Bab 8 : Maaf Sayang, Harapanmu Tidak Akan Menjadi Kenyataan 4

1439 Kata
# (Dua hari lagi sebelum ulang tahun pernikahan Damian dan Ariana) Ariana membuka matanya perlahan, seluruh tubuhnya terasa sakit dan tidak nyaman. Ia merasakan tangan Damian yang melingkar diperutnya yang telanjang. Ia bahkan bisa merasakan napas pria itu di tengkuknya. Sisa-sisa pengaruh minuman membuat kepalanya sedikit sakit tapi untunglah semalam ia masih mampu mengendalikan kesadarannya selama di restoran hingga tidak sampai mempermalukan dirinya sendiri. Untungnya juga Damian tidak memaksanya untuk meminum lebih dari segelas anggur. Segelas saja sudah membuatnya susah payah mempertahankan kesadarannya, apalagi jika ia mengkonsumsi lebih dari itu? Ariana memang tidak kuat dengan minuman yang mengandung alkohol. Ia sangat mudah mabuk, oleh karena itu ia selalu menghindari minuman keras sebisa mungkin dan menggantinya dengan coke atau minuman lain yang serupa. Ia yakin Damian sengaja memaksanya semalam, hanya saja ia tidak paham apa niat Damian. Padahal Damian tahu dirinya sangat anti dengan minuman beralkohol namun pria itu tetap memaksa untuk memesan anggur. Ariana bergerak perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Damian atau akan ada ronde berikutnya setelah pria itu terbangun. Ia sudah sangat paham dengan kebiasaan Damian, hanya saja ia tidak mau mengambil resiko untuk saat ini. Dia hampir memasuki masa suburnya dan dia tidak membawa pilnya. Akan sangat berbahaya jika ia sampai terlambat mengkonsumsi pil itu sesuai waktu yang disarankan. Ia tidak ingin melahirkan seorang anak yang akan mengulangi apa yang sudah ia jalani di masa lalu, terlebih dari seorang pria seperti Damian. Ia tidak hanya membenci Damian. Ia membenci seluruh keluarga Atmachandra sama besarnya dengan kebencian yang ia rasakan kepada ayahnya dan keluarga Pradipta. “Kau tidak berpikir untuk meninggalkanku sendirian di hotel ini di jam tiga pagi bukan?” ucap Damian tiba-tiba, ia mempererat pelukannya pada Ariana, membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak lepas darinya. “Lepaskan aku,” pinta Ariana. “Kenapa aku harus melepaskanmu disaat aku belum benar-benar puas denganmu,” ucap Damian. “Aku harus pulang, aku tidak membawa pilku,” ucap Ariana sungguh-sungguh. Ia masih berusaha melepaskan tangan Damian dari perutnya. Damian membalik tubuh Ariana dan menindihnya. “Memangnya kau harus mengkonsumsi pil itu setiap saat? Apa kau tidak percaya padaku?” tanya Damian. Ariana menatap mata Damian dingin. “Tidak setiap saat, hanya ketika kita melakukannya seperti sekarang. Kau tahu itu bukan? Aku tidak ingin harus melakukan aborsi kedepannya hanya karena mengandung seorang anak yang tidak di inginkan oleh kita berdua,” ucap Ariana. Seulas senyum sinis terukir di bibir Damian. “Siapa yang berani menyuruhmu aborsi kalau kau sampai mengandung anakku? Aku tidak akan pernah melakukan hal itu pada darah dagingku. Kau juga tidak perlu melakukannya jika tidak mau,” ucap Damian. Ariana masih memandang Damian datar namun iris matanya yang berwarna cokelat tampak bergetar ketika ia menyadari sesuatu yang kini tengah mencoba memasuki dirinya kembali. Ia mendorong Damian sekuat tenaga. “Lepaskan aku! Kau berjanji tidak akan pernah memaksaku kalau aku tidak mau!” protes Ariana kesal. Ia mencoba berontak tapi sangat sulit melepaskan diri dari Damian yang kini mendominasi dirinya. Damian mendorong bagian tubuhnya kembali berada di dalam inti istrinya. Ia bisa merasakan Ariana yang menegang dibawahnya. “Aku tidak memaksamu, tubuhmu menerimaku dengan sukarela, kenapa kau harus berontak?” bisik Damian. Perlahan ia kembali meraup bibir merah Ariana yang sudah terlihat sedikit membengkak karena ulahnya. “Arrgghhh….” Damian tiba-tiba berteriak tertahan dan ia terjungkal dari tubuh istrinya. Ariana bangkit berdiri dengan selimut melilit tubuh telanjangnya. Ia menatap Damian dengan tatapan terluka. Matanya berkaca-kaca saat ini. Tanpa bicara apa-apa ia meraih gaun malamnya dan masuk ke dalam kamar mandi. Damian hanya bisa menatap istrinya dengan wajah kesal. Bibirnya benar-benar terluka karena gigitan Ariana dan darah tidak berhenti mengucur dari bibirnya. Ia harus menuangkan segelas air dingin ke bibirnya untuk menghentikan pendarahan. Tidak beberapa lama, pintu kamar mandi terbuka dan Ariana keluar dengan sudah berpakaian lengkap. Rambutnya kini diikat pony tail dan tidak lagi disampirkan kesamping. “Mau kemana kau?!” bentak Damian kasar. Ariana sedikit kaget mendengar nada suara Damian yang cukup tinggi. Selama mereka menikah, Damian tidak pernah membentaknya seperti itu. “Pulang,” ucap Ariana tanpa sedikitpun berbalik kearah Damian. Ia tidak ingin menatap wajah pria itu. “Hanya demi pil sialan itu kau menolakku dan bahkan menggigitku seperti ini? Kau ini manusia atau hewan?” tanya Damian. Ia menarik lengan Ariana hingga wanita itu kini menghadapnya. Ariana bisa melihat bibir Damian yang bengkak seperti di gigit tawon karena ulahnya, membuatnya merasa kalau ia mungkin sudah berbuat keterlaluan pada pria itu. Ia menarik napas pelan. “Aku akan pulang sendiri dengan taxi atau kau….akan pulang bersamaku?” tanya Ariana akhirnya. Lagi-lagi ia harus mengalah. Jika ia keluar sendiri di jam seperti ini, para reporter yang entah bersembunyi dimana akan menerbitkan berita kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan pernikahannya dan itu bisa saja membuat dirinya dan Damian harus mempertahankan pernikahan ini lebih lama lagi. “Tunggulah, kita datang bersama, kita pulang bersama,” ucap Damian. Ia meraih pakaiannya dan tanpa sungkan mengenakan pakaiannya lagi di depan Ariana. Ariana berdiri diam menunggu Damian selesai berpakaian, pria itu hanya mengancingkan kemejanya asal dan hanya memegang jasnya. “Ayo,” ucap Damian. Ariana masih berdiri dalam diam dan memperhatikan Damain dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa? Kau tiba-tiba berubah pikiran dan ingin kembali ke tempat tidur?” tanya Damian. Ariana maju mendekati Damian. “Tidak sama sekali,” ucap Ariana datar. Sikapnya menunjukkan seakan tidak ada apapun yang terjadi diantara mereka berdua beberapa saat tadi. Perlahan tangannya terulur untuk memperbaiki cara Damian mengancingkan kemejanya kemudian dengan sedikit berjinjit ia menata rambut Damian yang acak-acakkan dengan tangannya. Ariana juga mengambil jas Damian dan membantu Damian memakainya lagi. “Sudah,” ucap Ariana akhirnya. “Kau membuatku bingung. Sesaat tadi kau seperti mau memakanku dan melukai bibirku sampai seperti ini dan sekarang kau membantuku untuk terlihat lebih baik. Katakan kepadaku, apa kau berkepribadian ganda Ariana?” ejek Damian. “Ayo.” Ariana tidak menanggapi ucapan Damian dan melangkah lebih dulu meninggalkan Damian untuk keluar dari kamar mereka. Damian menarik napas panjang dan meraih tangan Ariana. “Kalau memang ingin bersandiwara, maka lakukanlah dengan sempurna,” ucapnya sambil melingkarkan tangan Ariana ke lengannya. “Hn.” Ariana hanya bergumam. Damian menghampiri resepsionis dan membuat resepsionis itu menahan tawa sambil melirik kearah Ariana yang berdiri disamping Damian. Pria dan wanita yang menginap bersama kemudian sang pria keluar dengan bibir bengkak luar biasa seperti habis disengat tawon. Sepanas apa waktu yang sudah mereka habiskan di dalam kamar? Damian bisa menebak apa yang ada di pikiran resepsionis itu. “Dia sedikit ganas karena anggur dari restoran kalian. Kami menyukainya. ” ucap Damian sambil tersenyum mesra kearah Ariana yang membalasnya dengan senyuman kaku. Ia kesal dengan sikap Damian yang membuat orang-orang semakin salah paham sekaligus merasa bersalah karena sekarang Damian terlihat lucu dengan bibir bengkak seperti itu. Baik Ariana maupun Damian hanya berdiam diri sepanjang perjalan, ditambah Damian harus menyetir sendiri karena ia sudah menyuruh sopirnya untuk pulang lebih dulu. Ia sama sekali tidak menyangka kalau begitu terbangun Ariana akan segera bersikeras untuk pulang, bahkan sampai membuatnya seperti ini. Kalau tahu akan seperti ini, seharusnya tadi ia memaksa Ariana untuk minum lebih banyak anggur saat di restoran. Mereka tiba dirumah dan Ariana langsung bergegas menuju ke kamarnya tanpa memperdulikan Damian yang mengikutinya dari belakang. Ia tampak mencari pilnya dengan sedikit panik dan langsung meminumnya begitu ia menemukannya. “Sudah lega?” tanya Damian dari depan pintu kamar. Ariana berpaling dan menatap Damian untuk sesaat lamanya sebelum akhirnya ia kembali meraih sesuatu dari dalam laci meja riasnya. Ia mendekati Damian. “Maaf, aku membuatmu terluka sampai seperti ini,” ucap Ariana. Ia mengoleskan sesuatu di bibir Damian yang terluka. Disisi lain, Damian hanya diam menikmati sensasi dingin dan nyaman meresap kedalam luka dibibirnya. “Besok, bengkaknya akan turun dan lukanya akan mengering dengan cepat dalam beberapa hari,” ucap Ariana. “Kau tahu aku ada rapat dengan para manager kantor cabang kita jam delapan nanti dan menurutmu apa yang akan mereka pikirkan kalau melihatku dengan wajah seperti ini? Mereka akan menertawakanku dalam hatinya,” ucap Damian. Ia sengaja mendramatisir untuk membuat Ariana semakin merasa bersalah. Ariana mendesah lelah. “Aku tahu, makanya aku minta maaf. Sekarang….tidak apa-apa kalau kau ingin melanjutkan yang tadi,” ucap Ariana pelan. Mengapa kesannya sekarang ia yang mengajak Damian untuk tidur bersamanya lebih dulu? Damian menatap Ariana dengan senyum miring. “Kau sinting? Aku tiba-tiba kehilangan minat denganmu,” ucap Damian kemudian berlalu pergi meninggalkan Ariana yang hanya terdiam menatapnya. Di kamar Damian memeluk bantal gulingnya dengan erat. “Aku sudah gila? Kenapa aku masih ingin bersamanya setelah apa yang dilakukannya? Ah…kenapa aku menolak tawaran untuk tidur dikamarnya….ini sangat menyiksa.” Damian bergumam sendiri sambil memeluk gulingnya erat. Bersambung…..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN