Bab 9 - Wedding Day Part 2

2518 Kata
Tatapan Leon yang tajam membuat Zoya seketika tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. “M-maaf, aku nggak bermaksud mengganggu,” ujar Zoya seketika panik. Gadis itu gelagapan ketika Leon dan perempuan berbikini itu menatap lekat-lekat ke arahnya. Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Zoya seketika berbalik dan melangkah gegas menjauh dari sana. Zoya terus melangkahkan kakinya, tidak tahu apakah ia memang berada di rute yang benar menuju hotel atau justru ke arah lain. Ia tidak peduli, yang penting saat ini ia harus segera kabur dari hadapan Leon secepatnya. Kakinya terus saja melangkah, menjauhi bangunan utama, hingga akhirnya ia bertemu dengan Yurike dan Zela yang baru saja kembali dari pantai. “Zoya, mau ke mana?” tanya ibunya. Langkah kaki Zoya seketika terhenti. Ia menoleh, lalu tampak terkejut saat melihat ibu dan adiknya yang kini menatapnya heran. “Eh, Ibu…” Zoya tak menyangka akan bertemu dengan ibu dan adiknya di sini. Sekarang ia harus menjawab apa? Tidak mungkin kan ia bilang bahwa dirinya sedang kabur dari Leon karena malu sudah memergoki calon suaminya itu yang kini tengah bersama perempuan lain? “Kakak mau ke mana, kayak habis lihat han—” “Halo, Tante.” Ucapan Zela terpotong oleh suara seseorang yang tiba-tiba hadir di dekat mereka. Mendengar suara bariton di belakangnya Zoya serta-merta langsung menoleh. Matanya melebar tak percaya ketika melihat sosok Leon yang melangkah mendekatinya. “Wuidih, mau pacaran nih pasti,” ujar Zela sambil menuding kakaknya. “Nggak boleh lho, Kak. Dilarang bertemu sampai besok pagi.” “Eh, gitu ya?” tanya Leon lagi sebelum Zoya sempat membalas ucapan adiknya. Laki-laki itu berdiri di dekat Zoya, dekat sekali sehingga Zoya merasa mencium wangi parfum yang Leon kenakan. “Iya, Kak Leon. Pengantin wanita dilarang bertemu dengan pengantin pria menjelang hari H,” ujar Zela. “Itu biar apa?” tanya laki-laki itu lagi. “Biar makin kangen,” jawab Zela sambil cengengesan. Ketika melihat alis Leon yang naik, gadis yang berada di tahun terakhir SMA itu seketika tertawa. “Kalau makin kangen kan nanti pas ketemu rindunya langsung membuncah,” jelasnya sambil menatap ke arah Zoya sambil nyengir dan menaik-naikkan alis. Zoya menghela napas panjang, dan rasanya ingin sekali menyeret Zela pergi dari sini. Adiknya ini isi kepalanya terkadang memang suka lancang. Sementara itu, di sisi lainnya Leon hendak kembali membuka mulut untuk bertanya pada Zela, tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Akhirnya ia pun memutuskan untuk fokus pada ponselnya lebih dulu. “Ya, Ma?” ujar laki-laki itu menjawab teleponnya. “Ya, aku sudah sampai. Saat ini sedang bersama Zoya, Tante Yurike, dan Zela.” Mata Leon melirik para perempuan yang ia sebutkan tersebut satu per satu, lalu berhenti di Zoya. Tubuh Zoya yang sebelumnya berdiri kaku di sana mendadak jadi meremang akibat tatapan Leon padanya saat ini. Ia masih tidak menyangka kalau Leon menyusulnya. Lalu kini ia justru terjebak bersama laki-laki itu di depan hidung ibu dan adiknya. Omong-omong di mana wanita berbikini tadi? Jangan sampai ibunya melihat wanita itu dan merasa kecewa pada Leon yang sudah ia anggap sebagai menantu ideal. Zoya tidak ingin ibunya melihat kelakuan b***t Leon dengan matanya sendiri. Zoya tidak ingin ibunya sakit hati. “Oke, Ma,” ujar Leon, lalu mengakhiri panggilannya. Laki-laki itu menyelipkan ponsel ke saku belakang celananya, kemudian berpaling dari Zoya untuk menatap Zela. “Tapi kalau sudah terlanjur ketemu begini gimana dong?” tanyanya masih menuntut jawaban. “Karena sudah terlanjur bertemu begini ya nggak apa-apa,” ujar Yurike ikut menimpali sambil tersenyum menenangkan. “Tapi sekarang Zoya kami bawa kembali ke kamar ya.” Leon menatap Zoya yang menunduk menatapnya, lalu kembali menatap Yurike. “Hmm… Kalau memang nggak boleh bertemu, nggak apa-apa, Tante,” ujar Leon. Matanya kembali melirik ke arah Zoya. Tatapan tersebut diartikan Yurike sebagai bentuk kekaguman Leon pada putrinya. Sejak tadi ia perhatikan bahwa mata Leon terus-menerus terkunci pada Zoya. Ia merasa bahwa Leon benar-benar sangat menyayangi putrinya. “Sabar ya, Kak. Besok dan seterusnya juga akan sama-sama terus kok,” ujar Zela menimpali. Leon memberi gadis itu senyum tipis, lalu matanya kembali menatap Zoya yang sadar betul bahwa ia memang sedang diperhatikan. Akan tetapi, berbeda dengan ibunya yang salah mengartikan tatapan Leon, Zoya sendiri tahu bahwa laki-laki itu sengaja terus menatapnya agar Zoya mengunci mulut. Tatapan Leon itu berarti intimidasi dan ancaman agar Zoya tidak membocorkan apa yang telah ia lihat beberapa saat lalu. Padahal laki-laki itu tidak perlu melakukan hal seperti ini, toh Zoya tidak akan mengadu pada ibunya. Ia tentu saja tidak ingin ibunya kecewa. “Ya sudah, kami kembali ke kamar ya, Nak Leon,” ujar Yurike. “Sampai jumpa besok pagi.” “Ya, Tante,” jawab Leon sambil tersenyum untuk membalas senyum Yurike yang hangat. Sementara Zoya sendiri masih tampak diam dan tidak memberinya ekspresi apa pun. Ia tidak tahu harus tersenyum atau berpura-pura ramah atau tidak apa-apa jika mengabaikan Leon begitu saja. Ia masih kaget karena Leon ternyata malah menyusulnya, dan mulai waswas jika perempuan yang bersama Leon tadi muncul dan mengacaukan segalanya. Tapi hingga akhirya Zoya ditarik ibunya untuk kembali ke hotel, perempuan yang ia khawatirkan itu sama sekali tidak muncul. Zoya akhirnya bisa bernapas lega karena ia takut sekali jika ibu atau adiknya melihat perbuatan Leon tadi. Ia tidak ingin membuat mereka merasa kecewa pada laki-laki itu secepat ini. Selama ini Leon adalah laki-laki sempurna di mata mereka. Rasanya kejam sekali jika membiarkan mereka melihat kenyataan yang sebenarnya. *** Musik mengalun lembut di aula luas yang sudah didekorasi dengan sangat indah dan dipenuhi nuansa serba putih. Bunga-bunga yang memenuhi ruangan ini pun juga didominasi warna putih dan menguarkan wanginya sendiri. Kursi dan meja tamu ditata rapi menghadap ke arah panggung yang menjadi pelaminan kini sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Meja-meja penuh makanan memenuhi tiap sisi ruangan, sementara beberapa pelayan berseragam terus berjalan hilir-mudik membawakan nampan minuman untuk diberikan pada para tamu. Di sisi kanan ruangan, ada dinding kaca lebar yang membuat siapa pun yang ada di dalam ruangan ini bisa langsung menatap ke arah pantai. Pemandangan di luar kaca itu kini telah berganti dari langit biru menjadi langit sore berwarna jingga yang membuatnya tampak bagai lukisan. Zoya dan Leon saat ini masih duduk di kursi pelaminan mereka sambil menatap ke arah para tamu undangan. Live music di panggung yang ada pada sisi kiri masih terus melantunkan lagu-lagu cinta. Seharusnya hal ini jadi hal paling romantis dalam hidup Zoya. Namun sejak status mereka berubah jadi suami istri siang tadi, hatinya tetap saja masih terasa kosong. Berkali-kali Zoya mencoba menghibur dirinya dan mengingatkan bahwa status dirinya dan Leon yang kini sudah resmi sebagai suami-istri. Setidaknya, meski suaminya cukup menyebalkan, keluarga laki-laki itu sangat baik padanya dan itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya ibunya bisa nyaman berada di antara keluarga Leon. “Capek ya?” tanya Leon tiba-tiba. Zoya cukup terkejut dengan pertanyaan itu, tapi akhirnya ia menoleh dan mengangguk sambil tersenyum tipis. “Sedikit,” jawab Zoya singkat. Sejak tadi mereka memang lebih banyak berdiri untuk menyambut para tamu yang naik ke pelaminan untuk memberikan ucapan selamat, lalu berfoto, dan hanya bisa kembali duduk ketika ada jeda. Zoya pikir pesta pernikahan ini tidak akan seramai ini karena dari pihak Zoya sendiri tidak mengundang siapa pun selain tetangga di depan dan samping rumahnya yang tentu saja tidak bisa hadir di sini karena terlalu jauh dan memakan biaya. Tapi ternyata undangan dari keluarga Leon seramai ini. Mungkin karena laki-laki ini dan keluarganya punya banyak kolega bisnis dari mana saja hingga ketika dikumpulkan bisa memenuhi ruangan yang cukup luas ini. Zoya bersyukur karena sepatu berhak tinggi yang diberikan padanya tadi akhirnya diganti dengan flat shoes yang menyelamatkan kakinya dari rasa pegal. Ia benar-benar berterima kasih karena Lilia benar-benar menaruh perhatian yang besar pada dirinya. Selain pertanyaannya tadi, Leon sejak tadi tidak banyak bicara padanya. Padahal Zoya sudah takut setengah mati jika laki-laki itu mengungkit kejadian kemarin ketika ada kesempatan bicara dengannya. Beruntungnya Leon seperti sadar situasi dan justru memaksimalkan aktingnya sebagai suami yang baik di hadapan semua orang. Leon memberikan tangannya pada Zoya untuk digandeng, lalu mengulurkan tangan untuk menjaga gadis itu saat mereka menaiki tangga pelaminan tadi, lalu membantunya turun dari pelaminan dan memeluk pinggangnya dengan erat saat mereka diminta berdansa berdua. Ia juga membantu Zoya melepas sepatu ketika gadis itu harus mengganti sepatunya. Zoya sadar bahwa Leon melakukan itu karena semua mata kini tertuju pada mereka. Tapi setidaknya tidak ada pembahasan mengenai hal kemarin dari bibir laki-laki itu. Sejujurnya Zoya juga masih dihinggapi kecemasan soal kejadian kemarin. Hatinya benar-benar tidak tenang hari ini. Kali ini ia mulai memindai satu per satu wajah para tamu undangan. Ia mencoba mencari sosok wanita yang kemarin bersama Leon. Banyak kejadian mantan kekasih yang membuat adegan mengharukan di pelaminan mantan kekasihnya, dan Zoya khawatir Leon akan mengalami hal serupa. Tapi tampaknya sejak tadi ia belum melihat sosok yang dicarinya tersebut. Sepertinya dalam hal ini pun Leon bisa mengatasinya dengan baik. Tidak ada mantan yang menangis haru di pelaminan mereka sejak tadi. Sungguh, Zoya tidak ingin memberikan tontonan dramatis pada para tamu undangan. Jadi ia tidak ingin ada drama seperti itu di pernikahan mereka. Rasa cemas, khawatir, sesak, dan segala ketidaknyamanan yang Zoya rasakan itu akhirnya berakhir ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Satu jam yang lalu acara mulai berubah santai, Zoya dan Leon pun akhirnya bisa bergabung di meja makan bersama keluarga mereka dan menikmati makan malam bersama. Leon juga bergabung bersama teman-temannya sebentar selepas makan malam, sebelum akhirnya mengajak Zoya untuk menyingkir dari sana dan kembali ke kamar. Godaan demi godaan mereka dapatkan saat berpamitan pada para tamu yang masih ada di sana. Zela bahkan juga ikut-ikutan menggodanya, membuat Zoya gemas setengah mati. Remaja itu berlagak sudah paham betul dengan dunia orang dewasa sehingga bisa semena-mena menggoda kakaknya. Zoya lupa untuk memelototi adiknya ketika Leon menyampirkan jas laki-laki itu ke pundaknya, lalu merengkuh pundak Zoya hingga tubuh mereka kini saling menempel. “Kami pamit ya, silakan nikmati pestanya,” ujar Leon sambil tersenyum, lalu menarik Zoya yang tersenyum kikuk untuk melangkah keluar dari aula. Udara malam menyentuh kulit pipi Zoya ketika ia dan Leon melangkah keluar. Masih dalam dekapan lengan laki-laki itu, Zoya melangkah beriringan dengan Leon menapaki jalan setapak untuk menjauh dari aula yang dibangun terpisah dari bangunan utama hotel. Tangannya memeluk ekor gaunnya yang cukup panjang agar tidak menghalangi langkahnya. Setelah mereka berjalan beberapa meter, Leon akhirnya melepas lengannya dari pundak Zoya. Tindakan itu membuat Zoya sadar kalau mereka kini sudah cukup jauh dari orang-orang dan tidak perlu berpura-pura mesra lagi. Dalam diam, mereka terus melangkah bersisian. Hingga akhirnya ketika melewati pintu masuk hotel, Leon kembali bersuara. “Kamu mau ke mana?” tanyanya saat Zoya melangkah ke arah pintu. Zoya berbalik dan menatap laki-laki itu dengan bingung. “Ke kamar,” ujar Zoya masih tak mengerti. “Kamar pengantinnya bukan di sana,” ujar Leon sambil mengembuskan napas panjang. Laki-laki itu kemudian menyugar rambutnya sambil menggeleng. “Ayo ikut aku.” Leon melangkah lebih dulu, dan Zoya pun buru-buru mengikutinya. Mereka melewati jalan setapak yang sama seperti di luar aula tadi, hanya saja kali ini lebih sempit karena diapit dinding dan tanaman di sepanjang jalannya. Dengan hati bertanya-tanya, Zoya terus mengikuti langkah Leon hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pintu yang dibentuk seperti gerbang kecil dengan ukiran khas bali. Ada nomor 1302 di bagian dinding pada sisi kanannya. Leon mengeluarkan kunci dari saku celananya, lalu membuka pintu tersebut. Ia menunggu hingga Zoya melangkah melewati pintu itu, lalu kemudian kembali mengunci pintu tersebut. Di hadapan mereka, Zoya menemukan sebuah vila kecil yang indah. Ada setapak yang menjadi jalan mereka menuju vila tersebut, yang diapit oleh rumput-rumput setinggi mata kaki. Di depan vila, ada ruang duduk dan juga kolam renang dan gazebo. Di sisi kolam, ada banyak lampu yang mengitarinya hingga membuat suasana semakin tampak romantis. Leon terus melangkah menuju pintu vila, dan melangkah masuk lebih dulu. Di depan pintu kaca vila itu, mereka bisa langsung menemukan satu buah tempat tidur ukuran besar dengan satu buah sofa panjang di sisi lain ruangan. Tempat tidur itu menghadap ke arah pintu kaca ganda yang langsung terhubung ke kolam renang. Zoya melangkahkan kaki ke lantai vila, dan menemukan banyak sekali kelopak mawar merah di atas lantai. Ia pun melepas flat shoes dan melangkah mengikuti kelopak yang membentuk jalan di atas lantai hingga menuju tempat tidur. Di depan tempat tidur, Leon sudah berdiri sambil menatap sekitar, mengamati dekorasi khas malam pengantin yang disiapkan untuk mereka. Ketika menyadari Zoya sudah berada di dekatnya, laki-laki itu mendengkus dan tersenyum miring. “Bagaimana menurut kamu?” tanyanya sambil menoleh pada Zoya. “Orang-orang ini tampaknya berusaha keras untuk memberikan kita malam pengantin yang indah ya.” Ditanya dengan pertanyaan seperti itu membuat Zoya kembali ingat dengan apa yang pernah mereka lakukan pada malam saat Zoya menyerahkan diri pada Leon waktu itu. Tiba-tiba saja semuanya tergambar jelas dan Zoya jadi cemas setengah mati. Kemarin ia bisa kabur dari Leon yang memintanya untuk menemani laki-laki itu. Tapi kali ini bagaimana caranya untuk kabur? Ini malam pengantin mereka. Zoya tidak menjawab dan hanya berdiri sambil menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa dan bersikap bagaimana. Sepertinya lebih mudah menghadapi Leon yang menyebalkan daripada yang seperti ini, yang tampak cukup ramah dan baik padanya. “Jadi bagaimana?” tanya Leon mengulang pertanyaannya. Zoya melihat dari lantai bahwa kaki laki-laki itu melangkah mendekatinya. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan? “B-bagus,” jawab Zoya tiba-tiba terbata. Ia tidak terbiasa dengan yang seperti ini. Kenapa Leon tidak bicara kasar saja padanya? “Tatap aku kalau sedang bicara.” Telunjuk Leon berada di bawah dagu Zoya, mengangkatnya agar wajah gadis itu menghadapnya. Zoya mengerjap saat bertatapan dengan Leon yang tersenyum sinis padanya. “Kita sudah pernah berduaan dan melakukan lebih dari ini kan? Kenapa kamu berlagak seperti gadis lugu yang belum pernah disentuh?” tanya laki-laki itu. Zoya menelan ludah. Mendadak lidahnya kelu untuk memberikan jawaban. “Kamu tidak berniat melayaniku seperti waktu itu?” tanya Leon lagi. Zoya tetap diam karena belum bisa menjawab. Malam itu ia terpaksa, jadi ia tentu saja lebih nekat dari biasanya. Tapi kali ini…. Leon akhirnya mengambil inisiatif lebih dahulu dengan membuka jasnya yang masih berada di pundak Zoya. Pakaian itu seketika jatuh ke lantai, dan tangan Leon kembali bergerak untuk menyentuh pundak Zoya, kemudian terus naik hingga menyentuh lehernya yang terbuka. Sentuhan dari telapak tangan Leon yang hangat seperti mengirimkan kejutan listrik pada tubuh Zoya hingga tubuhnya meremang dan tangannya langsung melepaskan ekor gaun yang sejak tadi berada dalam genggamannya. Ekor gaun itu kini jatuh ke lantai dan menumpuk di kaki mereka. Laki-laki itu mengusap lehernya, lalu naik menuju pipi Zoya. Sentuhannya lembut dan ringan, tapi mampu membuat napas Zoya jadi tak beraturan. Matanya mengamati Leon yang kini tengah menelusuri apa yang disentuh oleh tangannya, hingga tangan itu berhenti di bibir Zoya. Tatapan Leon benar-benar membuat Zoya merasa bahwa laki-laki itu bisa melihat hingga ke balik gaunnya. Intens dan penuh penilaian. Jantung Zoya berdetak lebih kencang saat Leon perlahan mulai merendahkan kepalanya dan mendekat ke wajah Zoya. Apa laki-laki ini akan langsung menciumnya? Apakah mereka memang akan langsung melakukannya dengan seperti ini? Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di benak Zoya bersamaan dengan ia yang memejamkan mata saat merasakan bibir Leon mendekati bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN