Sesampainya di apartemen Mas Aiman, aku langsung membersihkan diri karena badanku terasa lengket dan gerah. Layaknya seperti rumah sendiri, aku menaruh barang-barang ku di sini. Seperti ; pakaian, alat mandi dan alat makeup.
Apa Mas Aiman tidak protes? Tentu saja protes.
Dia bahkan memberi ku ceramah panjang bin lebar hingga kedua telingaku panas. Namun, aku tidak peduli dan tetap mengklaim kamar tamu di apartemennya sebagai kamar milik Amanda.
Saking takutnya barang-barang ku di buang oleh Mas Aiman, aku sampai mengunci kamar itu dan menyimpan kuncinya. Jadi, Mas Aiman tidak bisa membuka kamar tamunya, hehe.
Selesai mandi, aku pergi ke dapur. Hidungku mencium bau harum masakan membuat perutku keroncongan. “Wangi mie tek-tek memang tiada duanya.”
“Tolong siapkan es jeruk, Dek. Aku mau mandi sebentar, setelah itu baru makan malam.”
Mas Aiman sudah mulai melupakan kelakuan bar-bar ku. Buktinya, dia kembali memanggilku dengan sebutan ‘Adek’ seperti biasanya. Ya, karena dia menganggap ku sebagai adiknya. “Okay,” jawabku, langsung menuju ke arah lemari es. Saat aku membukanya tak sengaja melihat ada minuman beralkohol. “Mas ...”
“Bukan milikku, Dek.”
“Sejak kapan tetangga apartemen hobi menitipkan minuman di sini?”
“Bukan milik tetangga juga.”
“Terus punya para si pelakor? Ckck, kelakuanmu Mas, Mas! Semakin hari makin gak jelas,” cibirku.
“Minggu kemarin temanku mampir membawa beberapa barang belanjaan. Eh, satu kantong belanjaannya tertinggal di sini karena buru-buru sewaktu ingin pulang.”
Elehhh, alasan! Aku gak percaya dengan penjelasan Mas Aiman. Seingat ku, minggu kemarin aku menjemputnya di bandara dan mengantarnya menginap di rumah Mama Jazila (Tante Mas Aiman)
“Dek,” panggilnya saat aku tengah mencuci jeruk.
“Apa?!”
“Kok diam?”
“Harus jawab apa? Mas itu banyak bohongnya, aku sampai bingung cara pura-pura sok polos dan bodoh.”
Mas Aiman berjalan mendekatiku, tangannya menangkup wajahku, lalu menekannya hingga bibirku mengerucut. Aku ingin memukulnya tapi tanganku memegang jeruk.
“Aku bicara jujur, Adek. Setelah kamu mengantarku ke rumah Mama Jazil, temanku memberi kabar sudah ada di depan unit ku. Terpaksa aku samperin dia karena sungkan.”
Aku mengangkat sebelah alis ku. Heran dengan kata-kata ‘Sungkan’ yang selalu dijadikan tumbal. “Oh ...”
“Dek, jawab yang panjang.”
“Lepasin ih! Mau bikin jus jeruk terus makan. Aku sudah laper banget.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak! Aku tak akan minum-minuman beralkohol.”
Setelah mengatakan itu, Mas Aiman pergi meninggalkanku. Aku mendengkus kesal, menatap punggungnya yang semakin menjauhiku. “Aku sumpahin bintitan kalau masih suka berbohong!”
Aku membawa jus jeruk yang sudah jadi ke meja makan. Dua mangkuk mie tek-tek kuah dan chicken nugget sangat menggodaku.
Sambil menunggu Mas Aiman mandi, aku memutuskan mengecek ponsel. Biasanya Bumil Mimi dan Siva sudah spam pesan di grup karena khawatir denganku.
Dreeettt ... dreeettt
Aku menoleh ke samping ketika mendengar ponsel bergetar, kedua mataku memicing ke arah laci tempat penyimpanan bumbu dapur. Buat apa Mas Aiman menyimpan ponsel disana?
Sebelum dia keluar dari kamar, aku buru-buru mengambil ponsel itu. Mematikan panggilan lalu membuka pesan yang sudah menumpuk sampai ratusan.
Silvi Pramugari
“Aiman, sudah sampai apartemen? Aku mau main ke sana. Kangen banget gak ketemu selama satu minggu.”
“Mau dibawain makanan apa tidak?”
“Aku ada di pecel lele kesukaanmu.”
“Aiman, aku bungkus kan pecel lele. Jangan makan malam dulu!”
“Halooo, Aiman. Kenapa gak balas?”
“Aku hampir sampai apartemen mu. Password belum kamu ganti ‘kan?”
Setelah membaca pesan dari pelakor lintas negara, aku membajak aplikasi chat berwarna hijau milik Mas Aiman. Setelah itu, meletakkan kembali ponsel ke tempat semula.
“Aku sudah ada di basement. Bisakah kamu turun sekarang?”
Satu pesan masuk dari Silvi, aku membalas chat itu namun dari ponselku. Enak saja mau gangguin Mas Aiman, dasar perempuan gatal!
“Beres!” seruku dengan menggoyangkan badan dan tertawa lebar. Puas sekali memberi pelajar untuk wanita sundel itu.
“Apanya yang beres?”
Suara Aiman membuatku kaget, aku mengelus d**a lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Untung saja chat dari Silvi sudah ku hapus. “Gapapa kok, Mas. Makan yuk, laper bangettttt.”
Mas Aiman mengangguk, duduk di sebelahku dengan tenang dan memulai makan malam. Tidak ada obrolan selama makan malam, selain aku sedang tidak mood, sepertinya yang punya rumah tengah kelaparan.
Satu mangkuk mie tek-tek buatannya sendiri habis dalam waktu beberapa detik. Cara makannya pun seperti orang yang tidak pernah makan selama berhari-hari.
Aku melirik ke arah ponselku, penasaran dengan si pelakor. “Apa dia sudah pulang ya?” gumamku pelan.
“Siapa?”
“Hah? Eh, bukan siapa-siapa,” jawabku, berusaha bersikap biasanya saja agar Mas Aiman tidak curiga.
“Kamu aneh,” ujarnya penuh selidik. “Adek ...”
“Sering banget Mas Aiman mengatakan jika aku aneh.”
“Benar juga ya. Lagian kapan Amanda tidak bersikap aneh.”
Aku meringis, menggaruk kepala yang tidak gatal. “Oh, iya, Mas. Boleh tanya apa tidak?”
“Katakan.”
Aku merangkai kata lebih dulu sebelum mengucapkan pertanyaan. Mas Aiman tidak boleh tahu soal kecurigaanku padanya. Apalagi sampai tahu aku telah membajak aplikasi chat di ponsel rahasianya.
“Mau pinjam ponsel boleh?”
“Ponselmu kenapa? Pecah lagi layarnya?”
Aku menggeleng. “Agak nge-lag, buat ngetik pesan sejak tadi gak bisa.”
Tanpa pikir panjang Mas Aiman memberikan ponselnya. Selalu begitu, dia tak pernah pelit padaku soal barang-barang miliknya. Makanya aku kaget dia memiliki dua ponsel dan yang satu dia sembunyikan di dapur.
“Terima kasih,” jawabku.
Iseng saja aku mengirim pesan pada Mimi dan Amanda, mengatakan jika aku akan pulang malam. Dan, besok tidak bisa ikut jalan-jalan ke mall. Sebelumnya aku telah memberi tahu sahabatku soal rahasia Mas Aiman yang baru kutemukan.
“Sudah, Mas, maacih,” ucap ku, mendorong ponsel ke arahnya. “Gak usah dibalas kalau sahabatku balas pesannya.”
“Hmmm.”
Selesai makan malam aku bertugas membersihkan meja makan dan mencuci alat makan. Setelahnya, aku bergabung dengan si empunya rumah menonton TV.
Baru pukul 8 malam, aku berniat pulang sekitar jam 10 an. Malas banget di rumah karena Mama semakin hari makin ganas.
Aku merebahkan badan di sebelah Mas Aiman, menghela nafas kasar sambil mengerucutkan bibir. Entah kenapa, mood ku tiba-tiba memburuk?!
“Mau cosplay jadi sapi?”
Aku malas berdebat, jadi mengacuhkan pertanyaan Mas Aiman.
“Dek, ada apa? Kenapa mendengkus sejak tadi?”
“Aku mau dijodohin lagi.”
“Sama siapa lagi?” tanya Mas Aiman, nada suaranya berubah dingin tak seperti tadi.
Aku memiringkan badan, menatapnya dengan lekat dengan wajah memelas. “Orang Semarang.”
“Dokter?”
“Iya, sekaligus anak pemilik rumah sakit.”
Aku melihat pria di depanku menghela nafas panjang, dia pasti kesal dengan keluargaku yang ngotot ingin memiliki menantu seprofesi.
Hanya, Papa yang sedikit lunak dan memberiku kebebasan dalam memilih pasangan.
Sementara Opa dan Mama tetap kekeuh aku harus menikah dengan seorang Dokter.
“Kok diam saja? Gak mau bantuin aku lagi?”
“Bantu apa, Dek? Semakin kamu membangkang, semakin keras Tante Dera. Aku tidak suka kamu berdebat tiap hari dengan beliau.”
“Terus, maksud Mas Aiman apa? Jangan bilang minta aku menikah dengan Pria itu! Ogah banget lah.”
Diam, tidak ada yang obrolan di antara kami. Aku sibuk dengan masalahku dan Mas Aiman entah memikirkan apa. Mungkin saja, dia sedang memikirkan para penggemarnya yang ada di ponsel rahasianya.
“Aku mau pulang ...”
“Biasanya jam 10 pulangnya.”
“Auranya gak bagus apartemen ini,” jawabku ngasal. Padahal aku kecewa dengan sikap Mas Aiman.
“Aku antar, mobilmu biar di sini.”
“Tidak terima kasih, aku mau menginap di rumah Siva.”
“Dek ...”
“Gak usah ceramah Mas. Aku sedang tidak mau mendengarkan nasehat-nasehat soal menerima perjodohan.”
Sebelum pergi, aku mengambil tas di dalam kamar. Lalu mengecek ponsel lebih dulu memastikan Silvi sudah pergi dari sini. Males banget kalau sampai bertemu si pekakor di bawah.
“Aku tidak ada di rumah. Pulang saja aku akan menginap di rumah Mama Jazil.” Itulah, balasan pesan yang aku kirim pada si pelakor. Semoga saja dia sudah pergi dari apartemen ini.
Mas Aiman benar-benar bebal, ketika sudah bicara A pasti akan melakukannya. Seperti saat ini, sudah aku tolak masih memaksa mengantarku ke rumah Siva.
Kami sudah berada di basement, menuju ke arah mobilnya. Alamat mobilku akan menginap di kediaman cowok.
Ah, aku iri sekali dengan mobil kesayanganku. Sering menginap di apartemen Mas Aiman sementara aku pemiliknya belum pernah.
“Aiman, ternyata kamu di rumah. Aku sudah menduga jika kamu berbohong.”
Ishhh, wanita ini benar-benar membuatku jengkel!
“Maksudnya?”
“Aku membawakan mu makan malam tapi kamu berkata ada di rumah Tante Jazil.”
Aku pura-pura tak mengerti, tidak mungkin ‘kan mengaku sudah membajak pesan.
“Oh,” hanya itu jawaban Mas Aiman.
Silvi mengernyitkan keningnya, bingung dengan respon yang diberikan oleh pria incarannya. “Kamu kenapa, Aiman?”
“Gak kenapa-napa. Memangnya ada yang aneh?”
“Tumben sikapmu dingin.”
Malas melihat drama manusia hobi TTM an, aku memutuskan pergi menuju ke arah mobilku. Untung saja aku membawa kuncinya jadi tak perlu pulang naik taksi.
“Dek, mobilku ada di sebelah sana,” tunjuknya pada mobil berwarna putih.
“Aku pulang sendiri saja, Mas. Silahkan urus tamu mu.”
Bukannya menurut, Mas Aiman justru menarik tanganku, membawaku menuju ke arah mobilnya. “Tunggu sebentar,” ujarnya setelah membantuku duduk di mobil dan memasangkan seat belt.
Dia berjalan menghampiri Silvi, dan aku tidak akan bisa mendengar percakapan mereka karena jarak kami terlalu jauh. Aku hanya bisa melihat wajah pelakor itu menahan kesal dan beberapa kali menunjuk ke arahku.
“Rumitnya kisah cintaku,” gumam ku. “Oh, iya, aku belum kasih kabar ke Siva jika akan menginap.”
Sebelum mengambil ponsel di dalam tas pintu mobil diketuk dengan keras. Ketika aku mendongak, ternyata pelakor ingin mengajak duel.
Sedangkan Mas Aiman berusaha menarik tubuh Silvi agar menjauh dari mobil. “Heyooooo, adegan apa ini?! Malu-maluin geng aja.”
Aku sedikit menurunkan kaca, malam ini lagi malas meladeni kegilaan Silvi. “Apa?!”
“Bisa pulang sendiri ‘kan? Keluar dari mobil Aiman sekarang juga.”
“Kamu siapa? Sekarang pelakor semakin terdepan ya. Sudah kehabisan stok malu?"
“Gadis kemarin sore tahu apa soal hidupku?!”
“Ngak tahu banyak sih, aku hanya tahu kamu itu hobi mengganggu para Pria kaya agar bisa hidup hedon. Kasihan banget lahir dari keluarga miskin,” cibirku. Agak keterlaluan tapi memang harus begitu.
“Jaga ucapanmu! Atau aku akan ...”
“Mau apa?! Merayu Papa ku atau Opa ku, seperti itu jalan pikiranmu. Ckck, dasar perempuan murahan!”
Silvi berusaha memasukkan tangannya untuk menjambak ku namun gagal. Gerakan tangan Mas Aiman lebih dulu menghentikannya.
Keduanya berdebat cukup lama di depan mobil. Aku tak mau tahu, lebih memilih menonton pertunjukan saja.
Brak!!! Suara pintu mobil tertutup cukup keras.
Tinnnnn ... Tinnnnn
Berisik sekali, Mas Aiman terus menyalakan klakson mobilnya untuk mengusir Silvi.
“Tabrak aja, Mas!”
Mas Aiman menatapku tajam. “Mau masuk penjara?”
“Bilang saja ngak sengaja, soalnya makhluk halus tak kasat mata.”
Lah, si pelakor bukannya pergi malah naik ke atas kap mobil. Sepertinya hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja. Tumben Mas Aiman bersikap keras dengan ani-ani.
“Mau cosplay jadi catwoman tuh. Tapi yang versi Jogja pakai lingerie buat menggoda para sugar daddy.”
“Aku akan menelpon security.”
Terserah, mau telpon security atau menjalankan mobil sekarang juga, aku tidak peduli.
Beberapa saat kemudian ada empat orang pihak keamanan apartemen datang. Mereka langsung meminta Silvi agar turun dari kap mobil.
“Aiman aku ingin bicara denganmu. Semua yang kamu lihat minggu kemarin hanya kesalahpahaman saja,” teriak Silvi saat aku kembali menurunkan kaca.
Oh, seperti yang ku duga. “Buruan pergi!” titahku.
Mas Aiman bergegas menjalankan mobilnya, setelah berterima kasih pada keempat security yang telah membantunya.
“Marah?”
Satu kata yang selalu aku dengar dari mulut Mas Aiman ketika aku diam saja selama di perjalanan. Basi dan tidak kreatif!
“Jalan ke rumah Siva belok kiri.”
“Kita akan ke suatu tempat dulu. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”
“Besok saja deh. Malam ini aku mau tidur cepat.”
“Ya, sudah. Di mobil saja.”
Aku menutup mata, mencoba menahan emosiku agar tidak meledak di sini. Hari ini rasanya terasa melelahkan.
“Dek ...”
“Iya.”
“Mau ‘kan pergi denganku sebentar.”
“Memangnya aku bisa menolak?!”
Aku mendengar Mas Aiman terkekeh, lalu membelai lembut kepalaku beberapa kali. “Anak baik dan manis,” ujarnya.
“Mas Aiman kalau bersikap seperti ini terus, hari senin aku seret ke KUA loh! Aku akan mengajakmu kawin lari,” ancam ku, agar dia tidak membuatku berharap lebih.
“Pernyataan seperti itu harusnya aku yang mengatakannya.”
“Lama dan tidak akan mungkin terjadi,” jawabku. “Kawin malam ini yuk. Cari Pak Ustadz buat menikahkan kita. Abis itu bikin anak biar Mama dan Opa memberikan restu.”
“Aku memang akan mencari Ustadz tapi tidak untuk menikah siri.”
Aku membuka mata, menoleh ke samping kanan. “Terus buat apa?”
“Aku akan minta Pak Ustadz meruqyah mu. Biar jin-jin gila kawin yang bersarang di tubuhmu menghilang.”