Love Is Sinta Bab 6 - Begah lihat kamu!

1474 Kata
Sinta melihat suaminya yang sedang sholat subuh. Dia sedikit tercenung melihat Agus yang sedang menjalankan kewajibannya. “Dia rajin sekali sholatnya, tapi dia tetap seorang yang licik di mataku. Aku tidak percaya kalau Agus tidak menyogok eyang, agar eyang menikahkan aku dengan dirinya, karena selama ini eyang memang mencarikan laki-laki untuk dinikahkan dengan ku,” guma Sinta dengan melihat Agus yang sedang sholat. Sinta pura-pura tertidur lagi setelah Agus sudah selesai Sholat. Agus duduk di dekat Sinta. Agus hendak mengusap kepala Sinta, tapi dia mengurungkannya, karena dia sudah berjanji pada Sinta, kalau dia tidak akan menyentuh Sinta. “Kamu cantik, Sin. Tapi, kamu tidak pernah terbuka mata hatinya untuk percaya pada eyang, kalau Rangga itu laik-laki tidak baik. Dan, aku terpaksa melakukan ini karena eyang memaksaku, juga karena aku sudah terlanjur mencintaimu saat pertama kita bertemu di saat kamu ter.....” ucapan Agus terpotong karena mendengar ponselnya berdering. Sinta melirik suaminya yang sedang mengangkat panggilan yang sepertinya dari ibunya. Sinta memikirkan ucapan Agus tadi. “Agus sudah terlanjur mencintaiku? Dan dia bilang, dia saat pertama bertemu? Memang di mana aku bertemu dengan dirinya, dan di saat apa? Kalau tadi tidak ada telfon masuk, aku pasti tahu. Tapi, pertama aku bertemu Agus ya di kantor eyang. Masa dia langsung jatuh cinta? Aneh sekali,” gumam Sinta. Sinta duduk di tepi ranjang melihat Agus yang sedang menerima telfonnya. Agus menerima telfon dari ibunya di desa yang menanyakan bagaimana pernikahannya. Ibunya sama sekali tidak tahu seperti apa istri Agus. Tapi, tidak masalah bagi ibunya Agus, asal Agus sudah menikah, ibunya Agus sudah sangat bahagia sekali. “Bu, istriku belum bangun, mungkin dia kelelahan semalam,” ucap Agus dengan duduk di samping Sinta. “Wah.... cepat buatkan ibu cucu, Nak. Salam buat istrimu, sudah ibu  mau ke pasar dulu,” ucap Ibunya Agus. “Iya, Bu. Ibu sehat-sehat, ya?” ucap Agus. “Iya, Nak. Kamu juga sehat-sehat di sana. Ibu selalu merindukanmu dan mendoakanmu,” ucap Ibunya Agus dan mengakhiri panggilannya. Agus meletakan kembali ponselnya dan melihat Sinta yang wajahnya masih terlihat di tekuk. “Apa maksudnya bilang seperti itu pada ibu mu?!” tanya Sinta dengan ketus. “Enggak ada maksud. Daripada aku memberitahukan yang sebenarnya, enggak baik, kan? Lagian, aku sudah menuruti apa mau kamu, Sin. Kamu tidak mau memberitahukan namamu pada ibuku, kamu juga tidak mau bicara dengan ibu lewat telfon, dan tidak mau video call. Begitu yang kamu mau, kan?” jelas Agus. “Hmmm... bagus kalau kamu paham!” tukas Sinta sambil menuju ke kamar mandi. Agus melihat istrinya yang masuk ke dalam kamar mandi, dia hanya diam saja, karena tidak mau berdebat panjang dengan istrinya di pagi ini. Sinta keluar dari kamar mandi, dan langsung mengambil outer rajutnya untuk menutup baju tanpa lengannya yang ia pakai waktu tidur tadi. “Begah lihat kamu, Gus!” ucap Sinta dengan menghunuskan tatapan tajam pada Agus. “Kamu bisa bicara seperti itu sekarang, Sin. Tapi, aku yakin kamu akan merindukan aku, saat nanti aku akan pergi, dan membiarkan kamu bersama Rangga,” ucap Agus. “Apa kamu bilang? Seorang Sinta merindukan kamu? Tidak mungkin, Agus! Dan, tidak akan pernah! Camkan itu!” ucap Sinta dengan kasar di depan wajah Agus. “Oke, aku akan lihat nanti, Sinta!” ucap Agus menantang ucapan Sinta. “Terserah!” Sinta pergi meninggalkan Rangga keluar dari kamarnya. Sinta duduk di taman samping rumahnya untuk mencari udara segar di pagi hari. Agus masih duduk di tepi ranjangnya, memikirkan bagaimana caranya menasihati Sinta yang arogan seperti itu. Walau bagaimana pun, itu adalah tugas seorang suami untuk menuntun istrinya ke jalan yang benar. Agus keluar dari kamarnya, dia menemui Eyang Hadi yang sedang duduk di kursi kebesarannya di dalam rumah. Kursi untuk bersantai sambil menikmati secangkir teh dan membaca surat kabar di samping ruang tamu, yang beliau buat untuk bersantai. “Pagi, Eyang,” sapa Agus. “Pagi, Gus. Itu kenapa Sinta? Bangun-bangun langsung ngambek dan duduk di sana,” ucap Eyang dengan menunjukan Sinta yang sedang duduk di kursi taman. “Eyang kan tahu, pernikahan ini Sinta tidak menginginkannya,” ucap Agus dengan duduk di samping Eyang Hadi. “Ya, benar kata kamu, Gus. Kamu harus sabar menghadapi sifat Sinta yang arogan, apalagi dunia kerja dia seperti itu, kamu tahu sendiri seorang model sekelas Sinta seperti apa,” jelas Eyang Hadi. “Iya, Agus tahu, Eyang. Eyang tenang saja, jangan berpikiran yang macam-macam, Insya Allah, Agus akan menuntun Sinta sedikit demi sedikit, agar bisa lepas dari Rangga, dan tentunya tidak arogan lagi,” ucap Agus. “Eyang percaya denganmu, Gus. Kalau eyang tidak percaya, untuk apa eyang menikahkan kamu dengan Sinta. Eyang menikahkan kamu dengan Sinta, karena kamu satu-satunya laki-laki yang pantas untuk mendampingi Sinta,” jelas Eyang Hadi. “Oh, iya, Gus. Ayo ikut eyang ke ruang kerja eyang. Eyang akan bicara sesuatu dengan kamu,” ajak Eyang Hadi. Agus berjalan mengekori Eyang Hadi menunju ke ruang kerjanya yang berada di sebelah ruang keluarga. Entah apa yang akan Eyang Hadi bicarakan pada Agus, dan sepertinya itu sangat penting sekali. “Duduk, Gus.” Eyang Hadi mempersilakan Agus duduk di depannya. Eyang Hadi mencari berkas yang akan beliau tunjukan pada Agus. Sebenarnya, sudah lama Eyang Hadi ingin membicarakan semua ini, sebelum Agus menjadi suami Sinta. Tapi, beliau mengurungkan niatnya, karena bagaimanapun, Agus belum menjadi anggota keluarganya. Dan, sekarang Agus sudah menjadi anggota keluarganya, jadi beliau tidak ragu lagi untuk membicarakan hal penting ini. “Gus, sebenarnya eyang sudah ingin membicarakan ini sejak lama sekali, tapi berhubung kamu belum menjadi cucu menantu eyang, eyang tahan hingga sekarang. Eyang ingin mulai sekarang, perusahaan eyang kamu yang pegang, dan kamu yang mengatur semuanya. Eyang sudah tua, Gus. Eyang sudah ingin istirahat di rumah, menikmati masa tua eyang, siapa lagi kalau bukan kamu yang memegang perusahaan Eyang. Eyang hanya punya kamu dan Sinta, Gus.” Eyang Hadi memberikan beberpa dokumen untuk pengalihan jabatan pada Agus. “Eyang, tidak bisa secepat ini, Agus belum bisa mengemban tugas seberat ini, Eyang, dan ini juga harus di bicarakan dengan Sinta, karena bagaimana pun, dia juga isrtri Agus, dan cucu eyang. Jadi, Agus saat ini belum bisa memenuhi keinginan Eyang.” Agus menolak bukan karena apa, dia Cuma tidak ingin di cap orang sekantor yang tidak baik, meski di kantor banyak yang menyegani Agus, dan pastinya dia juga banyak yang suka kalau Agus menjadi direktur utama di perusahaan eyang Hadi. “Baiklah, kalau kamu belum siap, tapi Eyang selalu berharap, kamu mau menerima ini semua, karena ini semua milik Sinta, dan kamu adalah suaminya. Mau untuk siapa lagi semua harta Eyang, kalau bukan untuk Sinta, Gus,” ujar Eyang Hadi. “Iya, Agus paham itu, Eyang. Itu juga salah satu alasan Eyang yang tidak pernah merestui hubungan Sinta dan Rangga, kan?” ujar Agus. “Kamu tahu sendiri, Gus, siapa ayahnya Rangga. Kamu tidak ingat waktu itu kamu di fitnah orang satu kantor karena ayahnya Rangga, dan banyak lagi masalah yang Johan lakukan. Dia mafia dan buronan polisi sekarang. Apa tega seorang kakek, menyetujui cucunya menikah dengan anak seorang mafia dan buronan polisi? Apalagi, Rangga juga sama saja kelakuannya dengan ayahnya,” jelas Eyang Hadi. “Agus ingat sekali, Eyang. Jika saat itu tidak ada eyang, mungkin Agus masih mendekam di penjara, beruntung Eyang memberikan kesaksian yang akurat,” ucap Agus. “Sudah, kita bahas ini nanti lagi, kita sarapan dulu, pasti Minah sudah menyiapkan kita sarapan. Kamu maklumi cucuku yang tidak bisa masak sama sekali ya, Gus? Dia memang manja dari dulu, Gus. Kamu harus memahaminya, apalagi kalau dia sedang ngambek seperti tadi. Tapi, eyang yakin, kamu adalah suami yang terbaik untuk cucuku satu-satunya,” ujar Eyang Hadi sambil mengajak Agus keluar menuju ke ruang makan. Sinta masih saja duduk di bangku taman dengan termenung. Dia sebenarnya masih mengingat ucapan Agus tadi sehabis solat, yang bilang kalau Agus mencintainya sejak pertama Agus bertemu dengannya. Agus berjalan menghampiri istrinya yang sedang melamun. Mungkin bukan melamun, tapi memikirkan bagaimana caranya bertemu dengan Ranggam itu yang Agus pikirkan. “Sinta, sarapan dulu, sudah di tunggu eyang,” panggil Agus yang sudah berada di samping Sinta. “Hmmm... sana kamu sarapan dulu, nanti aku menyusul,” jawab Sinta. Agus masih menunggui Sinta yang masih belum mau masuk ke dalam untuk sarapan. Sinta melirik Agus yang masih berada di sampingnya. “Dibilangin masuk dulu, malah masih di sini! Mau apa, sih?!” ucap Sinta dengan ketus. “Nungguin kamu, agar masuk ke dalam bersama, kasihan eyang menunggu, ayo masuk,” ajak Agus. “Menyusahkan sekali kamu, Gus! Tinggal masuk dulu, pakai acara menunggu aku,” ucap Sinta. “Masuk, atau aku berubah pikiran, untuk menyentuhmu nanti malam dan melarang kamu bertemu dengan Rangga!” ancam Agus. “Pakai maksa lagi! dasar kacung!” sarkas Sinta. Agus hanya terdiam menahan amarahnya yang hendak keluar dan membalas umpatan kasar pada Sinta. Tapi, Agus berusaha meredakan emosinya, karena dia tahu, memang Sinta arogan seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN