti terkena angin topan. Entah apa yang dilakukan di dalam sana hingga bisa seperti itu?
“Kak ...” panggil Siva.
“Iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih, sudah menolongku.”
“Sama-sama, Kak. Oh, iya, teman Kakak baru saja keluar dari toilet. Kenapa tidak minta tolong?”
“Temanku?” tanya Silvi. “Dia pakai baju warna apa?”
“Kemeja putih dan rok warna hitam.”
“Rambutnya pendek?” tanya Silvi lagi memastikan jika Siva tidak salah mengenali orang.
“Iya, Kak. Ada tahi lalat di bawah matanya,” tambah Siva.
Kedua tangan Silvi mengepal kuat, matanya memancarkan kobaran api yang siap membakar musuhnya. Dia pamit dengan Siva untuk kembali ke ruangannya.
“Berhasil!” seruku pelan. “Tinggal menunggu aksi saling jambak wanita kesayangan Mas Aiman.”
Aku keluar dari tempat persembunyian, mengajak Siva pergi dari restoran dan menonton pertikaian dari dalam mobil.
Sebelumnya, aku telah menaruh ponsel yang terhubung panggilan video di pohon palem merah yang ada di pojok ruangan.
“Hahhhhh, leganya ...” desah Siva, setelah menghabiskan sebotol air mineral. “Jantungku rasanya ingin copot.”
“Hebat banget kamu, Siv,” ujarku, memberinya coklat agar dia kembali tenang.
“Demi kamu, jika tidak aku gak bakalan mau melakukan hal gila seperti ini.”
Sebelum melihat tontonan gratis aku memeluk Siva sebentar. Beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik Siva disaat sahabatku yang satunya tengah hamil tua.
“Dasar w************n,” suara Silvi membuatku dan Siva kaget.
“Kamu kenapa, Sil? Tiba-tiba kesetanan seperti ini?” cabe-cabean yang terkena tamparan Silvi mengaduh kesakitan sambil protes, tak terima dengan perlakuan kasar sahabatnya.
“Ketempelan jin kamar mandi mungkin,” saut teman satunya lagi dan aku tidak tahu namanya.
Mas Aiman masih bersikap tenang, melanjutkan makan siangnya meski suasana di sekitarnya mulai mencekam.
Aksi jambak dan tampar antara Silvi dan sahabatnya semakin menarik dan seru untuk ditonton. Keduanya tidak hanya saling serang namun juga melempar makian.
“Aaaaa, lepaskan aku, kamu sudah gila Sil!”
“Kamu yang gila, pura-pura baik di depanku ternyata menusuk dari belakang!”
“Maksud kamu apa?!”
“Jangan pura-pura sok polos! Kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakangku?”
“Aaaaaa, lepaskan Silvi! Rambutku, aduhhhhh ...”
Aku dan Siva ikut merasakan sakit ketika Silvi menarik kuat rambut sahabatnya. Bar-bar sekali kelakuannya.
Saking asiknya menonton perdebatan, aku dan Siva sampai berteriak heboh dan meminta keduanya makin semangat adu jotos dan jambak nya.
Tok tok tok!!!
“M-manda ...” ujar Siva gagap, kedua matanya melihat ke arah belakangku.
“Apa?!”
“Itu,” tunjuknya pada orang yang tengah mengintip di luar mobil.
“Lah, kok dia bisa tahu sih?!”