Papi Monica menatap tajam Kiki ia tidak mempercayai pendengarannya barusan. Bisa-bisanya Monica berteman dengan gadis yang tidak punya sopan santun seperti ini. Keputusannya untuk menjadikan Kris sebagai pengawal Monica, sepertinya merupakan keputusan yang tepat.
“Kenapa Monica sampai tidur di parkiran kafe? Apa yang terjadi dengannya?” tanya Putra galak.
Kiki yang telah terbiasa dengan pertengkaran di rumah dan juga kemarahan dari ayahnya, sehingga ia tidak merasa takut sedikitpun dengan kemarahan Papi Monica.
“Bukannya tadi sudah saya katakan, Om! Kalau anak Om itu mabuk dan beruntung sekali saya sama Kak Kris datang tepat waktu. Kami curiga, dengan mobil yang bergoyang-goyang dan kami berhasil mencegah terjadinya adegan 21 plus tepat pada waktunya,” dusta Kiki.
Papi Monica menjadi merah padam ada rasa marah dan kecewa mendengar apa yang dikatakan oleh teman Monica ini. “Om akan bertanya kepada Monica dan kalau kamu berbohong, Om tidak akan mengijinkan kamu datang ke sini lagi juga Om larang Monica berteman denganmu!”
Kiki yang selama ini memang hanya berpura-pura saja menyukai Monica, karena ia merasa iri dengan kepopulerannya di sekolah. Tidak ambil pusing, dengan apa yang dikatakan oleh Ayah Monica.
“Terserah, Om saja! Tidak berteman dengan Monica juga tidak mengapa. Dia hanya memberikan pengaruh buruk saja buat saya. Coba, Om pikir! Yang mabuk dan tidak mabuk itu siapa? Saya atau anak om?” tanya Kiki.
Papi Monica mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Napasnya memburu, karena emosi dan ia menahan sekuat tenaganya agar tidak membentak gadis muda yang berdiri di depannya ini dan seolah menantang ia, dengan sikap beraninya itu.
“Silakan kamu keluar dari rumah saya! Dan jangan kembai lagi kemari!” kata Papi Monica, dengan menggeram menahan kemarahan.
Dengan wajah tanpa rasa bersalah dan takut, Kiki pun berjalan keluar dari hadapan Papi Monica dan ketika ia menuruni tangga berpapasan, dengan Kris.
Tatapan mata Kris tajam menusuk Kiki. “Kamu ini masih kecil sudah macam itu, dengan temanmu sendiri! Kau pikir aku tidak mendengar apa yang tadi kau katakan kepada Papi Monica! Bukankah teman itu seharusnya melindungi teman, agar ia tidak kena masalah dan menjauhkannya dari masalah? Namun, apa yang kau katakan tadi bertolak belakang sekali!”
Kiki menghentikan langkahnya dan ia balas menatap Kris tajam. “Ih, Kakak kok begitu sih denganku. Aku ini hanya kesal saja dengan Monica itu, yang sok cantik dan selalu saja sok cari perhatian dari teman-teman cowok. Dia itu sok populer!"
“Ya ampun! Kau ini masih kecil, kurasa memang tepat keputusan Papi Monica tidak mengijinkan kau berteman dengan Monica lagi,” kata Kris.
“Ih, aku tuh suka sama kakak! Masa Kakak gitu sama aku? Pokoknya, Kakak itu harus mau sama aku dan ingat Kakak punya utang janji sama aku dan, kalau Kakak tidak mau kubilang cowok pembohong, yang ingkar janji. Kakak harus menepatinya!” tegas Kiki.
Kris hanya diam saja dan berlalu pergi dari hadapan Kiki. Ia dapat mendengar suara keras dari Pamannya, yang tengah memarahi Monica. Kris diam sebentar di depan pintu, antara masuk atau tidak.
Pada akhirnya, Kris memberanikan diri untuk masuk dan menyela kemarahan pamannya.
“Tunggu, Paman! Monica memang bersalah karena mabuk. Akan tetapi ia tidak melakukan, seperti apa yang dikatakan oleh temannya tadi,” bela Kris. Sebenarnya ia merasa enggan untuk membela Monica, hanya saja ia tidak mungkin diam saja, kalau ada hal yang tidak benar.
Putra, Papi Monica melihat Kris dengan pandangan menyelidik. “Om percaya dengan apa yang kamu katakan dan Om minta kamu terus menjaga Monica. Jangan biarkan ia mabuk lagi, apalagi sampai melakukan hal yang kelewat batas. Om persilakan kepada kamu, untuk memarahi Monica!”
Usai mengatakan hal itu, Putra pun keluar dari kamar Monica, sehingga hanya ada Kris dan Monica saja.
Seulas senyum mengejek terbit di bibir Monica. “Dengar, ya! Jangan sok menjadi pahlawan kesiangan! Kau pikir aku berterima kasih dan merasa senang, dengan apa yang kamu katakan tadi? Aku muak! Kau memang pintar mencari muka, dasar orang kampung!”
Badan Kris bergetar menahan kemarahan, dengan kedua kepalan tangannya di sisi tubuh. Ia harus menghitung sampai 10, agar supaya reda kemarahannya. “Aku memang dari kampung dan aku tidak malu! Aku juga tidak sudi menjadi pahlawan bagi gadis manja dan hanya bisa membuat ulah, seperti dirimu!”
Kris lalu berbalik hendak meninggalkan kamar Monica. Namun, secara mendadak kemejanya ditarik dengan kasar, sehingga terdengar bunyi kain robek.
“I hate you!” bentak Monica.
Kris hanya melihat Monica dengan dingin dan kemudian, ia pun meninggalkan kamar Monica begitu saja.
Monica mengambil bantal yang ada di dekatnya dan dilemparnya dengan keras ke punggung Kris. Namun, pria itu bukannya marah. Ia hanya menoleh saja, kemudian kembali meneruskan langkahnya.
Rasa jengkel semakin membuncah di d**a Monica. Kebencian kepada Kris pun bukannya surut, tetapi justru bertambah. ‘b******k, sekali si Kris ini! Dia pintar sekali mencari muka,’ batin Monica.
Suasana di meja makan terasa tegang dan Mami Monica pun menjadi heran, karenanya. “Ada apa ini? Mengapa dari tadi hanya diam saja, seperti sedang ada perang dingin saja.”
Putra menghentikan gerekan tangannya, yang hendak memasukkan makannan ke mulut. Ia melihat ke arah Istrinya dan kemudian Monica. “Putrimu kembali berulah dan membuat kesal. Bingung aku dengannya, entah apakah ia nanti lulus SMU atau tidak.”
Mami Monica menatap tajam putri tunggalnya itu. “Kenapa lagi kau ini! Tak bisakah kau sehari saja tak berulah, yang membuat kami menjadi sakit kepala!”
“Aku sudah mengambil keputusan, kalau Monica tidak lulus sekolah, aku akan menikahkan Monica dengan Kris! Dan ini tidak dapat diganggu gugat!” tegas Putra.
Sontak saja Monica dan Kris menjadi terkejut, Keduanya kompak berseru. “Tidak!”
Kris melihat tidak suka kepada Monica, dalam hatinya ia bertekad tidak akan membiarkan dirinya menikah dengan gadis Tukang buat masalah seperti Monica.
“Maaf, bukannya bermaksud kasar. Hanya saja aku belum memikirkan untuk menikah. Diriku datang ke kota ini untuk kuliah dan bekerja, bukan untuk menikah,” sahut Kris.
“Papi, jahat! Mana mau aku menikah dengan pria dari kampung ini!” Dengan kasar Monica menggeser kursinya dan berdiri dari duduk, lalu keluar dari ruang makan dan pergi begitu saja. Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Papinya.
“Kris, tolong kau ikuti Monica! Jangan kau biarkan ia berulah. Paman ijinkan kau menjewer telinganya, kalau ia mengabaikanmu!”
“Hah! Kenapa harus saya, Om? Apa Om tidak mendengar, kalau Monica itu membenciku,” sahut Kris tidak suka, dengan perintah dari Putra.
Papi Monica berkata dengan nada suara dingin, “Kamu jangan ambil hati apa yang dikatakan Monica. Dia itu masih labil dan belum mempunyai pendirian yang teguh. Cepat sana, kau susul Monica!”
Dengan berat hati Kris berdiri dari duduknya dan berjalan cepat menyusul Monica, yang ia lihat baru saja masuk ke dalam mobil.
Tangan Kris terulur membuka pintu mobil, sebelum Monica sempat mngunci pintunya secara otomatis. “Pergi kau! Jangan perlihatkan wajah jelekmu di hadapanku!” usir Monica.
Dirinya lalu menendang Kris dengan menggunakan kedua kakinya, untuk mengeluarkan Kris dari dalam mobil. Ia tidak peduli, kalau Kris akan menjadi marah dan sakit karena ulahnya.