Bab 8 - Wedding Day Part 1

1631 Kata
Setelah malam itu, Zoya belum bertemu Leon lagi. Ia masih berpura-pura pergi bekerja dari rumah, dan menunggu hingga jam pulang di kamar hotel yang telah disediakan Lilia untuknya. Untuk persiapan pernikahannya, semua sudah Lilia tangani dengan baik hingga Zoya benar-benar tidak lagi terlibat. Bahkan untuk pakaian dan make up untuk ibu dan adiknya pun sudah ditangani oleh Lilia. Wanita itu benar-benar luar biasa dalam menangani banyak hal. Beberapa kali pun ia bolak-balik di hotel milik keluarga Leon, tak sekalipun ia melihat keberadaan laki-laki itu di sana. Tidak seperti pertemuan pertama mereka waktu itu, ketika Leon menuduh Zoya menjual diri di siang harinya sementara laki-laki itu saling membelit lidah dengan perempuan lain, Leon benar-benar sama sekali tidak terlihat. Atas dasar penasaran, satu sisi dalam diri Zoya menduga-duga apakah Leon marah dengan sikap Zoya waktu itu yang langsung turun dari mobil tanpa memberinya jawaban lebih lanjut? Apakah laki-laki itu kesal karena sikapnya yang tidak sopan? Apakah dia meduga jika Zoya sok jual mahal? Mungkin Leon akan berpikir bahwa Zoya, yang sebelumnya adalah perempuan murahan yang sudah ia tiduri, adalah gadis tidak sopan yang suka berbuat sesukanya dan sok jual mahal. Leon sekarang pasti merasa sangat jijik padanya, karena selain miskin, Zoya ternyata juga angkuh dan menyebalkan. Zoya menarik napas, lalu menggeleng. Ia seketika tersadar, lalu menepuk kedua pipinya pelan. Sejak kapan pendapat Leon akan dirinya jadi begitu penting? Bukannya waktu itu Zoya tidak peduli pada apa pun pendapat laki-laki itu tentang dirinya? Terserah Leon mau menganggapnya sebagai apa, toh Zoya memang tetap harus menikahi laki-laki itu agar ibu dan adiknya bisa hidup dengan layak. Menyadari apa yang menjadi tujuan awalnya melakukan hal penuh dosa ini, Zoya pun menarik napas dan berusaha kembali memantapkan hatinya. Ia tidak boleh goyah dan merasa peduli pada pendapat orang lain akan dirinya. Terserah saja orang ingin menganggapnya apa, yang terpenting ia sendiri telah melakukan tugasnya dengan baik. Tuduhan negatif dari luar yang dilayangkan untuknya tidak akan jadi masalah, karena itu adalah konsekuensi dari apa yang telah ia lakukan, bukan? “Zoya…” panggilan tersebut membuat Zoya menoleh. Di pintu kamarnya, berdiri wanita yang sangat ia sayangi dan kini tengah tersenyum padanya. Senyum teduh wanita itu bagai sumber energi tersendiri untuk Zoya. Ia rela melawan seluruh dunia hanya agar bibir itu tetap bisa tersenyum. Agar satu-satunya orangtua yang ia punya tetap bisa hidup bersamanya sampai tua. “Ya, Bu?” tanya Zoya. “Ayo, jemputan kita sudah datang,” panggil Yurike. “Eh, iya, Bu.” Zoya kemudian berdiri dari tempat tidurnya. Melihat Zoya sudah berdiri, Yurike kemudian berbalik dan melangkah lebih dulu dari pintu kamar, sementara Zoya kembali menatap ke sekeliling kamarnya. Setelah ini, ia akan tinggal bersama Leon, jadi satu tahun lagi baru bisa kembali ke kamar ini ketika laki-laki itu menceraikannya. Zoya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Baiklah, semuanya baru akan dimulai sekarang. Semoga saja ia terus kuat dan bertahan meski perasaannya mengatakan akan banyak sekali hal yang akan menguji kesabarannya ketika ia dan Leon mulai tinggal bersama nantinya. *** Mereka tiba di resort milik keluarga Virendra yang ada di Seminyak, Bali, ketika waktu menunjukkan pukul satu siang. Besok adalah hari pernikahannya dengan Leon. Tapi perasaan Zoya malah tak karuan sejak mereka tiba di sini tadi. Berbeda dengan Zoya yang lebih banyak diam, Zela justru sangat berisik sejak tadi karena terus mengoceh betapa mewah resort tepi pantai yang akan jadi tempat resepsi kakaknya ini. Mereka tadi berangkat menggunakan jet pribadi milik keluarga Virendra. Di pesawat itu lengkap ada orangtua Leon, juga kakek dan nenek dari pihak ayahnya. Leon tidak ikut bersama mereka karena masih ada kerjaan, dan akan menyusul malam harinya. Zoya sendiri baru tahu kalau orangtua Lilia sudah tidak ada, sehingga kini Leon hanya punya kakek dan nenek dari pihak ayahnya. Mereka semua bersikap baik padanya, begitu juga pada ibu dan adiknya. Semua tampak ramah dan memperlakuka ibu dan adiknya seperti keluarga sendiri. Hal tersebut sedikit mencubit hati Zoya yang masih disesaki rasa bersalah. Ia senang melihat ibunya tampak bahagia karena memiliki besan dan keluarga baru yang sangat baik. Zela sendiri juga pasti sangat senang karena akan punya kakak ipar kaya raya yang punya banyak fasilitas yang bisa ia nikmati secara gratis. Akan tetapi, ia masih merasa sedih andai suatu hari nanti ibunya tahu apa yang telah ia lakukan hingga mereka memperoleh hal ini. Ia tidak sanggup membayangkan akan sesedih apa ibunya ketika tahu bahwa putrinya rela melakukan hal kotor hingga mereka bisa menikmati semua ini. Tiap kali memikirkan hal tersebut, di sudut hatinya Zoya setuju dengan Leon yang menganggapnya pela cur. Memangnya predikat baik apa yang ia harapkan akan ia terima setelah satu malam panjang yang mereka lalui bersama? Dengan pengalaman tersebut, tidak salah jika Leon menganggapnya demikian bukan? Memangnya apa yang Zoya harapkan? “Kak Zoya… Kaaak…” Zoya tersentak, lalu menoleh pada Zela yang kini berdiri sambil berkacang pinggang menatapnya. “Y-ya? Kenapa?” tanya Zoya gugup. Sorot mata Zela yang tampak sebal membuatnya jadi salah tingkah. Gadis berambut pendek itu menipiskan bibir dan menggelengkan kepala. “Aku dari tadi manggil tapi Kakak kayak lagi ada di dimensi lain. Mikirin apa sih?” “Oh, nggak, cuma…” “Tenang aja, besok malam Kakak udah bisa berduaan sama Kak Leon kok. Jadi cuma malam ini doang berbagi tempat tidur sama kami,” potong Zela sekenanya. “Kamu ngomong apaan sih, Zel?” tanya Zoya tak mengerti. Sementara itu, Yurike yang sedang membongkar kopernya hanya tersenyum mendengar godaan Zela pada kakaknya. Gadis itu melangkah mendekati Zoya yang duduk di balkon yang menghadap ke arah pantai. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka kala Zela mengambil tempat di sebelah kakaknya. “Nanti malam Kakak tidurnya sama Ibu ya. Aku di kasurku sendiri,” ujar Zela. “Iya,” jawab Zoya tanpa banyak pertimbangan. Kamar yang mereka tempati ini adalah kamar mewah di lantai tiga dengan double bed. Malam ini Zoya memang diminta tidur bersama ibu dan adiknya, sebelum besok malam dibawa ke kamarnya dan Leon. Sebenarnya tadi mereka ditawari untuk menempati kamar yang berupa vila. Tapi Ibu menolak karena bangunan kamar tersebut terpisah dari gedung utama hotel. Ibu merasa lebih aman di kamar ini saja, karena ada di bangunan utama. Berada terpisah di tempat asing membuat tidak nyaman, begitu jawaban ibu tadi. Zela sempat protes karena ingin menikmati kamar termahal, tapi gadis itu akhirnya menutup mulutnya ketika ibu menyuruhnya untuk diam. “Nggak semangat amat, Kak.” Zela kembali berkomentar. “Kangen sama Kak Leon ya? Sabar dong, besok juga udah bisa sama-sama.” Zoya menghela napas mendengar celoteh adiknya. “Kamu kalau masih lapar bisa pesan makanan lagi, Zel. Atau makan di restoran bawah juga nggak apa-apa.” “Hah? Kenapa nih tiba-tiba nyuruh aku makan?” tanya Zela. “Karena kamu cerewet sekali sejak tadi. Mungkin dengan makan, kamu bisa diam,” jawab Zoya. “Kak Zoya ih nyebelin.” Zela seketika bersungut-sungut. “Memangnya aku serakus apa, udah makan di pesawat tadi terus makan lagi di sini.” “Ya nggak apa-apa, kamu kan masih dalam masa pertumbuhan,” ujar Zoya. Zela mencebikkan bibir. “Aku harus jaga pola makanku, kalau nggak bisa-bisa besok kebaya cantikku sebagai adik pengantin malah nggak muat. Gagal dong tampil paripurna di resepsi Kakak.” “Makan banyak dalam sehari nggak akan bikin kamu gemuk kok, Zel,” ujar Yurike yang melangkah mendekat untuk bergabung dengan putri-putrinya. “Sudah, jangan gangguin kakak kamu.” Zoya tersenyum saat Yurike duduk di kursi yang ada di dekatnya. “Kakak kamu ini sedang cemas, maklum besok sudah jadi istri orang. Makanya sejak tadi lebih banyak diam dan melamun.” Zoya menyandarkan kepala ke pundak ibunya saat Yurike meraih tubuhnya ke dalam pelukan wanita itu. “Duh, putri sulung Ibu besok sudah jadi milik orang lain. Baik-baik jadi istri orang ya, Nak.” Yurike menepuk-nepuk pelan pundak Zoya, membuat mata gadis itu seketika mengembun. “Nggak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin Ibu gendong-gendong kamu. Kalau Ayah masih hidup, saat ini dia pasti akan sama cemasnya sama kamu.” Yurike terkekeh, sementara Zoya diam-diam menangis dalam pelukan ibunya. “Maklum lah ya, mau melepas anak perempuan ke tangan laki-laki lain, pasti Ayah punya perasaan sedikit tidak rela.” Perlahan, Zoya menyeka sudut matanya. Kata-kata yang diucapkan ibunya justru membuatnya hatinya semakin teriris sakit. *** Sore harinya Zoya, Yurike, dan Zela diajak Lilia melakukan perawatan di spa yang ada di hotel. Zela girang bukan main dengan ajakan tersebut. Tetapi, sebagai calon pengantin, perawatan yang diberikan pada Zoya ternyata jauh lebih banyak dan lebih lama dari yang lainnya. Karena ingin melihat sunset, setelah selesai melakukan perawatan, Zela mengajak Yurike untuk pergi ke pantai. Ia bosan menunggu hingga Zoya selesai melakukan perawatannya. Karena tidak tahan dengan rengekan adiknya, Zoya pun akhirnya meminta ibunya untuk menemani Zela saja. Ia bilang tidak apa-apa ditinggal seorang diri di sini dan mengatakan ketika selesai perawatan akan langsung kembali ke kamar. Yurike, Zela, Lilia akhirnya meninggalkan Zoya di sana. Setelah beberapa banyak sesi perawatan yang ia dapatkan, Zoya akhirnya merasa fresh. Suasana hatinya yang sejak pagi tadi mendung, seketika berubah ceria berkat relaksasi yang ia dapatkan bersama serangkaian perawatan tadi. Zoya melangkah keluar dari spa dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Di luar, langit sudah mulai gelap. Mungkin ibunya dan Zela masih berada di pantai, tapi Zoya enggan menyusul. Ia akan menunggu ibu dan adiknya di kamar saja, dan memutuskan untuk makan malam di mana ketika mereka kembali nantinya. Akan tetapi, ketika melewati sisi hotel yang sepi persis di samping bangunan utama, mata Zoya menangkap sosok yang amat dikenalinya tengah bersama seorang perempuan berbikini seksi. Melihat bagaimana perempuan itu menempel di d**a laki-laki yang besok akan sah menjadi suaminya membuat Zoya mendadak mual. Ia tahu harusnya ia menyingkir saja dari sana. Tapi entah bagaimana kakinya malah melangkah mendekati mereka. “Leon…” tanpa sadar Zoya langsung memanggilnya begitu saja, membuat laki-laki itu seketika menoleh ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN