Love Is Sinta Bab 7 - Baju Seksi

2050 Kata
“Sinta, kamu sudah menikah, mulai sekarang ubah sikap aroganmu itu,” tegur Eyangnya saat seusai sarapan, dan mereka masih berada di ruang makan sambil menikmati teh hijau. “Eyang seperti tidak tahu Sinta saja, memang ini sifat Sinta, kok,” sanggah Sinta. “Eyang, sudah kalau ini urusan Agus, eyang jangan khawatir, ya? Pasti nanti Sinta menjadi wanita yang lemah lembut,” sambung Agus. Sinta melirik suaminya yang berbicara seperti itu. Dia semakin geram dengan suaminya yang bisa akrab dengan eyangnya. Biasanya kalau Sinta memiliki kekasih, tidak pernah seakrab ini dengan eyangnya. “Sinta, mulai minggu depan, eyang sudah tidak lagi ke kantor. Semua sudah eyang pasrahkan pada suamimu. Dia yang berhak memimpin perusahaan eyang ke depannya, karena eyang sudah tua, sudah ingin di rumah saja, menikmati masa tua eyang,” ucap Eyang Hadi. “Eyang, Agus kan bilang, Agus belum siap,” ujar Agus. “Eyang akan mengajari kamu besok, selama satu minggu eyang akan mengajari kamu, Gus, agar kamu tahu bagaimana perusahaan eyang. Eyang yakin kamu pasti bisa menjalan perusahaan eyang dengan baik dan amanah. Eyang sangat yakin itu,” ucap Eyang Hadi. “Brak!!!” Sinta memukul meja makan dengan keras. “Eyang di kasih jampi-jampi apa sama Agus?! Perusahaan saja sampai Eyang serahkan pada Agus. Eyang gak adil tau, gak?!” tukas Sinta dengan meninggalkan ruang makan. “Sinta! Berhenti atau Eyang sudahi semua kontrak kerja kamu di beberapa Agency terkenal!” ancam Eyang Hadi. “Bisanya Cuma mengancam saja!” gerutu Sinta dengan geram. Sinta kembali duduk di depan eyangnya. Sinta menghunuskan tatapan tajam pada Agus. “Agus ini suamimu, lebih tua dari kamu, kamu memanggil Agus dengan namanya saja, apa sopan seperti itu? Belajarlah menghormati orang, apalagi dengan suamimu, Sinta,” tutur Eyang Hadi. “Iya,” jawab Sinta. “Iya apa? Jawab yang benar!” bentak Eyang Hadi. “Iya, Eyang. Aku manggilnya Mas Agus,” ucap Sinta. “Nah, gitu dong! Sama suami masa manggilnya Agus saja,” ucap Eyang Hadi dengan tersenyum. “Memang dari kemarin manggilnya Agus, Eyang. Enggak apa-apa, mungkin panggilan sayang buat Agus,” ledek Agus. Sinta semakin merasa begah mendengar Agus berbicara seperti itu pada Eyangnya. Dia sudah tidak betah untuk kembali ke rumahnya dan menindas Agus sesuka hatinya tanpa di lihat atau diketahui eyangnya. “Awas saja kamu, Gus! Kalau sudah di rumahku, aku akan tindas kamu sampai kesabaranmu habis dan meninggalkan aku!” geram Sinta dalam hatinya. Sinta mencari akal agar dia segera meninggalkan rumah eyangnya. Dia merasa dirinya bisa gila kalau lama-lama tinggal di rumah eyangnya. “Eyang, Sinta nanti sore pulang ke rumah Sinta, ya?” pinta Sinta. “Ke rumah kamu?” tanya Eyang Hadi. “Aku hanya ingin menikmati masa-masa pengantin bersama Mas Agus, iya kan, Mas Agus?” ucap Sinta. “Biar kami bisa mandiri, Eyang. Boleh, ya?” imbuh Sinta dengan sedikit memohon pada eyangnya. “Ehm... boleh,  tapi sekarang tidak tinggal di rumah kamu, eyang sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Nanti sore atau nanti malam, kalian sudah bisa menempati rumah kalian,” ujar Eyang Hadi. “Kok pakai acara pindah rumah segala, Eyang?” tanya Sinta. “Itu rumah untuk kado pernikahan kalian dari eyang,” jawab Eyang Hadi. “Eyang, tapi itu kan rumah impian Sinta, Sinta tidak mau meninggalkannya,” ucap Sinta. “Ya terserah kamu, rumah itu sudah eyang jual, dan semua barang-barang milik kamu, sudah ada di rumah kamu yang baru,” jelas Eyang. “Sudah, Eyang mau main golf, hari ini Eyang diajak teman eyang. Kalian nikmati masa-masa pengantin baru, sambil saling mengenal,” ucap Eyang Hadi sambil meninggalkan mereka berdua. Sinta masih duduk di samping Agus, setelah Eyang Hadi menuju ke kamarnya untuk bersiap pergi main golf bersama temannya. Agus melirik istrinya yang masih terlihat menekuk wajahnya. Dia mengusap kepala Sinta dan membujuk Sinta agar menuruti apa kata opanya. “Sudah, enggak usah manyun gitu? Kamu kan yang ingin kita berdua saja dalam satu rumah? Aku tahu, kamu ingin menyiksaku, kan? Itu tidak bisa, Sinta. Semakin kamu menyiksaku, semakin tersiksa pula batin kamu,” ucap Agus dengan mengusap kepala Sinta. “Apaan sih! Enggak usah pegang-pegang! Aku gak akan biarkan hidupmu tenang, Agus! Aku akan membuat hidupmu menderita menikah denganku!” ucap Sinta dengan menyingkirkan tangan Agus dengan kasar. “Jangan bicara seperti itu, Nona Cantik. Nanti ucapan kamu berbalik pada dirimu, lho. Bisa jadi kamu yang sekarang benci sama aku, besok pagi atau lusa, atau mungkin tahun depan akan mencintaiku. Kamu tahu? Apa yang kamu anggap baik, belum tentu baik bagimu, dan apa yang kamu anggap buruk, belum tentu buruk untuk kamu. Jadi hati-hatilah dalam berucap, Nona Cantiku. Allah Maha membolak-balikan hati, ingat itu,” ucap Agus dengan tersenyum di depan wajah Sinta. “Enggak mungkin! Masuk kamar, tata semua bajuku ke dalam koper!” Sinta menyuruh Agus menata bajunya dengan kasar. “Siap istriku yang cantik!” ucap Agus dengan semangat. Agus berjalan menuju kamarnya. Sinta sudah terlebih dulu di kamarnya. Sinta duduk di tempat tidur dengan melihat Agus yang sibuk menata semua baju istrinya ke dalam koper. Dengan tanpa dosa Sinta hanya memerhatikan Agus  yang sedang menata baju-bajunya di kopernya, dan duduk santai di atas tempat tidur. “Kapan mau pakai baju seksi ini, Sinta?” tanya Agus dengan tersenyum. “Agus! Lancang sekali lihat-lihat baju yang seperti ini!” seru Sinta. “Lagian kamu nyuruh aku, kan? Kenapa harus marah? Toh suatu hari nanti kamu pakai ini di depanku,” ucap Agus dengan santai sambil kembali menata baju-baju Sinta. “Jangan ngarep deh, Gus! Enggak ada kuncinya, seorang Agus bisa menyentuhku. Enggak, enggak bisa!” ketus Sinta di depan wajah Agus. “Ada kuncinya,” jawab Agus. “Enggak ada!” tukas Sinta. “Kuncinya sabar,” jawab Agus dan langsung merebahkan dirinya di tempat tidur seusai menata baju-baju Sinta. “Kita lihat saja nanti, enggak bakal!” ucap Sinta. “Memangnya kenapa enggak bisa? Apa karena Rangga?” tanya Agus. “Iya, hanya Rangga yang bisa menyentuhnya,” jawab Sinta. “Oh... jadi sudah sering di sentuh Rangga?” ucap Agus dengan wajah yang berubah setengah kecewa. “Bukan urusan kamu, kacung! Kalau iya, kenapa, hah?!” sarkas Sinta. Agus beranjak dari tempat tidurnya. Dia sebenarnya sudah terlampau marah dengan Sinta. Agus tahu, profesi Sinta seperti apa, dan pergaulan Sinta di luar sana seperti apa. Apalagi dia memiliki kekasih seperti Rangga yang jauh dari kata baik. “Oke, slow, Agus... Meski Sinta sudah pernah dengan Rangga, setidaknya kamu bisa memiliki wanita yang kamu cintai sejak pertama bertemu. Aku menerima kamu ada adanya, Sinta. Meski nantinya kamu jatuh dan terpuruk karena Rangga, aku tidak peduli, karena cintaku itu kamu, Sinta. Bukan yang lain,” gumam Agus dengan duduk di mini bar sebelah ruang makan dan menikmati secangkir kopi. Agus mengusap kasar wajahnya, dia mengingat lagi kata-kata Sinta tadi, dan memikirkan baju seksi milik Sinta berwarna merah muda. Sejenak otak Agus berkelana memikirkan hubungan Sinta dan Rangga. Agus juga memikirkan ucapan Sinta yang bilang, kalau yang bisa menyentuh Sinta itu hanya Rangga. “Enggak, enggak, Sinta enggak mungkin melakukan semua itu dengan Rangga. Enggak, Sinta pasti masih utuh, belum tersentuh Rangga. Arggh... sudah dong, buang pikiran negatif kamu, Gus!” Agus dengan sedikit frustasi memikirkan hubungan Rangga dan Sinta yang mungkin sudah melampaui batas. Bagaimanpun, Sinta adalah istrinya. Agus sebisa mungkin akan membatasi Sinta untuk bertemu dengan Rangga. Rangga yang Agus tahu, bukan laki-laki baik. Dan, memang Rangga suka bergonta-ganti wanita. Itu semua Agus lihat sendiri saat Agus ke bar bersama rekan kerjanya. ^^^ Sinta masih berada di kamarnya, menata baju-baju seksi yang entah dari mana datangnya. Kerena Sinta tidak pernah membeli baju-baju yang menjijikan menurut Sinta. “Ini apaan, sih? Siapa juga yang naruh baju-baju ini di koperku? Minah? Iya, pasti ini kelakuan Minah, karena kemarin dia ngubek-ngubek koper ini. Dan.... sepertinya bersama Devi dan Manda juga. Sialan! Pasti mereka yang berulah nih!” Sinta langsung mengemasi baju-baju seksi itu, dan memasukan ke dalam kantong plastik lalu membawa keluar dari kamarnya dan dia akan membuangnya ke tong sampah yang ada di belakang. “Mereka merusak reputasiku saja di depan Agus. Mulutku juga ini, asal ceplos, pakai acara bilang sama Agus kalau aku sudah di sentuh Rangga lagi. Aku kan jadi rendah banget di mata Agus. Duh, gimana ini?” ucap Sinta dengan lirih sambil berjalan menuju ke dapur. “Awww...! Agus...! kalau jalan lihat-lihat, dong!” umpat Sinta dengan kesal. “Kamu saja yang gak punya mata, Non! Lagian seperti di kejar setan saja kamu,” ucap Agus. “Iya, setannya kamu!” tukas Sinta. “Itu kamu bawa apa?” tanya Agus. “Sampah! Mau?” jawab Sinta. “Memang kamar kita banyak sampah? Perasaan sudah bersih tadi?” tanya Agus. “Ini sampah masyarakat, macam kamu itu!”sarkas Sinta. “Oh... ya sudah buang saja!” ucap Agus dengan berlalu. “Eh... Agus, tunggu!” seru Sinta. “Apalagi? Mau buang aku sekalian?” tanya Agus. “Untuk ucapan yang tadi, itu salah. Aku belum pernah di sentuh oleh laki-laki manapun, termasuk Rangga pun belum pernah. Aku hanya terbawa emosi saja, karena melihat pakaian tadi yang tidak tahu dari mana asalnya. Demi Tuhan, aku tidak pernah punya pakaian seperti itu, dan aku belum pernah melakukan hal sejauh itu. Please, jangan bilang eyang,” ucap Sinta. Agus terseyum dengan lega, atas apa yang baru di ucapkan Sinta tadi. Kalau Sinta belum di sentuh oleh Rangga dan masih utuh. “Kamu tidak bohong?” tanya Agus. “Senakal-nakalnya aku, dan searogannya aku, aku tidak pernah berbohong dan tidak pernah melakukan hal yang melampaui batas, terutama dalam pacaran,” jawab Sinta. “Aku tidak percaya,” ucap Agus dengan membalikan badannya dan mendekati Sinta. “Kok gitu? Percaya dong! Aku sudah jujur, Agus!” ucap Sinta dengan setengah teriak. “Enggak usah teriak Nona Cantik,” ucap Agus dengan sedikit menghimpit tubuh Sinta ke dinding dan menyentuh pipi Sinta. “Ehhh... ini mau apa, Agus!” Sinta mendorong tubuh Agus dengan keras hingga Agus tersungkur. “Awwwhhh... kasar amat jadi perempuan!” ucap Agus dengan mengaduh. “Ya kamunya gitu! Pakai enggak percaya, dah gitu mepet-mepet lagi!” seru Sinta. “Buktikan dong, biar aku percaya,” ucap Agus dengan bangun dari jatuhnya. “Buktikan, maksudmu?” tanya Sinta. “Ya, kita kan sudah suami istri, ya buktikan, kalau kamu masih utuh,” jawab Agus dengan tersenyum meledek istrinya. “Heiiii....! sembarangan ya, kamu?! Sama Rangga yang aku cintai setengah mati saja aku enggak mau! Apalagi sama kamu, Agus! Ogah...!” teriak Sinta. “Eh... ni anak, di bilangin jangan kencang-kencang! Nanti eyang ke sini, terus tanya kamu kenapa, mau aku jawab sebenarnya?” ucap Agus. “Enggak, lah! Pokoknya aku belum pernah ngapa-ngapain sama Rangga, dan ini baju-baju laknat yang di siapkan Minah sama dua temanku yang gila mau aku bakar semua! Lagian, masalah kalau aku teriak, orang eyang sudah berangkat ke tempat golf, ” ucap Sinta. “Eh iya, aku lupa. Bajunya jangan di bakar, dong. Sayang ih, ini bisa di pakai kamu, suatu saat nanti kamu membutuhkan ini. Jangan bakar-bakar pakaian, mending kamu simpan, jangan di lihat lagi, dan kalau nanti suatu saat kamu butuh, kamu bisa pakai,” tutur Agus dengan lembut. “Gitu? Masa iya aku nanti butuh dengan pakaian yang menjijikan ini?” tanya Sinta dengan merendahkan nada suaranya. “Percaya sama aku, suatu saat kamu butuh, biar aku yang simpan saja, kalau kamu tidak mau simpan. Entah nanti di pakai waktu bersama dengan Rangga atau dengan aku. Sini aku simpan,” ucap Agus dengan mengambil kantong plastik yang berisi baju seksi dari tangan Sinta. Agus langsung pergi ke kamarnya dengan membawa kantung plastik. Sinta masih tercenung melihat Agus yang berjalan dengan gagah dan tegap menuju ke kamarnya. “Ah... bodo amat! Terserah kamu lah, Gus! Aku kesal!” umpat Sinta dengan masuk ke dapur dan mengambil air putih. Sinta masih memikirkan ucapan Agus tadi, soal baju seksinya yang nanti akan di pakai dengan Rangga atau Agus. Sinta juga merasa aneh dengan Agus, padahal dia baru pertama kalinya kenal dengan Agus, tapi rasanya dia sudah mengenal sebelum dia menikah dengan Agus. Dan, suara Agus, hampir mirip dengan suara seseorang, entah itu siapa Sinta tidak tahu, dan sudah lupa. “Ah... mungkin teman yang suaranya hampir mirip Agus. Ih... ngapain juga aku memikirkan Agus? Seperti tidak ada kerjaan saja,” gumam Sinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN