#
Ariana baru keluar dari kamar mandi ketika ponselnya berbunyi karena ada pesan masuk.
Ia menatap sesaat isi pesan di ponselnya itu kemudian dengan cepat meraih pakaiannya dan memakainya. Ia bahkan tidak sempat mengeringkan rambutnya yang basah.
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Ariana dengan tergesa-gesa memacu mobilnya meninggalkan kediamannya dan Damian dalam diam.
Hanya petugas keamanan dan beberapa pelayan yang melihatnya tanpa berani mempertanyakan apa yang dilakukannya.
Tapi, itu menjadi masalah ketika Damian yang biasanya tidak sarapan dirumah, pagi ini malah muncul di meja makan dan menanyakan pada semua orang dimana Nyonya muda keluarga Atmachandra berada.
Tidak ada yang berani berbicara ataupun mengungkapkan kalau terkadang, ketika Tuan mereka tidak berada di rumah, Nyonya muda mereka memang sering tiba-tiba pergi pagi-pagi buta seperti sekarang.
Bukan karena mereka terlalu takut atau segan pada Ariana yang adalah istri dari Tuan mereka, akan tetapi lebih kepada rasa tidak enak setelah selama ini Ariana selalu memperlakukan mereka dengan baik bukan main, meski terkadang ia bisa bersikap sangat tegas kalau ada yang melakukan kesalahan fatal.
“Apa karena aku jarang berada di rumah, hingga kalian sekarang tidak menganggapku sebagai pemiliki rumah ini lagi?” tanya Damian dengan nada suara dingin dan tajam.
Ia membuat para pelayan berbaris dihadapannya sesuai tugas dan tanggung jawab mereka sementara ia menikmati sarapannya.
Para pelayan dan petugas keamanan kini saling melemparkan pandangan satu sama lain.
“Masih tidak ada yang menjawab? Apa aku perlu mengganti semua pelayan dan petugas di rumah ini agar kalian mengerti? Kalian pikir karena Nyonya menyukai kalian, aku tidak akan memecat kalian?” tanya Damian sekali lagi. Kali ini ia meneguk air minumnya sambil memperhatikan rekaman CCTV yang memperlihatkan gerak-gerik Ariana yang mencurigakan lewat tablet di tangannya.
Semua pelayan diam untuk sesaat lamanya, kemudian seorang pelayan yang sudah tampak berusia senja kini mengangkat tangannya.
“Tuan, kami sama sekali tidak tahu kemana Nyonya pergi. Beberapa dari kami memang melihat Nyonya keluar, tapi kami tidak punya hak menanyakan kemana Nyonya pergi atau kenapa Nyonya tidak membawa sopir. Mungkin ada urusan yang sangat penting hingga Nyonya harus pergi dengan terburu-buru, tolong maafkan kami Tuan,” ucap pelayan itu.
Damian menyipitkan matanya menatap para pelayan satu persatu. Ia juga tahu kalau mereka tidak tahu kemana Ariana pergi. Ia juga sadar kalau tidaklah sepantasnya ia menyalahkan mereka semua hanya karena ia kesal Ariana tidak melayaninya saat dirinya berada di rumah.
Bukankah wanita itu berjanji untuk menjadi wanita dan istri yang sempurna untuknya selama ini? Lalu kenapa ia pergi tanpa mengucapkan apa-apa? Siapa yang lebih penting bagi Ariana kini hingga ia berani-beraninya pergi dengan cara seperti itu disaat suaminya ada dirumah? Apakah urusannya yang entah apa itu lebih penting dibanding dirinya?
Ariana yang ia tahu selama hampir dua tahun pernikahan mereka kini bukanlah seorang yang akan berbuat ceroboh dengan cara sengaja memancing kekesalahan ataupun kemarahannya, ataukah karena besok adalah hari terakhir menjelang berakhirnya pernikahan mereka hingga wanita itu berani berbuat seperti ini?
Damian mengatupkan rahangnya menahan kesal. Setengah jam lagi, ia ada rapat dengan para manager cabang perusahaannya dari seluruh dunia, tapi pikirannya saat ini sama sekali tidak bisa ia fokuskan untuk rapat nanti.
Jika ia tidak melihat Ariana sekarang, ia sudah pasti akan mengosongkan seluruh pelayan rumah ini dan menendang mereka semua sekaligus ke jalanan. Siapa yang bisa menahannya, dialah penguasa di rumah ini. Dialah tuan sebenarnya di rumah ini.
Bahkan Calista, sekretaris pribadinya hanya mampu berdiri dalam diam, tidak berani ikut campur atau bersuara meski ia sudah sejak tadi gelisah melirik kearah jam tangannya dan jam dinding bergantian.
“Calista!”
Calista terkesiap, hampir saja jantungnya melompat keluar saat mendengar Damian memanggil namanya dengan suara menggelegar seperti itu. Dengan cepat ia melangkah mendekat kearah Damian.
“Ya Pak?” Tanya Calista gugup. Dalam hati ia merasa sangat sial, jika saja Farid tidak cuti sekarang, seharusny Farid-lah yang menjadi sekretaris pribadi Damian, dirinya hanya seorang sekretaris pengganti, tugasnya seharusnya hanya urusan kantor dan tidak mencakup urusan pribadi bosnya seperti ini. Ia benar-benar mengutuk Farid sekarang.
“Urus pesangon mereka semua. Hari ini juga, aku tidak ingin melihat wajah mereka di rumah ini!” titah Damian.
Calista menatap para pelayan dan petugas itu satu persatu, ada yang nampak shock bahkan hampir menangis saat mendengar Damian mengatakan hal itu.
Mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah di Jakarta dan mencari pekerjaan dengan gaji sebesar bekerja di rumah Atmachandra serta fasilitas asuransi kerja layaknya pekerja kantoran hampir mustahil untuk bisa ditemukan di tempat lain.
Calista menelan ludah ngeri.
“Tapi Pak….apa….semuanya mau Bapak pecat?” Calista mulai menghitung jumlah mereka dalam hatinya. Tiga puluh lima orang, astaga….
“Kenapa? Apa kau juga ingin menjadi bagian dari mereka?” tanya Damian.
“Tidak Pak,akan segera saya proses,” jawab Calista cepat. Ia memang merasa kasihan dengan nasib para pelayan dan petugas keamanan itu, tapi untuk sekarang, menyelamatkan dirinya sendiri lebih penting. Jangan sampai kesialan orang lain berpindah pada dirinya.
Tapi baru saja ia akan beranjak pergi untuk melakukan yang diperintahkan Damian, pintu ruang makan mendadak terbuka dan disana Nyonya muda mereka yang menjadi sumber permasalahan hari ini kini melangkah masuk.
“Apa kau harus mengorbankan mereka semua hanya karena kesal kepadaku?”
Ariana berdiri menatap Damian. Ia tidak tampil seperti biasanya, rambutnya yang cokelat panjang dibiarkan terurai tanpa ditata, tidak ada make up di wajah cantiknya, dan yang paling menonjol adalah sepatu kets, kaos polos putih dan jeans skinny biru muda yang ia kenakan saat ini.
Demi apapun, Calista hampir mengira ada mahasiswa tersesat kerumah ini untuk beberapa saat tadi.
Selama ini, Calista hanya melihat Nyonya muda dengan penampilan anggun, elegan dan selalu dibalut pakaian mahal atau bermerk.
Baiklah, setelah diteliti lagi, nyatanya pakaian yang dikenakan sang Nyonya muda sekarangpun tidak bisa dikatakan tidak bermerk, akan tetapi ia tidak pernah menyangka kalau sekelas Nyonya muda Atmachandra akan pernah berjalan-jalan dengan menggunakan jeans, kaos dan sepatu kets, tanpa make up pula dan masih terlihat menawan. Dia sendiri tidak akan pernah bisa keluar rumah dengan wajah polos tanpa make up, bisa-bisa dikira jelmaan kunti saking pucatnya. Kulitnya terlalu sering ditutupi bedak, jadinya tanpa bedak yang tebal terlihat jadi pucat meski ia sehat-sehat saja.
“Memangnya kenapa? Aku yang membayar mereka,” ucap Damian dingin.
Ariana menatap para pelayan dan petugas keamanan rumahnya satu persatu dan mengangguk pelan kepada mereka, mengirimkan isyarat kalau ia akan menjamin mereka untuk tetap berada di rumah ini.
“Jangan lakukan, kau tidak tahu betapa susahnya mereka mempertahankan pekerjaan ini. Lagipula sebagian besar dari mereka sudah berada di rumah ini bahkan saat kita belum menikah. Apa kau setega itu?” ucap Ariana lembut.
Brak….
“Sekarang kau mulai mengaturku?!” ucap Damian marah. Rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun. Saat ia menggebrak meja, para pelayan mundur selangkah bersama-sama karena takut.
Bahkan Calista kini mundur lima langkah hingga ke dekat pintu menuju keluar dari ruang makan. Sekedar jaga-jaga supaya ia bisa lebih cepat keluar dari sini sekiranya tempat ini akan berubah menjadi arena pertumpahan darah dalam sekejap. Suami istri itu bisa saja bertengkar bukan?
Ariana melangkah mendekat dan menuangkan air putih untuk Damian.
“Kau bukan pembantu,” ucap Damian.
“Ini permintaan maafku,” balas Ariana lembut, wajahnya terlihat tenang seperti biasa.
Damian meraih air minum yang dituang Ariana dan menghabiskannya dalam sekali teguk.
“Kau ingin menolong mereka, memangnya kau berpikir bisa menolong dirimu sendiri sekarang? Kau melakukan kesalahan yang cukup fatal, keluar dengan penampilan seperti itu pagi-pagi buta dan entah kemana. Kau ingin membuat gosip?” ujar Damian. Ia melirik kembali gelas kosong yang tadinya berisi air putih, apa istrinya menambahkan sesuatu ke dalam gelasnya? Kenapa ia tiba-tiba merasa tenang setelah minum segelas air putih? Kemana perasaan ingin meledak luar biasa yang tadi sempat ia rasakan?
Ariana menarik napas panjang.
“Kalau kau memang ingin tahu aku kemana dan apa yang kulakukan, akan kujelaskan nanti,” ucap Ariana.
“Hanya itu dan kau berpikir kemarahanku bisa reda?” tanya Damian. Matanya memicing menatap Ariana dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Apapun yang kau inginkan,” ucap Ariana, masih dengan sikapnya yang terlampau tenang dan percaya diri dimata Damian.
“Duduk dan temani aku sarapan. Aku hanya punya waktu beberapa menit lagi,” ucap Damian. Ia sekarang kesal pada dirinya sendiri yang tiba-tiba jinak.
Ariana berbalik kearah para pelayan.
“Keluarlah dan kerjakan kembali pekerjaan kalian seperti biasa,” perintah Ariana.
Para pelayan dan petugas keamanan berbaris teratur keluar dari ruang makan yang sebenarnya terlampau besar untuk hanya digunakan oleh dua orang.
Calista menjadi yang terakhir keluar dari ruang makan itu dan menutup pintunya.
“Aduhhh selamat,” ucap Calista sambil menarik napas panjang.
Bersambung……