“Apaan sih, Mas?! tiba-tiba datang langsung marah-marah gak jelas.”
“Kamu yakin tidak tahu kejadian di dalam restoran?”
“Ya, nggak lah. Lagian aku baru sampai dan belum turun dari mobil,” elak ku ketika Mas Aiman terus mencerca ku dengan puluhan pertanyaan. “Memangnya ada kejadian apa di dalam? Sampai Mas marah dan menyalahkan ku. Harus banget menuduhku saat wanita kesayanganmu mendapatkan masalah.”
“Kenapa kamu ke sini?”
“Mau makan siang lah,” jawabku ketus, tak mau kalah dengan nada suara Mas Aiman yang terus meninggi. Gak sekalian saja dia ambil toa masjid. “Tuhhhhh, yang aku tungguin baru sampai,” tunjuk ku ke arah Mas Afif.
Siva menghela nafas lega, ketika aku memiliki alasan untuk menepis segala tuduhan dari Mas Aiman. Wajahnya terlihat panik melihat aku terkena omelan pedas. Pasti dia mengira jika rencanaku akan ketahuan oleh Mas Aiman.
Mas Aiman tidak akan mendapatkan bukti jika aku yang telah mengadu domba Silvi dan temannya. Semua orang yang ada di restoran ini sudah menjadi temanku dan aku membayar mereka tidak sedikit.
“Maaf aku telat, ada beberapa pasien yang baru datang dan aku harus segera memeriksanya,” ujar Mas Afif.
Aku tersenyum. “Gapapa, aku juga baru sampai kok.”
Siva pamit, beralasan sudah ada janji dengan Cintami. Percuma aku menahannya karena dia tidak akan mau, lagian tugasnya juga telah berakhir. Aku memintanya membawa mobilku agar dia tidak perlu naik ojol.
“Masih mau ngomel lagi apa tidak? Jika tidak, aku akan masuk sekarang juga,” tanyaku pada Mas Aiman.
Bukannya menjawab dia malah pergi meninggalkanku begitu saja, Dasar aneh!
Mas Aiman kembali masuk ke dalam restoran, ditangannya ada ponsel yang aku ikat pada pohon palem. Untung saja aku membeli ponsel baru kemarin, jadi dia tidak akan tahu ponsel itu milik siapa.”
“Kamu janjian sama Aiman?” tanya Mas Afif.
“Enggak, kebetulan saja ketemu.”
“Sepertinya dia marah denganmu.”
“Iya, ngomel-ngomel nggak jelas. Bikin kesel saja,” jawabku, mengajak Mas Afif segera masuk.
Siva Cute
“Untung saja kita telah melepas seragam restoran ketika sampai mobil. Juga melepas tompel yang ada di pipi.”
Aku membaca pesan dari sahabatku. Seperti yang Siva katakan, kami sangat beruntung hari ini. Terlambat sedetik pasti akan ketahuan oleh Mas Aiman.
Untuk meyakinkan Mas Aiman, aku sengaja memilih restoran ini untuk makan siang dengan Mas Afif.
“Ruang VIP?” Tanya Mas Afif.
“Iya, biar gak ada yang ganggu. Di luar sangat ramai dan aku tidak terlalu suka makan di keramaian,” ujarku, yang barusan aku katakan tidak benar ya. Seorang Amanda, gadis extrovert mana pernah mau tinggal di lingkungan sepi. Jadi, tempat ramai lah yang aku cari.
Ketika aku melewati ruangan tempat makan siang Mas Aiman dan teman-temannya, tak sengaja melihat keadaan Silvi yang sangat mengenaskan. Rambut panjangnya yang tadinya diikat telah terurai dan berantakan. Makanan berserakan di lantai dan kursi-kursi juga terbalik.
Mengerikan sekali wanita itu!
“Apa ada gempa?” tanya Mas Afif, ternyata dia juga tengah melihat ke arah ruangan yang pintunya terbuka lebar.
“Bukan hanya gempa tapi angin topan juga,” jawabku. “Rambutnya saja kayak sarang burung.”
“Manda ...”
“Hehe, bercanda, Mas. Masuk yuk,” ajak ku, setelah puas melihat kondisi wanita kesayangan Mas Aiman.
Makanan yang telah aku pesan sudah tersedia di meja. Karena perutku sudah sangat lapar jadi aku langsung memakannya.
Mas Afif pun sama, dia berkata kelaparan karena tidak sempat sarapan.
“Jangan dibiasakan telat makan, Mas! Sesibuk apapun itu harus makan, lagian para pasien mu bakalan ngerti kok kalau Dokternya juga manusia biasa.”
Eh, aku baru sadar soal Mas Afif berkata ‘Pasien’ bukannya dia praktek di Semarang?
Oh, tidak! Semoga yang ada di pikiranku tidak terjadi sungguhan.
“Manda, kamu ini lucu. Sejak dulu tidak berubah sama sekali.”
“Mas ...”
“Iya, semua yang kamu pikirkan benar,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku menepuk jidat, menghela nafas, lalu menyeruput jus jeruk di depanku. “Sejak kapan pindahnya?”
“Sebenarnya tawarannya sudah lama, namun baru aku iyakan minggu lalu.”
Aku mengangguk-angguk karena tidak bisa berkata-kata lagi. Ku kira Mas Afif datang ke Jogja hanya untuk bertemu denganku hari ini. Ternyata dia telah pindah kerja dan pastinya tempat tinggalnya juga.
Kali ini Mama benar-benar membuatku tidak berkutik. “Mas pasti tahu ‘kan aku kayak gimana?”
“Iya, tahu,” jawabnya santai, sepertinya Mas Afif tidak akan mudah menyerah.
Aku melanjutkan makan siang lebih dulu sebelum membicarakan perjodohan. Mas Afif terlalu baik dan lembut jadi aku akan menolaknya sebaik mungkin agar dia tidak sakit hati.
Krek ... suara pintu terbuka, saat aku melihatnya ternyata Mas Aiman masuk dengan memakai seragam pelayan cafe.
Sebelah alisku terangkat ke atas ketika dia datang membawa meja berisi banyak makanan.
“Selamat siang, maaf saya mengganggu kenyamanan Mbak dan Mas nya,” ujarnya dengan senyum lebar. “Kebetulan hari ini adalah ulang tahun owner restoran jadi semua pelanggan VIP mendapatkan free makan siang.”
“Terima kasih,” Jawab Mas Afif.
“Bisa di bungkus saja apa tidak? Saya sudah terlanjur pesan banyak makanan.” Ngadi-ngadi juga Mas Aiman. Mau balas dendam ternyata!
Mas Afif dengan baiknya menyingkirkan mangkuk beserta piring yang telah kosong agar makanan yang baru dibawa Mas Aiman bisa ditaruh di meja.
Baik banget sumpah! Aku tidak menyangka ada pria pintar, kaya dan berhati lembut mau dijodohkan dengan perempuan serampangan sepertiku.
Kebohongan apa yang telah diceritakan Mama dan Opa pada Mas Afif dan keluarganya?
“Saya sudah kenyang, tidak akan kuat menghabiskan makanan sebanyak ini.” aku menunjuk semua menu utama yang telah ada di meja. Dasar pilot gila! Bisa-bisanya memberiku steak, gulai kepala ikan, dori gandum, ayam panggang bumbu petis dan masih ada beberapa menu yang aku tidak tahu namanya.
“Makanan tidak boleh di buang. Banyak orang di luaran sana setiap hari hanya makan sekali, itupun dengan nasi tanpa lauk.”
Idih, pelayan berani sekali memberikan ceramah pada pelanggan. Lancang banget! Kalau bukan Mas Aiman mana ada yang begitu?
“Ngapain sih pakai acara nyamar segala? Gangguin orang lagi makan siang,” omel ku.
“Mohon maaf, Mbak bicara apa ya?”
“Halah, pura-pura gak ngerti. Mas Aiman ngapain sih?! Pergi sana!”
Mas Afif menggenggam tanganku, meminta aku agar tidak berdebat lagi dengan pria menyebalkan di depanku.
Setelah itu, mengucapkan terima kasih pada Mas Aiman dengan suara lembutnya.
“Aku sudah kenyang ...” rengek ku, memasang wajah seimut mungkin agar tidak dipaksa Mas Afif menghabiskan makanan.
“Gapapa, nanti kasih ke tukang parkir didepan.”
“Terima kasih, Mas Afif ...”
Prang ... nampan di tangan Mas Aiman jatuh ke lantai. Sengaja, aku yakin dia melakukan itu karena sikap manjaku pada Mas Afif.
Salah sendiri menolak saat aku meminta bantuannya. Giliran aku makan siang berdua dengan pria yang dijodohkan denganku gak terima dan datang merusuh.
“Mendingan Mas pergi sekarang juga, jangan menganggu!” usir ku dengan meninggikan suara.
Mas Aiman menatapku tajam dan berkacak pinggang “Kamu berani mengusir ku?!”
“Manda gak sopan ngomong begitu sama orang yang lebih tua,” tegur Mas Afif.
Aku mendengkus kesal, lalu melirik Mas Aiman tak kalah tajam. “Kemarin aku tembak nolak, sekarang aku dekat dengan Pria yang jauh lebih ganteng marah. Dasar ABG tua labil!”